IA gubernur. Ia juga berutang pada negara. Badan Penyehatan Perbankan Nasional menilainya tidak kooperatif dan karena itu berkas perkaranya akan diselesaikan secara hukum lewat Kejaksaan Agung. Namun Fadel Muhammad, Gubernur Gorontalo itu, tak gentar. Bekas komisaris PT Bank Intan itu berkukuh bahwa hitungan BPPN tidak benar. ”Mestinya BPPN yang mengembalikan uang saya,” ujarnya dengan suara keras.
Fadel bertekad akan melawan tudingan BPPN itu. Ia tak akan mau membayar utangnya, yang jumlahnya—setelah direformulasi—seperti tertera dalam surat Ketua BPPN Syafruddin Temenggung tanggal 23 Oktober lalu, adalah Rp 59,6 miliar. Dua pengacaranya bahkan sudah melangkah lebih dulu dengan membawa kasus ini ke pengadilan.
Ada empat pengutang penanda tangan perjanjian penyelesaian kewajiban pemegang saham akta pengakuan utang (APU) yang akan mengiringi langkah Fadel ke Kejaksaan Agung. ”Belakangan, setelah ada ketegasan pemerintah untuk membawa masalah mereka ke kejaksaan dan kepolisian, dua debitor siap bekerja sama,” kata Syafruddin tanpa menyebut siapa dua debitor yang dimaksud. Adapun para pengutang itu adalah keluarga Trijono Gondokusumo (Bank PSP), Baringin Panggabean dan Joseph Januardy (Bank Namura Internusa Maduma), Santoso Sumali (Bank Bahari), dan Santoso Sumali (Bank Metropolitan). Kelimanya berutang total Rp 3,6 triliun ke negara, namun setelah dihitung ulang tinggal Rp 2,1 triliun. Alasan mereka sama seperti Fadel: tidak setuju dengan perhitungan utang versi BPPN, baik yang lama maupun yang baru.
Ancaman Syafruddin rupanya tak cuma gertakan. Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Barman Zahir, berkas tiga debitor kini sudah sampai di kejaksaan. Berkas tersebut atas nama Fadel Muhammad, Baringin Panggabean, dan keluarga Trijono Gondokusumo. Santoso Sumali? Belum jelas. Bisa jadi ia merupakan pengutang yang menurut Syafruddin memilih berdamai?
Keputusan menggiring lima pengutang ke depan hakim dihasilkan dalam rapat di kediaman Presiden Megawati, Kamis malam dua pekan lalu. Pertemuan yang dihadiri sejumlah menteri yang juga anggota Komite Kebijakan Sektor Keuangan serta Ketua BPPN itu juga memutuskan nasib sejumlah pengutang kakap lainnya.
Ekonom Indef, Dradjad Wibowo, melihat upaya BPPN menggiring lima pengutang itu ke meja hijau merupakan langkah maju. Kebandelan mereka, dengan alasan apa pun, sudah sepantasnya mendapat ganjaran setimpal. Kalau tidak dibawa ke muka hakim, ya hartanya disita. Tapi seharusnya perlakuan yang sama, bahkan lebih berat, dijatuhkan ke pengutang kakap penanda tangan MSAA. Sebab, kesalahan mereka tak hanya soal pelanggaran batas maksimum pemberian kredit dan kredit macet, tapi juga penyalahgunaan bantuan likuiditas Bank Indonesia. ”Palu gada untuk yang kecil, sementara yang besar dipijat dengan pemijat karet,” kata Dradjad, menggambarkan ketidakadilan itu.
Dia mencontohkan penanda tangan MSAA, Grup Salim. Kalaupun dinyatakan kooperatif, kelompok ini sudah merugikan negara Rp 13,1 triliun. Dua kali lipat target privatisasi pemerintah. Sjamsul Nursalim bahkan lebih besar, empat kali lipat.
Sinyalemen pilih kasih mungkin benar adanya, bahkan untuk sesama debitor APU. Philip Widjaja, misalnya, tidak termasuk yang digiring ke Gedung Bundar. Padahal, kalau dilihat dari surat Syafruddin ke komite pengawas, mantan pemegang saham Bank Mashill Utama ini juga tak menanggapi positif kebaikan hati pemerintah. Proposal penyelesaian utang tak kunjung diberikan. Dalam sebuah pertemuan pada bulan Agustus, dia bahkan sesumbar hanya bersedia membayar Rp 4 miliar dari Rp 49,7 miliar utangnya. Philip menolak transaksi derivatif dimasukkan dalam perhitungan utangnya dan bahkan meminta seluruh kewajiban bunganya dihapus.
Leanika Tanjung, Nugroho Dewanto, Verrianto Madjowa (Manado)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini