Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengalami deflasi selama dua bulan beruntun, yakni Januari dan Februari 2025. Bank Indonesia (BI) menilai deflasi bukan disebabkan penurunan daya beli.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Juli Budi Winantya mengatakan saat ini konsumsi masyarakat masih tumbuh. Selain itu inflasi inti yang juga jadi tolak ukur inflasi dari sisi penawaran dan permintaan masih terjaga dengan baik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Lazimnya yang kami gunakan untuk melihat daya beli terkait inflasi adalah inflasi inti, karena lebih mencerminkan penawaran dan permintaan. Sampai Februari 2025 inflasi inti tahunan di kisaran 2,48 persen, masih di angka yang rendah dan stabil,” ujarnya dikutip Jumat, 7 Maret 2025.
Selain itu, menurut Juli angka pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang dipaparkan BPS pada triwulan 4 dan keseluruhan tahun 2024 masih stabil. Pertumbuhan konsumsi masih di kisaran 5 persen. “Sehingga menurut kami masih cukup baik,” ucapnya.
Sebelumnya Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti memaparkan deflasi tercatat sebesar 0,76 persen mtm pada Januari 2025 dan 0,48 persen mtm pada Februari 2025. Deflasi mayoritas dipengaruhi oleh kebijakan diskon tarif listrik yang diberikan pemerintah pada Januari-Februari 2025.
Diskon tarif listrik 50 persen kepada pelanggan dengan daya 2.200 VA itu masuk dalam komponen harga yang diatur pemerintah. Adapun jika dilihat berdasarkan komponen, tingkat deflasi secara tahunan ini utamanya terjadi pada komponen harga diatur pemerintah. Sementara komponen lainnya masih mengalami inflasi.
Ervana Trikanaputri berkontribusi dalam penulisan artikel ini.