Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Demi Madu Tawon Randu

Petani madu kewalahan melayani banjir permintaan di tengah paceklik bunga. Berbagai jalan pintas ditempuh untuk menggenjot produksi.

16 Maret 2015 | 00.00 WIB

Demi Madu Tawon Randu
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

RATUSAN lebah mengerubungi bingkai kayu yang diangkat Sudiro. Peternak asal Jepara, Jawa Tengah, itu memasang bingkai berisi sarang lebah ke sebuah drum bermesin pemutar. Perlahan, drum diputar agar sarang dan telur ratu lebah tetap utuh.

Kian kencang putaran, kian deras madu menetes dan ditampung dalam drum berlapis galvanis. Cairan madu mengalir melewati keran dan mengendap di sebuah ember. Sudiro menyaring madu sebelum dimasukkan ke penyimpan akhir. "Cuma dapat dua setengah kuintal," kata Sudiro dengan nada kecewa kepada Tempo, Selasa pekan lalu.

Semula pria 36 tahun itu yakin bisa mengumpulkan lima kuintal madu pada panen kali ini. Sebab, dia telah menemukan kawasan pohon yang sedang berbunga di dekat Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri. Karena itu, ia memboyong ratusan kotak berisi koloni lebah madu dari Jepara di utara ke daerah di bagian selatan Jawa Tengah tersebut.

Di Jepara, lebah mellifera itu terbiasa menyedot nektar atau sari bunga pohon randu. Tapi, apa daya, musim paceklik bunga datang pada Desember tahun lalu dan diperkirakan berlanjut hingga Mei nanti. Saat randu tak berbunga, Sudiro berburu pohon lain. "Ketemu sonokeling di Wonogiri," ujarnya. Ia pun meletakkan ratusan kotak lebahnya di sekitar pohon target. Setengah bulan kemudian, saatnya dia memanen.

Permintaan madu yang tinggi membuat Sudiro harus cekatan mencari kawasan budi daya yang sedang berbunga. Tujuannya agar madu bisa dipanen sepanjang tahun dan produksi tak terhenti.

Seretnya pasokan juga dirasakan Achmad Wazar, Ketua Asosiasi Petani Madu Hutan Tesso Nilo, Riau. Madu yang dihasilkan lebah liar di hutan menyusut pada bulan-bulan ini.

Di banyak daerah, tak sedikit petani yang memilih jalan pintas menyiasati penurunan pasokan, antara lain dengan mencampur madu dengan cairan gula. Akibatnya, enam orang ditangkap Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, 18 Januari lalu. Mereka dituduh memproduksi madu palsu di rumahnya. "Memang ada kemungkinan madu hutan dipalsukan," Achmad memberi peringatan.

****

PASOKAN madu bisa berasal dari hasil ternak lebah atau produk alami tawon liar di hutan. Khusus lebah budi daya, jenis madu biasanya disebut berdasarkan nama pohon atau bunga yang dihinggapi tawon-tawon itu ketika mencari nektar. Misalnya madu sonokeling atau randu. Adapun madu hutan mengacu pada nama kawasannya, seperti madu hutan Tesso Nilo di Riau dan madu hutan Kalimantan.

Saat ini madu hutan masih mendominasi ceruk pasar domestik. Kuntadi, peneliti lebah dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Kementerian Kehutanan, mengatakan peredaran madu hutan mencapai 75 persen dari total madu di pasar sebanyak 8.000 ton per tahun. Direktur Utama PT Madu Pramuka Wawan Darmawan malah menyebutkan produksi nasional mencapai 15-20 ribu ton setahun, dengan konsumsi 15-20 gram per kapita per tahun.

Salah satu kelompok bisnis madu hutan adalah Jaringan Madu Hutan Indonesia (JMHI), yang lahir di Kalimantan Barat. Ketua Umum JMHI Rio Bertoni mengungkapkan jumlah anggotanya 1.775 petani tersebar di delapan provinsi. Mereka menghasilkan madu sekitar 80 ton per tahun. Jaringan ini mengajari petani madu hutan memanen secara higienis sekaligus melestarikan lingkungan. Madu hutan milik anggota JMHI dikemas dengan merek Odeng dan dipasarkan lewat PD Dian Niaga Jakarta. Ada pula madu curah yang diekspor ke Malaysia.

Menurut Kuntadi, lebah madu hutan tersebar di seluruh Nusantara. Koloni mereka banyak bersarang di pohon dengan ketinggian 20-30 meter, dan tak jarang ada puluhan sarang di satu pohon yang cocok. Rio memperkirakan potensi madu hutan bisa mencapai 7.500 ton per tahun. Dengan harga jual Rp 75 ribu per kilogram, nilai pasarnya berkisar Rp 562 miliar per tahun. "Ini belum menghitung madu budi daya dan impor," ujar Rio.

Madu hutan kebanyakan dikelola masyarakat secara swadaya. Hasilnya berupa madu curah yang dijual ke penadah. Madu curah ini lantas diolah dan dikemas menjadi produk dengan berbagai merek.

Salah satu distributor madu semacam ini adalah Abu Yasmin, pemilik jaringan bisnis online produk herbal yang khusus membidik pasar muslim. Yasmin menuturkan, pihaknya memasok madu hingga tiga ton per bulan ke ratusan outlet. Dari berjualan madu, seorang anggota jejaring bisnisnya mengaku memiliki omzet Rp 150-200 juta per bulan.

Adapun produsen madu budi daya yang terkenal adalah Madu Pramuka. Menurut Direktur Utama Madu Pramuka Wawan Darmawan, produksinya mencapai 10-15 ton per tahun. Produsen ini mengelola sendiri dari tahap hulu sampai hilir. "Untuk menjamin keasliannya," katanya. Madu Pramuka yang dibanderol Rp 150-200 ribu per kilogram itu dijual dengan beragam label, sesuai dengan asal nektar bunga, di antaranya madu rambutan, madu sonokeling, dan madu lengkeng.

Pesatnya permintaan pasar madu domestik saat langka bunga ini membuat banyak produsen kewalahan. Para pedagang pun mulai menambah impor dari Arab Saudi, Cina, Australia, dan Eropa.

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, impor madu rata-rata 2.300 ton per tahun. Volume itu akan berlipat tiap kali Indonesia dilanda musim hujan berkepanjangan, yang berakibat paceklik bunga. Peneliti lebah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Sih Kahono, mengatakan masa terberat yang berujung pada anjloknya produksi madu terjadi pada 2010. Untuk menutupi kekurangan suplai madu lokal, para pedagang mengimpor hingga 15.500 ton sepanjang 2010.

Kahono memprediksi impor terus meningkat seiring dengan meluasnya perambahan hutan dan kerusakan lingkungan. "Hutan digunduli, lahan pertanian terkonversi, sehingga menggerus jumlah bunga," katanya.

Sudiro di Jepara punya perkiraan serupa. Tiga tahun terakhir ia mulai kesulitan mencari bunga pohon randu dalam jumlah banyak. Walhasil, produksi madu terus menyusut.

Petani madu pun mulai mencari jalan keluar. Tak cuma berburu bunga randu, Sudiro juga bekerja sama dengan pengusaha yang memasarkan madunya untuk mengimpor ratu lebah mellifera dari Australia, yang lebih produktif. "Untuk perbaikan genetik," katanya.

Suyanto, peternak lebah rekan Sudiro, bercerita tentang upaya peternak mempercepat masa panen saat paceklik. Salah satu caranya dengan memberi "pakan" berupa cairan gula yang disebar di sekitar koloni tawon. Langkah ini bisa memangkas waktu panen yang biasanya 13-15 hari menjadi 3-4 hari. Tapi aroma, warna, dan rasa madu yang dihasilkan berbeda dengan madu yang diperas secara konvensional, meski berasal dari lebah yang sama.

Peneliti LIPI, Sih Kahono, mengatakan keunikan madu adalah aroma, warna, dan rasa yang berbeda. Ketiga unsur itu bergantung pada nektar bunga yang dibawa tawon ke sarangnya. Masalahnya, kata dia, banyak pebisnis madu tak paham soal itu. Mudah ditemukan produk yang diklaim sebagai madu murni tapi memiliki warna, rasa, dan aroma seragam. Hal yang hampir mustahil karena tak ada jaminan koloni lebah hanya hinggap di bunga yang homogen. "Ini patut diwaspadai," ujar Wawan Darmawan.

Akbar Tri Kurniawan, Ahmad Rafiq (wonogiri), Aseanty Pahlevi (pontianak)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus