Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRESIDEN George Walker Bush sumringah. Wajahnya terlihat lebih segar. Ketegangannya hilang setelah hampir tujuh jam waswas menanti keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (House of Representatives) atas paket penyelamatan ekonomi Amerika Serikat. Lewat debat seru dan panjang, anggota Dewan Negeri Abang Sam melalui pemungutan suara akhirnya menyetujui Rancangan Undang-Undang Troubled Asset Relief Programme. Sebanyak 263 anggota Dewan setuju atas usul tersebut—171 menolak.
Bush, yang akan habis masa jabatannya tahun depan, langsung menandatangani undang-undang yang akan menalangi (bail out) kesulitan dana industri keuangan Amerika Serikat senilai US$ 700 miliar atau sekitar Rp 6.500 triliun (hampir enam kali lipat anggaran belanja Indonesia) itu. ”Bersama undang-undang ini, kami akan membantu mencegah krisis di Wall Street yang bisa menjadi krisis di seluruh negara kita,” kata Bush dalam jumpa pers di White House Rose Garden, New York, Jumat pekan lalu.
Persetujuan Dewan atas paket kebijakan dana talangan ini merupakan klimaks dalam sepekan terakhir. Bush berusaha keras meyakinkan para pembuat keputusan di negerinya soal pentingnya paket penyelamatan ekonomi. Dia memperingatkan perekonomian Amerika Serikat di ambang kehancuran jika undang-undang itu tak segera ditandatangani.
Bersama dua kandidat Presiden Amerika Serikat, Barack Obama dan John McCain, Bush mendesak para anggota Dewan dan publik menyetujui paket dana talangan US$ 700 miliar—berasal dari pembayaran pajak—untuk membeli aset-aset perusahaan di Wall Street. Obama, anggota Senat dari Partai Demokrat, dan McCain, anggota Senat dari Partai Republik, bersama anggota Senat lainnya kali meloloskan paket awal dan paket revisi penyelamatan ekonomi.
Namun persetujuan Senat tak cukup. Usul paket itu harus juga lolos dari Dewan. Lobi-lobi pun dilakukan karena sebelumnya Dewan sudah menolak paket Bush, pada 29 September lalu. Lewat pemungutan suara, mayoritas anggota (228 suara) menolak paket dana talangan dan 205 anggota Kongres setuju. Para penentang menilai bailout tak logis karena tak semestinya negara dengan uang rakyat menyelamatkan perusahaan-perusahaan yang telah menyebabkan krisis.
Penolakan itu membuat indeks Dow Jones terjungkal 777,68 poin (6,98 persen), penurunan terbesar sehari sepanjang sejarah bursa ini. Penurunan itu melampaui kejatuhan indeks Dow Jones sebesar 684 poin pada 17 September 2001, enam hari setelah serangan 11 September atas menara kembar World Trade Center.
Pasar saham lain di Wall Street juga ”bermandikan darah”. Indeks Nasdaq turun 199,61 poin (9,14 persen), terendah sejak 2005. Indeks Standard & Poor’s 500 merosot 106,59 poin (8,79 persen) menjadi 1.106,42, yang merupakan level terendah sejak 2004. Duit investor senilai US$ 1,7 triliun atau sekitar Rp 15.800 triliun pun menguap. Bursa saham di seantero jagat ikut-ikutan loyo.
Tak cuma pemerintah yang kalang-kabut memperjuangkan paket ekonomi. Sejumlah aktor dan pengamat pun bersuara tentang pentingnya paket penyelamatan itu. Investor kawakan Warren Buffett mengatakan, jika Dewan menolak paket itu, akan terjadi ”Pearl Harbor” kedua di sektor ekonomi. Pearl Harbor adalah pangkalan Amerika di Hawaii yang hancur lebur akibat serangan Jepang pada Perang Dunia II. ”Kita tentu tidak ingin itu terjadi,” kata Buffett.
Jaringan televisi ABC bertanya kepada Joseph E. Stiglitz, peraih Hadiah Nobel Ekonomi 2001, ”Apa yang akan terjadi jika dana talangan itu gagal?” Tanpa ragu Stiglitz menyebutkan, ”Itu akan menjadi faktor yang cukup untuk membuat sektor keuangan meledak.”
Stiglitz mengatakan tidak khawatir terhadap kerugian di Wall Street (para investor dan korporasi). Dia hanya khawatir jika lembaga keuangan berhenti meminjamkan dana ke sektor riil (perusahaan). Kalau itu terjadi, akan ada pengurangan produksi dan pekerja. ”Resesi atau keadaan lebih buruk dari resesi mungkin akan terjadi,” kata Stiglitz, yang sejak 2003 telah memperingatkan bahwa posisi keuangan korporasi Amerika sudah berbahaya karena penyaluran dana yang terlalu besar ke sektor perumahan.
Kekhawatiran atas berlanjutnya krisis finansial memang beralasan. Krisis finansial yang dipicu oleh krisis kredit hipotek perumahan (subprime mortgage) yang mendera Amerika sejak pertengahan 2007 telah meluluhlantakkan industri keuangan negara adidaya itu. Lembaga-lembaga keuangan top negeri itu yang mencatatkan saham di bursa Wall Street rugi puluhan hingga ratusan triliun. Satu per satu rontok: Bear Stearns, Fannie Mae dan Freddie Mac, Lehman Brothers, American Insurance Group (AIG). Terakhir, Washington Mutual Bank (WaMu) ikut-ikutan bangkrut.
Bukan saja Wall Street yang ambruk. Masyarakat jelata (main street) di negara itu justru paling merana. Ribuan penduduk di Amerika Serikat kini kehilangan rumah karena tak bisa lagi membayar cicilan. Sebanyak 159 ribu orang kehilangan pekerjaan dan menganggur. Para mahasiswa pun terancam kehilangan kesempatan mendapatkan pinjaman pendidikan.
Ibarat kartu domino, krisis finansial di Amerika merambah ke Eropa. Pemerintah di sejumlah negara di Eropa terpaksa melakukan aksi penyelamatan lembaga-lembaga keuangan untuk mencegah kejatuhan yang lebih buruk. Langkah penyelamatan terbesar dilakukan trio Belanda, Belgia, dan Luksemburg, yang menyuntikkan 11,2 miliar euro atau setara dengan US$ 16,4 miliar untuk Fortis Group.
Pemerintah Inggris juga terpaksa menasionalisasi sebagian aset Bradford & Bingley untuk menghindari kerusakan sistemik. Sebagian asetnya dijual kepada Santander, bank asal Spanyol. Nasionalisasi itu merupakan kelanjutan dari pengambilalihan Northern Rock pada Februari lalu. Pemerintah Jerman dan konsorsium bank juga harus menyediakan US$ 51,2 miliar dalam bentuk jaminan kredit kepada Hypo Real Estate.
Tekanan yang datang dari ”delapan penjuru angin” itulah yang tampaknya meluluhkan hati para anggota Kongres Amerika. Setelah berdebat berjam-jam, mereka menyetujui paket penyelamatan ekonomi hasil revisi Senat, Jumat pekan lalu. ”Bailout ini bukan untuk Wall Street lagi,” kata Carolyn McCarthy dari Partai Demokrat yang mewakili New York. ”Paket ini untuk menyelamatkan toko kecil milik rakyat jelata.”
Kebijakan penyelamatan ekonomi Amerika Serikat memang kontroversial dan berpotensi menimbulkan moral hazard. Betapa tidak, dalam paket kebijakan ini ada rencana pemberian dana talangan yang mirip dengan pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia saat krisis pada 1998. Dalam kebijakan itu, pemerintah Amerika akan membeli aset-aset bermasalah milik lembaga keuangan yang kesulitan duit. ”Keputusan politik untuk melakukan bailout selalu sangat sulit karena pasti menimbulkan banyak pro dan kontra,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani kepada wartawan di Jakarta, pekan lalu, menanggapi alotnya persetujuan bailout ala Amerika Serikat.
Selain soal dana talangan, ada beberapa perbaikan dalam paket penyelamatan sektor finansial yang disetujui Kongres ini. Di antaranya kenaikan plafon dana yang mendapat jaminan dari Federal Deposit Insurance Corporation—lembaga penjamin simpanan—dari maksimal tabungan US$ 100 ribu menjadi US$ 250 ribu.
Rancangan itu juga menambahkan tiga elemen kunci. Paket itu akan memperluas penundaan pajak (tax breaks) senilai lebih dari US$ 100 miliar selama dua tahun untuk energi terbarukan di sektor individu dan bisnis, termasuk pengurangan pajak untuk pembelian panel surya serta kredit riset dan pengembangan.
Paket penyelamatan Bush itu tidak serta-merta mendapat sambutan positif dari para pelaku pasar. Saham-saham di Wall Street justru merosot lagi. Pada perdagangan Jumat pekan lalu, indeks Dow Jones merosot 156,51 poin (1,49 persen). Nasdaq juga melemah 29,33 poin (1,48 persen). Padahal, pada saat pembukaan, saham-saham di Wall Street sempat menguat setelah Wells Fargo mengumumkan rencana membeli Wachovia senilai US$ 15,1 miliar. Sedangkan AIG mengumumkan rencana menjual aset demi membayar utang dana talangan dari The Federal Reserve.
Tapi Bush tetap optimistis. Perekonomian Amerika, kata dia, memang perlu waktu beberapa saat untuk bisa mencerna regulasi itu. ”Masyarakat harus menunggu beberapa waktu sebelum undang-undang ini memberikan dampak secara penuh pada perekonomian.”
Analis Deutsche Bank, Mike Mayo, berpendapat paket kebijakan penyelamatan ekonomi Amerika bisa mengurangi risiko sistemik dan menolong pasar modal. Tapi memang, kata dia, itu belum bisa menyelesaikan semua masalah yang ada di pasar kredit. ”Kesulitan likuiditas dan aset-aset bermasalah masih mengancam lembaga-lembaga keuangan.” Siapa pun agaknya masih sulit meramalkan kapan kisruh finansial ini berakhir. Juga dampaknya pada perekonomian dunia.
Padjar Iswara, Sorta Tobing, (AFP, AP, Daily Telegraph, Bloomberg)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo