Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LELAKI itu terus menggerutu. ”Acara apa ini?” katanya berulang-ulang sambil bersungut. Yang disebutnya adalah acara buka puasa bersama yang digelar Badan Pemeriksa Keuangan, Kamis dua pekan lalu. Acara itu mengundang pemimpin redaksi sejumlah media massa.
Buka puasa bersama, menurut salah seorang anggota badan audit itu, sebetulnya wajar-wajar saja. Tapi, kalau sampai mengumpulkan wartawan dan menggelar konferensi pers segala, ia keberatan. Benar saja, belum lagi acara editors talk digelar, hanya tiga, dari sembilan, anggota Badan Pemeriksa yang tersisa di ruangan.
Yang muncul di depan juru tinta adalah Ketua Anwar Nasution serta dua anggota: Hasan Bisri dan Imran. Selebihnya hanya pejabat tingkat menengah dan bawah. Anggota Badan Pemeriksa, Baharuddin Aritonang, termasuk yang hengkang. ”Saya mau tarawih. Ini kan Ramadan,” katanya.
Aroma ketidakkompakan segera tercium. Seorang auditor mengungkapkan sedang ada ”perang” di lembaganya. ”Konfliknya sangat kelihatan,” kata sumber itu. Sehari-hari para petinggi Badan Pemeriksa sudah tak saling tegur.
Sumber keretakan adalah kasus aliran dana Bank Indonesia ke Komisi Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat. Skandal korupsi itu dilaporkan Anwar ke Komisi Pemberantasan Korupsi tanpa persetujuan rapat pleno Badan Pemeriksa. Padahal rapat pleno adalah rapat tertinggi di lembaga untuk membahas semua hasil audit dan persoalan kebijakan strategis lainnya.
Sejumlah anggota Badan Pemeriksa mengaku terkaget-kaget membaca koran ketika kasus ini meletus. ”Kami tidak tahu-menahu soal ini, tiba-tiba sudah ramai di media,” ujar seorang anggota Badan Pemeriksa yang menolak disebut namanya. Anwar berkeras laporan itu tidak perlu persetujuan pleno. ”Kasus yang lain juga begitu. Kenapa untuk kasus Bank Indonesia semua anggota jadi tertarik?” ujarnya.
Anwar khawatir kalau setiap hal mesti dibawa ke sidang pleno, terjadi politisasi hasil audit. ”Kalau laporan audit dipolitisasi, diuangkan, lalu isinya diubah berdasarkan amplop, reputasi Badan akan tercemar,” katanya.
Sumber Tempo mengungkapkan sejak semula proses audit aliran dana Bank Indonesia menghindari persetujuan pleno Badan. ”Kalau dibawa ke rapat Badan, bisa dikunci semuanya. Maka auditor kami hati-hati sekali karena anggota Badan Pemeriksa kan isinya bekas dan kolega Dewan Perwakilan Rakyat,” kata sumber itu.
Persoalan memang makin runcing setelah tiga anggota Badan Pemeriksa yang juga anggota Komisi Perbankan Dewan periode 1999-2004 disebut-sebut sebagai penerima dana haram itu. Ketiganya, menurut anggota Dewan, Hamka Yandhu, yang kini ditahan komisi antikorupsi, adalah Abdullah Zaini, Baharuddin Aritonang, dan Udju Djuaeri. Selain itu, Hamka menyebut 49 nama penerima lainnya. Di media massa, baik Zaini, Aritonang, maupun Udju telah membantah tudingan itu.
Badan Pemeriksa kemudian pecah menjadi dua: faksi Anwar dan faksi anggota Badan Pemeriksa yang mantan anggota Dewan.
Namun Anwar membantah adanya perpecahan itu. Wakil Ketua Badan Pemeriksa Abdullah Zaini setali tiga uang. ”Tugas-tugas kami selesaikan bersama-sama,” ujarnya. Tapi Aritonang mengakui adanya keretakan. Namun ia membantah jika dikatakan kasus aliran dana Bank Indonesia menjadi penyebab. Menurut dia, persoalan sebenarnya karena adanya beda konsep berpikir mengenai mekanisme pengambilan keputusan.
Anwar dinilai Aritonang tidak memahami konsep kepemimpinan kolektif. ”Posisi kami kan sejajar,” ujarnya. ”Maka jumlah anggota dibuat ganjil supaya jika divoting, diperoleh suara terbanyak.”
Abdullah Zaini mengaku sadar bahwa kasus ini akan menyeret Badan Pemeriksa sendiri. ”Kita tidak tahu di mana akhirnya. Apakah kita semua aman ataukah kita semua tidak aman,” katanya tersenyum.
Agus Supriyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo