ZOMBI Departemen Penerangan (Dep-pen) akhirnya tak jadi bangkit. Berbagai kalangan yang menolak rencana penghidupan kembali Departemen Penerangan boleh menarik napas lega. Dalam pertemuan Presiden Megawati dengan para ketua partai politik, Kamis pekan lalu, dipastikan Deppen tak akan muncul lagi. "Presiden hanya akan menghidupkan lagi Departemen Sosial, tapi tidak Departemen Penerangan," kata Presiden Partai Keadilan Hidayat Nurwahid, yang ikut hadir dalam acara sarapan pagi sambil membicarakan susunan kabinet di kediaman Megawati.
Kontroversi seputar kebangkitan kembali Departemen Penerangan bermula dari pernyataan para politisi DPR yang tergabung dalam lintas fraksi. Setelah sukses menumbangkan Presiden Abdurrahman Wahid, agaknya mereka menagih jatah kursi di kabinet mendatang. Ternyata, para peminat begitu banyak, sementara kursi yang tersedia sangat terbatas. Muncullah ide untuk menghidupkan kembali departemen yang dulu dibubarkan Abdurrahman Wahid, antara lain Departemen Penerangan, Departemen Sosial, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Adanya "tagihan politik" itu diakui Ali Marwan Hanan. "Menghidupkan kembali Deppen tujuannya untuk mengakomodasi kekuatan politik yang ada," ujar politisi dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu. Selain itu, menurut Arifin Panigoro dari PDI Perjuangan, Deppen diperlukan pemerintah untuk memasyarakatkan kebijakannya, selain juga demi alasan kemanusiaan guna menampung karyawan bekas Deppen yang sudah dibubarkan.
Lebih penting dari itu, menurut Arifin, Deppen diperlukan lantaran pesatnya perkembangan teknologi informasi yang membutuhkan perhatian khusus pemerintah. Di titik ini, Arifin tampaknya juga mengakomodasi lobi kalangan telematika (telekomunikasi, media, dan informatika). Sebelumnya, Asisten Menko Perekonomian Dipo Alam menyebut-nyebut adanya dana hibah (block grant) dari pemerintah Jepang sebesar US$ 15 miliar untuk pengembangan telematika. Hibah itu memang tak hanya untuk Indonesia tapi untuk semua negara berkembang, dan dana akan dicairkan secara bertahap selama lima tahun. Masalah bagi Indonesia, "Hibah itu tak bisa cair lantaran tak ada lembaga yang menanganinya," kata Dipo, yang sehari-hari mengurusi Komisi Telematika Nasional, mewakili Menko Perekonomian.
Itulah sebabnya, usul menghidupkan kembali Deppen belakangan berubah menjadi upaya mendirikan Departemen Telematika. Di sana, Direktorat Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika (PPG) ditiadakan. Dus, kalangan pers, menurut mereka, tak perlu lagi mengkhawatirkan kembalinya mesin pengekang kebebasan pers lewat politik perizinan dan pemberangusan. Telematika, menurut Arifin, hanya akan mengurusi frekuensi radio, internet, multimedia, serta membuat jaringan teknologi informasi hingga ke desa-desa. Pendeknya, Ketua Fraksi PDI Perjuangan di DPR itu begitu bersemangat dengan telematika. Tak mengherankan bila Alvin Lie, rekannya dari Fraksi Reformasi, menyebut telematika sebagai, "Bayinya Arifin Panigoro."
Semangat mendirikan Departemen Telematika untuk memanfaatkan dana hibah sedemikian besar itu sendiri diragukan seorang menteri demisioner. "Jangan-jangan itu cuma isapan jempol," katanya. Menteri yang tak mau disebut namanya itu malah curiga, jangan-jangan telematika hanya proyek sejumlah orang yang kini sedang mencari-cari posisi di pemerintahan baru. Ujung-ujungnya, mereka ingin menguasai Telkom dan Indosat, dua badan usaha milik negara gemuk yang kini berada di bawah Departemen Perhubungan.
Sementara itu, kalangan jurnalis menunjukkan perlawanan keras terhadap gagasan mendirikan Deppen maupun Departemen Telematika, yang ditengarai akan mengatur alur informasi. "Bila pers tidak bebas, rakyat akan kehilangan kemampuan untuk mengontrol kekuasaan yang cenderung korup dan sewenang-wenang," kata Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Didik Supriyanto. Tak puas hanya mengeluarkan pernyataan, berbagai organisasi wartawan dan komunitas penyiaran pun menggelar aksi unjuk rasa untuk menyampaikan sikapnya di berbagai kota.
Suara mereka tampaknya didengar Presiden Megawati. Toh, para aktivis telematika tak patah semangat. Setelah batal membentuk departemen, mereka kini ingin mendirikan Badan Independen Regulasi Telekomunikasi. Anggota badan tersebut, kata Dipo Alam, terdiri dari wakil pemerintah dan swasta, sehingga ke-putusannya kelak bersifat independen.
Nugroho Dewanto, Dewi Rina Cahyani, Tomi Lebang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini