Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dari Oposisi ke Oposisi

Abdurrahman Wahid mau jadi pejuang demokrasi dan tokoh oposisi. Tapi partai yang jadi kendaraan politiknya lagi pecah.

5 Agustus 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJARAH sedang berulang di negeri ini. Pelakunya, Abdurrahman Wahid. Dulu, ketika Soeharto berkuasa, Gus Dur adalah salah satu pejuang demokrasi dan oposan yang gigih. Bersama Marsillam Simandjuntak, Rahman Tolleng, dan Bondan Gunawan, ia mendirikan kelompok diskusi Forum Demokrasi pada 1991. Melalui forum ini, Gus Dur mengkritisi kebijakan penguasa yang tak demokratis. Atas perjuangannya menegakkan api demokrasi itu, dia menerima penghargaan Ramon Magsaysay pada 1993. Ketika Abdurrahman jadi presiden, giliran lawan-lawan politiknyalah yang bersikap oposan. Sebaliknya, ia menjadi sasaran tembakan. Kini, setelah tergusur dari kursi presiden dan Megawati Sukarnoputri menggantikannya, Abdurrahman kembali menjadi tokoh oposisi. Jumat pekan lalu, begitu mendarat di Bandara Soekarno-Hatta sepulang dari Amerika, dia langsung mengumbar pernyataan dan "ancaman" pada lawan-lawan politiknya. Diiringi bacaan salawat dari para pendukungnya, Abdurrahman mengatakan, siapa pun yang melanggar konstitusi akan berhadapan dengan rakyat. Abdurrahman juga berencana mendirikan Yayasan Manusia Merdeka di Ciganjur. Yayasan itu akan membantu masyarakat yang merasa hak asasinya di-lecehkan dan demokratisasinya tidak berjalan. "Insya Allah, kita akan berusaha membantu menyelesaikannya," kata Abdurrahman saat memberikan sambutan di depan warga Ciganjur usai mengikuti salat Jumat di Masjid Al Munawaroh, Ciganjur. Sore harinya, Abdurrahman mengulang orasi perjuangan-nya di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat. Di depan ratusan pendukung dan warga yang ke-betulan lewat dan jadi penonton yang memacetkan lalu lintas, Gus Dur menyebutkan rencananya untuk menjalankan tiga tugas: memperjuangkan demokrasi, mencari teori-teori pembangunan, dan tidak akan melupakan tugas internasional. Dia juga menyerang para politisi yang disebutnya berkualitas rendah. Sebagai bukti, Gus Dur menyebut para politisi itu telah melanggar undang-undang dengan memberhentikan dirinya sebagai presiden. Pernyataan dan sikap politik itu konsisten sejak Abdurrahman tersingkir dari kursi presiden. Sesaat sebelum berangkat ke Amerika Serikat, 26 Juli lalu, dia tegas-tegas menyatakan akan kembali memimpin perjuangan demo-krasi tanpa kekerasan dari kediamannya di Ciganjur, Jakarta Selatan. Bagaimana peluang Abdurrahman sebagai tokoh oposisi? Menjelang kedatangannya dari Amerika, aparat kepolisian Jawa Timur menangkapi pendukungnya. Mereka adalah Sekretaris Fraksi Kebangkitan Bangsa DPRD Bondowoso, Mustawiyanto, dan anggotanya, Mochamad Radjak, beserta enam aktivis mahasiswa. Polisi menuduh mereka menghasut massa dengan cara mengedarkan selebaran. Penangkapan ini merupakan kelanjutan ke-bijakan polisi yang bertekad mengambil tindakan tegas pada semua usaha yang dikategorikan sebagai provokasi, dan mulai dijalankan menjelang berlangsungnya Sidang Istimewa MPR, 21 Juli silam. Apa pun alasannya, kejadian di Jawa Timur menyiratkan bahwa aparat tampaknya ber-sikap tegas dan tak kompromi pada usaha-usaha yang akan mengganggu stabilitas. Namun, Ketua DPP PKB Effendi Choirie menuduh penangkapan itu merupakan pelampiasan dendam Kapolri S. Bimantoro, yang sakit hati karena dipecat oleh Gus Dur. Jadi, seandainya mau jadi oposisi, Gus Dur harus menghitung kemungkinan langkahnya akan menemui banyak hambatan, persis ketika menghadapi rezim Soeharto dulu. Pemerintah boleh jadi akan menganggap semua gerakan Gus Dur dan pendukungnya sebagai ancaman terhadap stabilitas politik. Gus Dur punya pekerjaan rumah lain. Partai Kebangkitan Bangsa, salah satu kendaraan politiknya, sedang dalam kemelut. Setelah Abdurrahman mengeluarkan dekrit dan MPR menggelar sidang istimewa, orang-orang PKB terbelah dalam dua kelompok: sebagian mendukung Abdurrahman dengan semua langkah politiknya. Di barisan ini ada Arifin Junaidi, Chotibul Umam Wiranu, dan Muhaimin Iskandar. Sebagian lagi memilih sepakat dengan MPR dan menerima segala keputusan MPR. Di kelompok ini ada Matori Abdul Djalil dan Abdul Kholiq Ahmad. Pecahnya PKB jadi masalah bagi Gus Dur karena partai merupakan basis gerakan oposisi yang sah. Dalam sistem pemerintahan yang dianut Indonesia sekarang, semua aspirasi politik—termasuk yang oposan—hanya bisa dan lebih efektif disalurkan lewat partai di parlemen. Nah, PKB sebagai partai yang bermasalah ini tidak akan kondusif bagi perjuangan Gus Dur menjadi oposisi. Walhasil, Abdurrahman mesti menengahi dan membereskan perpecahan di tubuh PKB lebih dulu, sebelum masuk ke perjuangan yang lebih besar. Belajar dari pengalaman, sekadar mengeluarkan pernyataan mungkin tak laku lagi, karena rakyat ingin bukti. Wicaksono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus