Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto membantah bahwa program bantuan sosial (Bansos) pangan beras cadangan pemerintah (CBP) menyebabkan harga beras melonjak. Alih-alih membuat harga beras mahal, Airlangga mengklaim, Bansos beras justru untuk menstabilkan harga. "Tentu bantuan pangan adalah instrumen stabilisasi harga. Jadi justru sebaliknya, dengan adanya bantuan pangan kami berharap stabilisasi harga," kata Airlangga saat memberi keterangan dalam sidang lanjutan sengketa Pilpres 2024, Jumat, 5 April 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, dan Menteri Sosial Tri Rismaharini dipanggil Mahkamah Konstitusi hari ini. Penyaluran Bansos menjelang masa pemilihan presiden dipersoalkan karena dianggap telah dipolitisasi dan menyebabkan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka unggul dibanding pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. Selain itu, di waktu yang bersamaan dengan penyaluran Bansos, harga beras tiba-tiba naik. Kenaikan harga beras terus belangsung hingga saat ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Airlangga berpendapat bahwa bantuan pangan berupa beras bantuan sebanyak 10 kilogram dari pemerintah tersebut sangat membantu masyarakat. Menurut dia, bantuan sebesar itu dapat memenuhi sepertiga kebutuhan beras yang ada di kisaran 20-25 kilogram per bulan.
"Pemerintah juga melakukan stabilisasi pasokan harga pangan ataupun SPHP dengan operasi di pasar melalui Perum Bulog dan itu untuk menjaga harga beras," ujarnya.
Pernyataan Airlangga itu ditujukan untuk menjawab pertanyaan hakim konstitusi Enny Nurbaningsih. Berdasarkan dalil dari para pemohon, kenaikan harga beras disebabkan cadangan beras pemerintah (CPB) yang seharusnya untuk menstabilkan pasokan pangan justru dibagikan untuk bansos.
"Khusus kepada Pak Menko Perekonomian, Pak Airlangga, kalau dilihat dari data, termasuk hal yang didalilkan di sini bahwa ada kenaikan harga beras kisaran pada bulan Januari-Februari 2024," tutur Enny.
Pertanyaan Enny merujuk pada tuduhan yang dilayangkan oleh Timnas AMIN yang menyebut penggunaan beras CBP untuk bansos menyebabkan stok beras nasional jadi berkurang.
Sementara itu Menteri Keuangan Sri Mulyani juga membantah bahwa automatic adjustment atau pemblokiran pencadangan belanja kementerian digunakan untuk pembiayaan bantuan sosial atau Bansos menjelang pemilihan presiden (Pilpres) di awal tahun 2024. "Saya tegaskan tidak," kata Sri Mulyani dalam sidang lanjutan sengketa Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat, 5 April 2024.
Dalam persidangan itu, Sri Mulyani Indrawati juga mengatakan bahwa anggaran untuk bantuan kemasyarakatan dari Presiden Jokowi bukan berasal dari anggaran perlindungan sosial (Perlinsos), melainkan dari dana operasional presiden. “Anggaran untuk kunjungan presiden dan anggaran untuk bantuan kemasyarakatan dari presiden berasal dari dana operasional presiden yang berasal dari APBN,” kata Sri Mulyani.
Ia menjelaskan, dana operasional presiden diatur oleh Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48 Tahun 2008 yang diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106 Tahun 2008. Sementara itu, dana kemasyarakatan presiden diatur dalam Peraturan Menteri Sekretaris Negara Nomor 2 Tahun 2020.
Berdasarkan aturan tersebut, kegiatan yang bisa dicakup di dalam dana kemasyarakatan oleh presiden dan wakil presiden adalah kegiatan keagamaan, pendidikan, sosial, ekonomi, kebudayaan, kepemudaan, pemberdayaan perempuan, keolahragaan, dan kegiatan lain atas perintah presiden atau wakil presiden. “Bantuan ini bisa diberikan dalam bentuk barang maupun uang,” kata Sri Mulyani.
Sedangkan Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini sempat mengungkap kendala penyaluran bantuan sosial (Bansos) yang dialami pemerintah pada tahun 2023. Menurut dia, kendala itu berhubungan dengan proses pemeriksaan data penerima yang tidak sesuai.
Risma membeberkan sejumlah persoalan akurasi data dalam penyaluran Bansos tersebut. Antara lain terkait temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai sejumlah penerima Bansos yang justru berprofesi sebagai Aparatur Sipil Negara atau ASN.