Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tingkah polah si ”emas hitam” makin sulit dijinakkan. Pekan lalu, harga minyak mentah dunia menembus rekor baru US$ 62,47 per barel, tertinggi dalam 25 tahun terakhir. Untuk menangkal dampak hebat kenaikan harga minyak, pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono mesti menggelar berbagai siasat. Berbagai strategi memang harus dijalankan karena beban subsidi BBM akibat kenaikan itu sungguh luar biasa berat.
Menteri Keuangan Jusuf Anwar menghitung, dengan harga di atas US$ 60 per barel, subsidi langsung melesat dari anggaran semula Rp 76,5 triliun menjadi Rp 130 triliun. Untuk mengatasinya, pemerintah mulai melakukan berbagai pemangkasan. Mulai awal pekan lalu, Pertamina menghapus subsidi untuk sektor industri. Menurut juru bicara Pertamina, Abadi Poernomo, kenaikan harga tersebut berkisar 8,62-15,61 persen
Perusahaan minyak pelat merah ini juga menambah jenis industri yang harus membeli sesuai dengan harga pasar. Sebelumnya, hanya perusahaan pertambangan yang dikenai harga pasar. ”Untuk mengurangi besaran subsidi BBM,” katanya. Sebelumnya, industri-industri itu masih menikmati manisnya ditopang negara. Perusahaan ini, antara lain, pertambangan umum, minyak dan gas (batu bara, panas bumi, biji logam, migas dan bahan baku semen), dan pengolahan pertambangan (industri semen, logam dasar, dan baja hulu).
Kenaikan juga berlaku bagi perusahaan yang berada di kawasan berikat dan kebutuhan BBM-nya lebih dari 500 kiloliter per bulan. Bunker perusahaan perikanan, termasuk kapal-kapal nelayan yang bobotnya lebih dari 20 GT (gross ton), juga dikenai kenaikan. Bahkan industri yang mengajukan permohonan alokasi baru dengan kebutuhan di atas 24 kiloliter pun terkena kebijakan baru.
Menurut Achmad Faisal, Kepala Divisi BBM Pertamina, jumlah industri yang harus membayar BBM sesuai dengan harga pasar hanya lima persen dari sekitar 8.000 perusahaan yang ada di seantero nusantara. Tapi mereka menyedot 73,7 persen kebutuhan minyak industri yang mencapai 11,37 juta kiloliter per tahun. ”Dengan adanya kenaikan tersebut, subsidi bisa dihemat Rp 20 triliun.”
Pertamina, kata Achmad Faisal, akan meninjau harga BBM untuk industri setiap bulan. Kalau pada Agustus ini banderol minyak mentah jauh lebih rendah ketimbang Juli, otomatis harga jual pada September akan diturunkan. Tapi, menurut Abadi Poernomo, kemungkinan harga si ”emas hitam” turun sangat tipis. ”Kecenderungannya malah naik,” katanya.
Namun, kenaikan ini masih belum diberlakukan untuk PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). PLN, kata Achmad, tetap mendapat potongan harga kendati pembeliannya sudah melebihi kuota. Tahun ini PLN dijatah 8,35 juta kiloliter. Kebijakan ini diambil agar PLN tidak menaikkan tarif listrik. Meskipun begitu, nyatanya PLN ikut menaikkan tarif listrik bagi kelompok pelanggan bisnis dan industri mulai September nanti.
Direktur Niaga dan Pelayanan Pelanggan PLN, Sunggu Anwar Aritonang, mengatakan harga baru ini berlaku hanya pada saat beban puncak, yakni dari pukul enam sore sampai sepuluh malam. Kenaikan tarif itu dihitung dengan mengubah faktor pengali (faktor K) dari 1,4 atau 1,5 menjadi 2. Faktor K adalah perbandingan antara harga listrik saat beban puncak dan harga di luar beban puncak. PLN juga membatasi penggunaan listrik buat pelanggan bisnis dan industri saat beban puncak menjadi separuh dari penggunaan biasanya.
Keputusan kedua perusahaan milik pemerintah itu menyulut protes. Direktur Utama PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk., Daniel Lavalle, menyesalkan langkah diam-diam Pertamina menaikkan harga BBM tanpa pemberitahuan lebih dulu. Dampaknya, kata Lavalle, jelek bagi industri. Akhirnya, ”Tidak ada yang bisa kami lakukan kecuali menaikkan harga jual semen,” katanya.
Menurut Christian Kartawijaya, Direktur Keuangan Indocement, gara-gara tarif BBM naik pada April lalu saja, perusahaannya terpaksa menaikkan harga jual dalam negeri 10 persen. Banderol semen yang diekspor meloncat sampai 50 persen. Tapi, ”Kami belum menghitung berapa besar kenaikan harga jual akibat kenaikan harga BBM kali ini,” ujar dia.
Indocement memiliki tiga pabrik yang berlokasi di Citeureup, Cirebon (Jawa Barat), dan Tarjun (Kalimantan Selatan). Mesin-mesin pengolah semen di Citeureup hampir 70 persen menggunakan BBM. Di Cirebon dan Tarjun, masing-masing memakai listrik dan batu bara. Indocement berencana mengganti energi dari minyak ke gas alam.
Kecaman juga datang dari Gabungan Asosiasi Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia. Menurut ketuanya, Adi Lukman, Pertamina terlalu tergesa-gesa menaikkan harga BBM tanpa meminta masukan dari dunia industri. Apalagi, PLN turut serta menaikkan tarif listrik untuk kalangan bisnis dan industri.
Diperkirakan, harga jual barang ikut-ikutan naik, paling tidak 10-15 persen, karena bahan bakar menyedot 7-12 persen biaya produksi. ”Tapi kami tidak mungkin menaikkan harga. Daya beli masyarakat sudah jatuh,” katanya. Ini akan menyulitkan banyak perusahaan. Belum lagi, produk-produk Cina menyerbu masuk dengan harga miring.
Karena itu, kata Adi, tidak ada pilihan bagi para pelaku usaha kecuali mengurangi jumlah pegawai. Kalau cara ini masih belum dirasa cukup, ya, gulung tikar. Makanya, pengusaha minta Pertamina dan PLN ikut merasakan beban yang ditanggung kalangan industri. Caranya, cukup dengan menaikkan harga BBM dan listrik secara bertahap.
Direktur PT Indofood Sukses Makmur Divisi Bogasari Flour Mills, Franciscus Welirang, menilai PLN melakukan diskriminasi lewat kebijakan kenaikan tarif listrik. Hanya industri tertentu yang kecipratan tidak enaknya itu. ”Sekaligus membuka peluang bagi pegawai PLN melakukan KKN,” kata Franky, sapaan Franciscus.
Perusahaan yang menguasai 89 persen pangsa pasar terigu di Tanah Air ini, kata Franky, pasti akan menaikkan harga jual produknya. Sebab, mesin-mesin pengolah milik Bogasari kebanyakan menggunakan sumber listrik dari PLN. Kenaikan harga BBM tidak hanya mengancam industri besar. Di Benoa, Bali, sekitar 700 kapal penangkap ikan terancam tidak bisa beroperasi lagi karena pemilik kapal tidak sanggup mendanai biaya operasional yang membengkak 200 persen. ”Kenaikan harga solar bikin kami frustrasi,” kata Ketua Asosiasi Tuna Long Line Indonesia, Hendrik Kosasih.
Sampai-sampai, anak buah kapal sengaja membiarkan perahu-perahu yang sedang buang sauh menghalangi kapal tanker milik Pertamina masuk Pelabuhan Benoa. Mereka masuk kriteria industri yang harus membeli solar sesuai dengan harga pasar.
Pemerintah, kata Wakil Presiden Jusuf Kalla, menginginkan industri berskala besar dan berorientasi ekspor tidak lagi ditopang subsidi BBM. ”Agar mereka punya kemampuan kompetisi tanpa harus disubsidi,” ujarnya. Tapi, Kalla menambahkan, langkah ini perlu mendapat dukungan pemerintah pusat dan daerah dengan tidak mengenakan berbagai pungutan tambahan.
Menurut ekonom Standard Chartered, Fauzi Ichsan, bahaya inflasi mengintip di balik kenaikan harga BBM dan listrik untuk industri. Sebab, tarif baru ini akan memicu kenaikan harga barang. Apalagi, kondisi tersebut dibarengi dengan melemahnya nilai tukar rupiah hingga di kisaran Rp 9.700 per dolar AS.
Kendati demikian, Kepala Badan Pengkajian Ekonomi dan Kerja Sama Internasional, Anggito Abimanyu, yakin bahwa target inflasi delapan persen tak akan terlewati, meski angka tersebut belum memperhitungkan dampak kenaikan harga BBM dan listrik. Tapi, seperti Fauzi, Anggito mengkhawatirkan fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar.
Dampak melemahnya nilai tukar rupiah jauh lebih besar ketimbang kenaikan harga BBM. Karena itu, kata Anggito, pemerintah akan mati-matian mengerem laju inflasi dengan menjaga kurs rupiah dan memperlancar jalur distribusi bahan pokok.
Stepanus S. Kurniawan, Retno Sulistyowati, Budi Riza, Rilla Nugraheni (Denpasar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo