Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Ketika Kekuasaan Campur Tangan

Sebuah buku tipis yang cukup lengkap menyajikan informasi mengenai Lekra, lembaga kebudayaan yang dicabut hak hidupnya setelah peristiwa 30 September 1965.

8 Agustus 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tuan Tanah Kawin Muda,
Hubungan Seni Rupa-LEKRA, 1950-1965
Penulis: Antariksa Penerbit: Yayasan Cemeti, Yogyakarta Tebal: 127+XII halaman (termasuk indeks dan lampiran), 2005

MEREKA yang menikmati debat dan polemik tentang kebudayaan dan kesenian pada tahun 1950-an dan paruh pertama dekade 1960 mungkin merasa kesepian memasuki paruh kedua dekade 1960. Paling tidak, setelah 1965, debat dan polemik tentang kaitan kesenian dan politik sangat tak berarti, untuk tidak mengatakan tak ada sama sekali.

Sebab-musabab hilangnya debat itu jelas: salah satu pihak yang meramaikan perdebatan itu menjadi korban peristiwa 30 September 1965, dan hak hidupnya dicabut. Pihak itu bernama Lekra, Lembaga Kebudayaan Rakyat, yang dianggap atau diakui menjadi salah satu organisasi di bawah payung Partai Komunis Indonesia—partai yang oleh Orde Baru dinobatkan sebagai pelaku utama peristiwa 30 September 1965. Buku tipis ini membahas ihwal Lekra (mengapa lahir, dan kiprah sejumlah anggotanya sampai organisasi ini diharamkan oleh Orde Baru) dan mengambil fokus salah satu bidang di dalam Lekra: seni rupa.

Karena itu, segera terasa buku ini kurang tampil sebagai buku seni rupa; hanya ada dua gambar, dan salah satu gambar merupakan muatulang gambar sampul dan hanya hitam-putih. Sulit bagi mereka yang tak berada di dalam dunia seni rupa Indonesia membayangkan seperti apa sebenarnya lukisan atau patung yang disebut-sebut sebagai ”antiimperialis” dan ”antifeodal” itu. Bagaimana pula lukisan yang tercipta dari mereka yang meyakini bahwa lukisan ”baru bisa menjadikan kehidupan Rakyat indah, gembira, dan bahagia apabila semuanya itu sudah menjadi kepunyaan Rakyat”.

Gambaran tentang lukisan dan patung Lekra itu penting agar pembaca bisa mempertimbangkan sendiri, adakah konsep ”kesenian untuk rakyat” itu memang terwujud dalam karya-karya rupa. Sebab, seperti diuraikan dalam buku ini, ternyata konsep itu tidak melahirkan karya-karya ”tunggal nada”. Karya-karya pelukis yang mendukung Lekra sangat bervarian. Penjabaran ”realisme” tak hanya menampilkan obyek sebagaimana tampak mata. Contoh populer, pada tahun 1950-an itu Affandi sudah melukis dengan wujud bagaikan susunan benang ruwet warna-warni. Lalu, Hendra Gunawan dikenal dengan lukisan yang menggambarkan figur-figur dengan profil bagaikan bentuk wayang kulit dengan bulu-bulu kaki dibuat ornamentik. Sedangkan Trubus Sudarsono mempertahankan figur seperti lukisan potret.

Gambaran itu juga perlu untuk perbandingan: sebenarnya, seberapa berbeda karya-karya perupa yang mengabdikan lukisan dan patungnya untuk rakyat, dengan karya para perupa yang waktu itu digolongkan sebagai penganut ”seni untuk seni” atau ”pengabdi Barat” oleh pendukung Lekra.

Terlepas dari kekurangan itu, Antariksa, penulis buku ini, cukup melengkapi esainya (demikian ia menyebut buku ini) dengan riset yang luas, termasuk menemukan naskah-naskah yang tidak atau belum diterbitkan. Misalnya yang belum diterbitkan itu memoar Basuki Resobowo, salah seorang pelukis pendukung Lekra yang meninggal di Eropa sekitar enam tahun lalu.

Dari memoar Basuki Resobowo itulah, antara lain, kita tahu bahwa konsepsi Lekra tentang kesenian yang dijabarkan dalam Mukadimah kelahiran organisasi ini, 17 Agustus 1950, sebenarnya sudah dijalankan pada tahun 1946 di organisasi Seniman Indonesia Muda (SIM) yang dipimpin oleh Sudjojono, Hendra, dan Basuki. Ini menjelaskan kenapa setelah beberapa anggota SIM berpencar dan masing-masing mendirikan kelompok sendiri, ”ideologi” kesenian mereka serupa. Tentu ada detail-detail yang berbeda, namun tidak prinsipil. Misalnya, Hendra menyingkir dari Sudjojono karena keduanya bertengkar soal cara membagikan subsidi dari pemerintah untuk anggota SIM. Sudjojono lebih menekankan jasa dan prestasi seseorang, Hendra ingin mereka yang berkeluarga mendapat subsidi lebih besar daripada yang masih bujangan, tak peduli ”prestasi” dan ”jasa”nya.

Catatan Basuki dan sejumlah data lain yang dikumpulkan oleh penulis buku ini menjelaskan kenapa Lekra subur di Yogyakarta dan bukan di kota lain. Konsepsi Lekra tentang kesenian yang dijabarkan dalam Mukadimah Lekra 1950 adalah juga yang dianut oleh para seniman di sanggar-sanggar yang pada tahun 1950-an banyak muncul di Yogyakarta. Dan ini, seperti sudah disinggung, merupakan akibat dari perpecahan di dalam SIM (organisasi perupa yang dibentuk ketika para seniman ikut hijrah dari Jakarta ke Yogya di awal kemerdekaan, yang bergerak di tiga kota: Madiun, Solo, Yogya).

Bisa disimpulkan, sejauh Lekra masih berpegang teguh pada ”kesenian untuk rakyat” atau ”kesenian milik rakyat”, pertentangannya dengan seniman non-Lekra sebenarnya masih wajar. Malah pertentangan ini di Yogyakarta menjadi embrio seni rupa nonfiguratif atau lebih populer disebut seni rupa abstrak. Menurut tuturan Fadjar Sidik, dosen di ASRI, Yogya, ketika ia masih bergabung dengan Sanggar Pelukis Rakyat (1952-1957) selain melukis realistis kadang-kadang ia juga membuat coretan-coretan nonfiguratif, hasil bacaan berbagai buku seni rupa. Tapi pengaruh sanggar pimpinan Hendra Gunawan begitu kuat sehingga ”abstrak” awal Fadjar tak berkembang. Ia kembali meyakini bahwa ”seni untuk rakyat” dan itu berarti realisme.

Fadjar kemudian bermukim di Bali, dan kembali ke Yogya pada 1961 karena dua hal. Pertama, ia mulai jenuh dengan ”meniru” alam; kedua, karena ASRI memanggilnya untuk mengajar. Ketika itu omong-omong warung kopi dengan para perupa realis, kebanyakan dari Lekra, membuat Fadjar kritis terhadap ”realisme Lekra”. Kata Fadjar, kalau benar mereka melukis untuk rakyat, kenapa mereka tak menggambar perkembangan sosial ekonomi yang terjadi. Ketika itu radio transistor mulai populer, kendaraan bermotor makin banyak, rumah tangga yang mempunyai kulkas juga makin tampak. Dan toko-toko besar bermunculan, bukan hanya pasar tradisional. Mengapa mereka tetap melukis petani di sawah, buruh pabrik, pasar, suasana kampung. Fadjar tak menceritakan pembelaan para realis itu. Ia malah menjawab sendiri tantangannya kepada para seniman Lekra. Soalnya, kata dia, melukis radio, sepeda motor, mobil, kulkas dengan cara realistis akan menjadi gambar reklame dan bukan lukisan.

Debat itulah yang mendatangkan inspirasi bagi Fadjar bahwa melukis di zaman itu adalah menciptakan bentuk sendiri, bukan meniru obyek sekitar. Kita tahu, sejak awal 1960-an itu, lukisan Fadjar Sidik benar-benar tanpa obyek atau figur, hanya bentuk-bentuk geometris atau bentuk-bentuk mirip tulang.

Perkembangan baru Fadjar Sidik kira-kira semasa berdirinya Sanggar Bumi Tarung di Yogya. Sementara sanggar-sanggar lain hanya mendukung konsepsi kesenian Lekra, Bumi Tarung secara tegas menyatakan sebagai ”sanggar Lekra”. Para pendiri Bumi Tarung adalah para perupa muda. Bisa jadi, ini adalah pengaruh dari revisi Mukadimah Lekra dalam kongresnya di Solo, 1959. Mukadimah baru makin menegaskan semangat antiimperialis dan antifeodal. Dan rakyat dinobatkan bukan hanya sebagai empunya kebudayaan, melainkan sebagai satu-satu pencipta kebudayaan, dan rakyatlah pahlawan bangsa itu (halaman 48).

Namun, bukan Mukadimah itu benar yang kemudian mengubah pertentangan antarseniman yang Lekra dan non-Lekra. Adalah tanggapan Nyoto, orang kedua dalam Politbiro Komite Sentral PKI sesudah Aidit, yang dianggap penghubung Lekra dengan PKI. Nyoto menanggapi revisi Mukadimah itu dengan menegaskan fungsi politik. ”Politik tanpa kebudayaan masih bisa jalan, tetapi kebudayaan tanpa politik tidak. …Politik harus menuntun segala kegiatan kita. Politik adalah panglima.”

Itulah; Sanggar Bumi Tarung tegas-tegas menyatakan politik sebagai panglima dalam berbagai diskusi kesenian di Yogya. Sampai di sini pun sebenarnya salingtoleransi antarseniman masih ”bersuasana demokratis” dan ”memperindah taman keberagaman atau pluralisme” (lihat tulisan Misbach Tamrin dalam katalogus Pameran Seni Rupa Angkatan 1960-an, pameran di Taman Ismail Marzuki, Juli lalu).

Namun, perkembangan politik (bukan kesenian) akhirnya membuat Lekra di atas angin dan menyebabkan yang non-Lekra—misalnya para penanda tangan Manifes Kebudayaan—jadi ”tertindas”. Pada hemat saya, ini adalah perkembangan akibat ”politik sebagai panglima”, semboyan yang dengan mudah mengundang masuknya kekuasaan (Manifes Kebudayaan dilarang langsung oleh Presiden Soekarno, misalnya).

Inilah zaman yang bisa dijadikan pelajaran bahwa dalam pluralisme, bagaimanapun tajamnya perbedaan, dampaknya adalah positif. Tapi, begitu kekuasaan campur tangan, azablah yang bakal ditanggung mereka yang berseberangan dengan kekuasaan. Buku ini memang—sebagaimana disebutkan oleh penulisnya—sebuah awal kajian, yang cukup lengkap.

Bambang Bujono

  • Wartawan, penulis seni rupa
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus