Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah utang, giliran bahan bakar minyak menjadi masalah akut anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Tapi, berbeda dengan utang yang masih bisa dikendalikan, pemerintah bisa dibilang angkat tangan dalam soal bahan bakar minyak (BBM). Ketika harga minyak mentah di pasar internasional terus membubung tinggi sepanjang tahun ini, pemerintah mesti mengalah dengan mengubah besaran-besaran dalam APBN.
Dampak kenaikan harga minyak itu sangat terasa karena pemerintah masih mengatur harga sejumlah komoditas BBM seperti minyak tanah, solar, dan premium. Harga tiga jenis BBM ini jauh di bawah harga pasar. Akibatnya, ketika harga minyak naik, subsidi yang mesti ditanggung pemerintah pun membengkak tak keruan. Pada saat APBN 2005 disahkan pada Oktober 2004, harga patokan minyak ditetapkan US$ 24 per barel.
Tapi, sejak awal tahun, harga minyak tak pernah berada di kisaran patokan APBN. Harga rata-rata minyak Brent pada semester pertama tahun ini, misalnya, berada di angka US$ 49,27 per barel. Sedangkan harga rata-rata minas (Indonesia) US$ 46,54 per barel. Mau tak mau pemerintah harus mengubah harga patokan minyak. Dalam APBN Perubahan 2005, yang disahkan pada akhir Juni lalu, harga minyak ditetapkan US$ 45 per barel.
Sialnya, pada Juli lalu, harga minyak malah naik hingga US$ 62 per barel. Bahkan pengamat perminyakan Kurtubi meramalkan harga minyak bisa meroket hingga US$ 70 per barel pada triwulan keempat 2005. “Permintaan memang naik,” katanya. Saat ini, permintaan minyak dunia mencapai 84 juta barel per hari dan diperkirakan akan naik menjadi 86,5-87 juta barel pada triwulan terakhir 2005. Padahal negara-negara produsen minyak sudah memompa habis-habisan sumur minyaknya.
Karena itu, kata Menteri Keuangan Jusuf Anwar, asumsi harga minyak di APBNP akan diubah kembali menjadi US$ 50 per barel. Menurut Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR, Hafiz Zawawi, subsidi BBM diperkirakan melonjak dari Rp 76,5 triliun menjadi Rp 120 triliun-130 triliun. Masalahnya, pemerintah tak punya cukup duit untuk menyediakan subsidi sebesar itu. “Masih kurang sekitar Rp 55 triliun,” kata Hafiz.
Pemerintah memproyeksikan, Rp 25 triliun dari kekurangan dana itu akan diperoleh dari pajak. Sisanya akan dicari dari sisa anggaran lebih tahun lalu dan upaya lain yang tak biasa, misalnya meminta dividen perusahaan negara dan pajak dibayar di muka. Di sisi pengeluaran, DPR sudah meminta pemerintah tak lagi menambah anggarannya. “Kita tak mau pemerintah menaikkan harga minyak, paling tidak sampai tahun 2006,” kata Hafiz.
Namun, cara tambal sulam itu dianggap kurang realistis oleh Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia, Chatib Basri. Dalam situasi sekarang, terang tak mudah mendongkrak target pajak dengan menaikkan tarif. Pemerintah juga membutuhkan waktu jika obyek pajaknya hendak diperluas. Begitu pula bila perusahaan negara diminta membayar dividen di muka dan bayar pajak di muka. “Apa mereka sanggup?” kata Chatib.
Selayaknya, kata Chatib, harga minyak yang dinaikkan karena yang menikmati subsidi adalah kelompok menengah ke atas. Kurtubi pun mengusulkan agar pemerintah menaikkan harga BBM jika harga minyak mentah dunia naik hingga US$ 65 per barel. “Harga BBM sebaiknya dinaikkan 20-30 persen,” katanya. Hanya, pemerintah harus terlebih dulu memastikan penyaluran dana kompensasi BBM tepat sasaran, seperti untuk kesehatan dan pendidikan.
Menteri Jusuf sendiri bungkam ketika ditanya soal kenaikan harga BBM. Menurut dia, pemerintah sudah berusaha melakukan penghematan. Pemerintah juga sudah menaikkan harga solar bagi industri mulai 1 Agustus lalu. Namun, langkah itu belum membuat laju konsumsi BBM melambat. Sampai awal Agustus, konsumsi BBM sudah 10 persen di atas target. Akibatnya, realisasi subsidi BBM telah mencapai Rp 50 triliun dari anggaran Rp 76,5 triliun. Pemerintah tak bisa lagi sekadar mengutak-atik angka.
Taufik Kamil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo