Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bendera Hitam dari Khurasan saya baca ketika umur saya belum 13. Saya hanya setengah mengerti: novel Jurji Zaydan, pengarang Libanon yang hidup di Mesir dan meninggal pada tahun 1914 ini, tampaknya menggambarkan sebuah fragmen sejarah di sekitar Bagdad. Tokohnya Abu Muslim el-Khurasani. Pada musim panas abad ke-8, ia mengibarkan bendera revolusi di seluruh Khurasan, di timur laut Persia, dan akhirnya menumbangkan khalif Bani Ummayyah terakhir. Praktis dialah yang menghabisi kekuasaan dinasti itu dan menegakkan daulat Abbasiyah.
Saya tak ingat lagi detail novel sejarah itu. Hanya satu adegan menjelang penutup yang masih di kepala saya lamat-lamat: syahdan, Abu Muslim dikhianati. Pemimpin dinasti Abbasiyah yang kedua, Al-Mansur, menjamu rombongan tamunya dengan hangat dan ramah. Tapi sejumlah pembunuh telah disiapkan di balik pintu. Menjelang jamuan usai, para algojo itu menyelinap masuk. Tiap tamu dibantai. Darah bergelimang, tubuh bergolekan di antara santapan lezat di ruang itu, dan tuan rumah beserta kawan-kawannya meneruskan santap malam….
Saya terpesona, agak mual, dan mulai risau. Darah mudah tumpah dalam cerita itu, khianat amat kerap. Mungkinkah ini karena penulisnya seorang Kristen yang memandang sejarah Islam sebagai riwayat kebuasan? Tapi Jurji Zaydan dikagumi di dunia Islam. Barangkali karena ia hidup pada masa nasionalisme Arab bangkit, dan beda antara yang ”Islam” dan yang bukan tak jadi soal. Mungkin juga karena orang maklum Zaydan tak bisa lain. Ia hidup di sebuah geografi yang mengendapkan pengalaman yang traumatik, tempat perkara yang amat penting--pergantian kepemimpinan umat--selalu diselesaikan dengan penuh ketegangan, ketakpastian, dan langkah-langkah ad hoc yang berlumur darah. Semenjak Nabi wafat.
Tersirat dalam kisah Jurji Zaydan, Islam memang menyiapkan sebuah petunjuk hidup, tapi di celah-celah itu, ketaksiapan bukanlah hal yang janggal. Berangsur-angsur manusia mengambil keputusan sendiri. Melalui dosa dan keterbatasan, ia menghimpun kearifan, sementara Tuhan kian terasa jauh. Tafsirlah yang hadir sebagai wakil-Nya yang dengan sendirinya tak sempurna. Politik berkecamuk di sekitar ketaksempurnaan itu. Sekularisasi pun terjadi.
Proses itu memang jarang diakui sekarang. Tapi pada dasarnya sejarah sosial manusia di mana pun akan terpaksa mencampuradukkan yang sekuler dan yang bukan, dengan segala cacat dan kelebihannya.
Pada awalnya sebuah inspirasi moral, yang datang dari wahyu dan laku suci, begitu menggugah seperti Islam di Mekah dan sekitarnya pada abad ke-6. Tapi hidup manusia dilecut waktu; yang memukau tak selamanya akan memukau. Manusia pun cenderung membuat inspirasi itu berperan terus, dan lahirlah aturan perilaku buat mengikuti inspirasi awal itu. Yang moral pun jadi sebuah sistem, moralitas tersusun, dan hukum ditulis.
Hukum membutuhkan politik. Tapi itulah soalnya: politik adalah kalkulasi manusia dalam kefanaan dan keramaian hidupnya. Kekuasaan dan bentrok merupakan anasir pokok dalam kalkulasi itu. Berangsur-angsur, politik jadi sebuah dunia kegiatan tersendiri, dengan gerak dan dampak tersendiri.
Sebab, dalam menghitung kekuasaan dan kemungkinan bentrok, politik harus memilih apa yang ”baik” pada hari ini dan masa depan, selama masa depan itu dapat dibayangkan. Apa yang ”baik” akhirnya berarti apa yang ”efektif” dan ”terjangkau”. Maka niat mengekalkan ketakjuban inspirasi pertama—niat untuk membuat pengalaman otentik Nabi jadi sesuatu yang dapat diikuti selalu—mau tak mau harus terlibat dengan apa yang tak mungkin kekal.
Sekularisasi adalah pengakuan akan adanya hal yang tak mungkin kekal tapi tak terelakkan itu. Akhirnya manusia tak dapat bermasyarakat hanya dengan bersandar pada semangat untuk menegakkan yang ”baik” dan yang ”buruk” menurut keyakinannya--sebuah kegagalan Gesinnungsethik, kata Weber. Cepat atau lambat, penilaian lain menonjol: penilaian berdasar rasa bertanggung jawab atas keselamatan masyarakat umumnya, dengan segala beda keyakinan tentang ”baik” dan ”buruk” yang diterima keramaian itu.
Pada saat itu, wibawa yang berlaku adalah wibawa kesepakatan, yang sifatnya tak abadi, bukan wibawa kebenaran. Tentu, mereka yang merasa harus suci terkadang mau menegakkan wibawa kebenaran dengan tegas. Mereka siap mendesak pihak lain ke pojok. Tapi siapa saja yang melakukan itu akan harus siap dengan kekerasan, dan yakin—kalaupun bisa yakin—bahwa kekerasan tak akan menular hingga akhirnya moralitas yang hendak ditegakkan akan berdiri lunglai di tengah puing.
Orang memang cemas bila hasrat untuk ”selamat” jadi begitu penting hingga padam keyakinan manusia tentang yang ”benar” dan yang ”suci”. Tapi itulah yang tak pernah terjadi. Sekularisme gagal, karena, sebagaimana juga lawannya, ”islamisme”, ia hendak membuat dunia bisa dibentuk dalam satu tata. Kini hasrat itu kian mustahil.
Sekularisme tak bisa hidup sendiri, juga agama. Sekularisasi yang berlangsung berabad-abad akhirnya justru melahirkan hari ini—zaman ”pasca-sekuler” yang mengakui kompleksitas manusia, enigma hidup dan mati, dan keanekaragaman tafsir. Modernitas pernah tak hendak mengakui itu, dan tampillah sisinya yang brutal dan takabur. Pada saat inilah agama justru dapat jadi bahasa alternatif, memberikan kearifan dari posisi yang tergetar oleh bayang-bayang yang sakral—getar yang hilang ketika agama sibuk dalam kalkulasi kekuasaan dan bentrok.
Bahasa alternatif itu juga yang agaknya menyelamatkan manusia dari erosi kesucian, ketika kesucian diwakili politisi dan polisi, hakim dan milisia, ulama yang angkuh dan pemegang takhta. Saya ingat Bendera Hitam dari Khurasan ditutup dengan sebuah adegan di biara: aneh, tapi mungkin, setelah politik menguasai segalanya, ada rasa rindu kepada yang sunyi, di mana diharapkan hadir yang suci—mirip di Gua Hira.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo