Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Diincar Cina, Natuna Simpan Cadangan Gas Bumi Terbesar

Wilayah perairan Natuna yang baru-baru ini diklaim Pemerintah Cina, ternyata memiliki potensi cadangan gas bumi dan minyak terbesar.

6 Januari 2020 | 12.31 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Video capture KRI Tjiptadi-381 yang beroperasi di bawah kendali Gugus Tempur Laut (Guspurla) Koarmada I menghalau kapal Coast Guard China saat melakukan patroli di Laut Natuna Utara, Kepulauan Riau, Senin 30 Desember 2019. KRI Tjiptadi-381 menghalau kapal Coast Guard China untuk menjaga kedaulatan wilayah dan keamanan di kawasan sekaligus menjaga stabilitas di wilayah perbatasaan. ANTARA FOTO/HO/Dispen Koarmada I

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Wilayah perairan Natuna, Kepulauan Riau, yang baru-baru ini diklaim Pemerintah Cina, ternyata memiliki potensi cadangan gas bumi dan minyak terbesar. Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Wisnu Prabawa Taher mengatakan, cadangan gas bumi di Natuna tercatat mencapai puluhan trillion cubic feet atau TCF.

"Potensi yang signifikan di Natuna ialah, saat ini ada di East Natuna ada sumber daya (gas) sekitar 46 TCF," ujar Wisnu dalam pesan pendek kepada Tempo, Senin, 6 Januari 2020.

Cadangan gas bumi ini lebih besar dari wilayah lain, seperti Maluku dan Selat Makassar. Berdasarkan data terkini, Blok Masela dan Maluku hanya memiliki cadangan gas sekitar 16 TCF. Sedangkan Blok I donesia Deepwater Development atau IDD yang berlokasi di Selat Makassar hanya memiliki cadangan gas 2,6 TCF.

Kendati memiliki cadangan gas bumi yang besar, kandungan CO2 atau karbondioksida di perairan Natuna tergolong tinggi. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM mencatat kandungan CO2 di East Natuna mencapai 72 persen.

Pada masa lampau, Pemerintah berkeras melancarkan pembangunan megaproyek gas di perairan Natuna. Negara mempercayakan proyek ini kepada PT Pertamina (Persero) sebagai pemimpin konsorsium kala itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Pemerintah juga sempat menggandeng PT ExxonMobil, perusahaan minyak asal Amerika Serikat, dan PTT EP Thailand, perusahaan eksplorasi dan produksi minyak bumi nasional yang berbasis di Negeri Gajah Putih. Pada 2016 awal, Pertamina beserta ExxonMobil dan PTT EP Thailand melakukan kajian.

Kajian itu bermaksud mengidentifikasi teknologi dan aspek komersial agar proyek bisa dikembangkan sesuai dengan skala ekonomi. Namun, dari kajian itu, menurut Exxon, proyek ini tidak layak investasi. Exxon lalu hengkang setelah mempertimbangkan aspek keekonomian.

Hubungan Cina-Indonesia sebelumnya memanas setelah adanya klaim batas perairan Natuna Utara dari Negeri Tirai Bambu. Klaim Cina itu mengacu pada Nine Dash-Line atau sembilan garis batas imajiner yang secara tegas ditolak oleh Indonesia.

Menteri Luar Negeri Retno Sumardi mengatakan klaim itu tidak berlandaskan hukum internasional yang diakui oleh Konvensi Hukum Laut PBB atau United Nations Convention for the Law of the Sea (UNCLOS). "Kami tidak mengakui Nine Dash-Line karena itu line klaim sepihak  yang dilakukan oleh Tiongkok (Cina), yang tidak memiliki alasan hukum yang diakui oleh hukum internasional, terutama UNCLOS 1982," ujar Retno, Jumat, 3 Januari lalu.

Nine Dash-Line adalah penetapan Cina atas kedaulatan suatu wilayah, baik di darat maupun perairan. Berpatokan pada peta itu, Cina mengklaim bahwa Laut Natuna Utara adalah wilayahnya.


FRANCISCA CHRISTY ROSANA | BISNIS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Francisca Christy Rosana

Francisca Christy Rosana

Lulus dari Universitas Gadjah Mada jurusan Sastra Indonesia pada 2014, Francisca mulai bergabung di Tempo pada 2015. Kini ia meliput untuk kanal ekonomi dan bisnis di Tempo.co.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus