Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - PT Visi Media Asia Tbk. (VIVA) akhirnya buka suara soal skema penyelesaian kewajiban penundaan utang (PKPU) terhadap 12 kreditur luar negeri sebesar Rp 8,79 triliun terhadap tiga perusahaan milik keluarga Aburizal Bakrie. Empat perusahaan media milik keluarga Bakrie itu meliputi PT Visi Media Asia Tbk, (VIVA), PT Intermedia Capital Tbk, (MDIA), PT Cakrawala Andalas Televisi (ANTV), dan PT Lativi Mediakarya (tvOne)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
VIVA menyebut perseroan akan menempuh dua cara penyelesaian, yaitu secara tunai bertahap dan konversi utang menjadi ekuitas atau debt to equity swap. “Dapat perseroan sampaikan bahwa penyusunan dan proses negosiasi skema penyelesaian kewajiban dalam rencana perdamaian masih terus berlangsung sampai dengan saat ini,” kata VIVA dalam keterbukaan informasi di situs Bursa Efek Indonesia (BEI) dikutip pada Ahad, 13 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
VIVA menyebut skema kewajiban dengan konversi utang menjadi ekuitas besarannya masih berkisar 2 persen dari total tagihan yang diakui dan terverifikasi dalam PKPU. Sementara itu, untuk tagihan selebihnya, sementara ini ditawarkan skema penyelesaiannya secara tunai bertahap.
“Besaran atau persentase tersebut dapat berubah sesuai dengan hasil negosiasi dengan para kreditur,” kata VIVA.
VIVA juga menyinggung rincian tagihan 12 kreditur yang pernah Tempo terbitkan. VIVA mengakui kalau rincian tagihan sebesar Rp 8,79 triliun itu berdasarkan ketetapan Hakim Pengawas berdasarkan surat penetapan nomor 13/Pdt.Sus.PKPU/2023/ PN.Niaga.Jkt.Pst tertanggal 22 Juli 2024.
“Pada prinsipnya, nilai tagihan tersebut di atas terkait dengan VIVA, ANTV, dan TVONE. Namun dalam Penetapan Hakim Pengawas hanya menyebutkan nilai tagihan dari masing-masing 12 kreditur tersebut tanpa menetapkan porsi tagihan kepada masing-masing VIVA, ANTV dan TVONE,” kata VIVA.
VIVA menyebut saat ini tidak ada informasi, fakta, atau kejadian penting lainnya yang bersifat material dan dapat mempengaruhi kelangsungan usaha Perseroan. VIVA mengatakan akan menyampaikan kepada publik apabila ada fakta material lain yang mempengaruhi kelangsungan usaha perseroan.
“Maka perseroan akan menyampaikan keterbukaan informasi kepada publik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku,” kata VIVA.
Selanjutnya: Adapun, rincian tagihan dari 12 kreditur ke empat perusahaan milik keluarga Bakrie....
Adapun, rincian tagihan dari 12 kreditur ke empat perusahaan milik keluarga Bakrie itu sebagai berikut.
1. Arkkan Opportunities Fund Ltd: Rp 1.278.843.139.042
2. Best Investments (Delaware) LLC: Rp 1.147.395.510.383
3. Credit Suisse AG, Singapore Branch: Rp 3.501.971.590.271
4. CVI AA Lux Securities Sarl: Rp 28.398.050.589
5. CVI CHVF Lux Securities Sarl: Rp 12.621.361.411
6. CVIC Lux Securities: Rp 425.970.584.568
7. CVIC EMCVF Lux Securities Trading Sarl: Rp 420.711.686.398
8. CVI CVF II Lux Securities Trading Sarl: Rp 37.864.045.022
9. CVIC Lux Securities Trading Sarl: Rp 126.213.491.144
10. EOC Lux Securities Sarl: Rp 286.848.905.123
11. The Varde Fund X (master), LP: Rp 764.930.351.967
12. TOR Asia Credit Master Fund LP: Rp 764.930.351.967
VIVA dan beberapa anak usahanya tersebut terancam pailit. Sebanyak 12 kreditur menagih utang sebesar Rp 8,79 triliun kepada empat perusahaan itu. Jika tenggat penyelesaian utang melalui PKPU terlampaui, VIVA bakal dipailitkan. Majelis Hakim di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberikan waktu hingga 4 November kepada VIVA untuk bernegosiasi dengan para kreditur.
Dalam laporan keuangan konsolidasian interim VIVA terakhir pada 30 September 2023, perusahaan ini mencatatkan pendapatan sebesar Rp 906 miliar alias turun dari periode sebelumnya, yaitu Rp 1,32 triliun. Dari Rp 906 miliar itu, beban usaha perusahaan pun lebih tinggi, yaitu Rp 1,14 triliun. Beban usaha terbesar VIVA berasal dari operasional perusahaan yang meliputi gaji karyawan, jasa profesional, transportasi, air, listrik, dan sejenisnya sebesar Rp 630,2 miliar. Walhasil, pada triwulan III atau 30 September 2024, VIVA mencatatkan rugi Rp 239 miliar.
Kondisi tersebut setali tiga pada 2022. Pada periode tersebut, VIVA malah membukukan rugi sebesar Rp 1,71 triliun. Jumlah ini membengkak sekitar 93,19 persen secara tahunan dari 2021 sebesar Rp 883,12 miliar. Pada periode ini, VIVA juga mencatatkan defisiensi ekuitas sebesar Rp 1,58 triliun atau meningkat dari total Rp 617,33 miliar di 2021.
Pendapatan VIVA pun juga menurun 6,26 persen pada 2022. Pada 2022, VIVA mencatatkan pendapatan usaha Rp 1,69 triliun, sedangkan di 2021 sebesar Rp 1,81 triliun. Penyebabnya ialah pendapatan dari sektor iklan yang turun 7,63 persen. Pada 2022, VIVA hanya mendapat Rp 1,65 triliun, sementara di 2021 sebesar Rp 1,79 triliun.
Padahal, beban usaha pada periode 2022 turun 0,44 persen atau Rp 1,65 triliun dari 2021 sebesar Rp 1,66 triliun. Beban usaha ini dihasilkan dari dua segmen, yaitu program dan penyiaran sebesar Rp 724,3 miliar dan operasional umum perusahaan Rp 933,7 miliar. Karena itu, VIVA pun akhirnya hanya bisa mencatatkan laba usaha Rp 40,48 miliar pada 2022. Angka ini anjlok 72,38 persen atau 146,6 miliar.