Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sederet kerugian triliunan rupiah diungkapkan Mohammad Afdal Bahaudin. Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Risiko PT Pertamina (Persero) ini mengatakan perusahaan tekor dalam program penyaluran bahan bakar minyak bersubsidi dan gas nonsubsidi.
Berdasarkan perhitungan, kerugian Pertamina dari penyaluran BBM bersubsidi per Juli sebesar US$ 200 juta (sekitar Rp 2,3 triliun). "BBM PSO negatif," kata Afdal dalam sebuah acara diskusi di Ritz-Carlton Mega Kuningan, Jakarta, 26 Agustus lalu. Dalam program ini, selain mendapatkan penggantian subsidi, Pertamina mendapatkan upah (fee) penyaluran BBM bersubsidi.
Afdal lalu mengumbar kerugian perusahaan minyak dan gas milik pemerintah ini di bisnis gas nonsubsidi ukuran 12 kilogram dan 50 kilogram. "Kami konsolidasikan. Sampai Juli 2014 sudah minus US$ 325 juta (atau sekitar Rp 3,7 triliun)," dia menambahkan.
Pertamina beberapa kali menyampaikan rencana menaikkan harga elpiji kepada pemerintah, tapi ditentang karena dikhawatirkan akan membebani masyarakat. Hingga akhirnya rapat koordinasi di Kementerian Perekonomian, 8 September lalu, merestui penyesuaian harga, per 10 September. Dengan begitu, kerugian perseroan tahun ini diperkirakan berkurang menjadi Rp 5,7 triliun dari perkiraan awal Rp 6,1 triliun.
Seretnya arus kas Pertamina sebenarnya telah kentara sejak dua bulan lalu. Saat itu, Pertamina ngotot menagih utang pembelian solar kepada Perusahaan Listrik Negara (PLN) sekitar Rp 6 triliun. "Sudah kelihatan sejak ribut dengan PLN, lalu elpiji 12 kg. Mau mencari duit dari mana lagi? Ini pasti cash flow-nya kacau. Sudah kebaca," ujar seorang mantan petinggi perusahaan ini kepada Tempo, pekan lalu.
Tapi perusahaan setrum itu tak serta-merta bersedia membayar. Alasannya, kedua perusahaan negara itu masih berselisih soal harga. PLN telah meneken kontrak pada 2013 dengan harga beli solar rata-rata sebesar 107,8 persen mean of platts Singapore (MOPS). Sedangkan Pertamina meminta 109,5 persen MOPS yang berlaku sejak 2013. Penyelesaian masalah ini melibatkan Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan.
Penyebab lain cekaknya kas Pertamina, kata seorang mantan petinggi perusahaan ini, adalah pencairan dana subsidi dari pemerintah kerap molor. Ia bercerita, makin besar selisih harga bahan bakar bersubsidi dengan harga pasar, duit yang harus dikeluarkan pemerintah pun makin besar. "Begitu disparitas harga tinggi, pasti bermasalah. Pembayaran telat."
Ia membuat simulasi, disparitas harga saat ini Rp 4.500 per liter. Dengan asumsi penyaluran bensin bersubsidi rata-rata 4 juta kiloliter per bulan, dana subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah saban bulan Rp 18 triliun. Bayangkan betapa morat-maritnya kas Pertamina bila pencairan dana subsidi dari pemerintah molor berbulan-bulan.
Menurut mantan petinggi Pertamina itu, pada kondisi arus kas seperti saat ini, Pertamina bisa dikatakan dalam keadaan "SOS" alias darurat. Pengamat energi dari ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, menghitung tagihan Pertamina ke pemerintah mencapai Rp 65 triliun per Agustus, termasuk di dalamnya dana subsidi bensin yang dipindahkan ke tahun anggaran 2015. "Bagi korporasi, itu besar sekali."
Menteri Keuangan Muhamad Chatib Basri mengatakan dana subsidi bensin kepada Pertamina dicairkan bulanan. Ia menyebutkan tagihan Juli telah diselesaikan Agustus lalu. Sedangkan tagihan Agustus, yang akan dibayar September, sedang diproses oleh Direktorat Jenderal Anggaran. "Tahapan pembayaran harus memenuhi kelengkapan dokumen," ucap Chatib kepada Tempo, Jumat pekan lalu.
TOTAL pendapatan Pertamina, menurut Komaidi, sebenarnya tergolong besar, yakni US$ 71,1 miliar (sekitar Rp 841 triliun) pada 2013, naik tipis dibanding tahun sebelumnya US$ 70,9 miliar (sekitar Rp 838 triliun). Tapi itu masih di bawah perusahaan minyak pelat merah negara lain. PTT Thailand, misalnya, tahun lalu membukukan US$ 88,4 miliar dan Petronas Malaysia US$ 99,3 miliar.
Persoalannya, Komaidi menambahkan, komposisi penerimaan Pertamina sebanyak 70 persen dari bisnis hilir dan sisanya dari hulu. Padahal, umumnya, perusahaan minyak digerakkan oleh bisnis hulu. "Kondisi Pertamina terbalik." Meski cuma menyumbang 30 persen pendapatan, sektor hulu Pertamina berkontribusi 70 persen terhadap laba perseroan.
Separuh lebih pendapatan Pertamina berasal dari penjualan domestik (63 persen), kemudian kompensasi dari penugasan pendistribusian bahan bakar (29 persen), ekspor (7 persen), dan lain-lain (1 persen). Penjualan domestik yang dimaksud adalah bahan bakar minyak dan aviasi (79 persen). Juga penjualan minyak mentah, gas, dan panas bumi (11 persen) serta penjualan nonbahan bakar (10 persen).
Menurut Komaidi, kondisi ini tak lepas dari sejarah bahwa Pertamina mendapatkan penugasan dari pemerintah untuk menyediakan bahan bakar bagi publik, termasuk mendistribusikannya. "Jadi perlakuan pemerintah masih di satu sisi. Hulu sudah dibebaskan, tapi hilir masih dibebani."
Dia membandingkannya dengan Petronas, yang struktur pendapatan perusahaannya didominasi bisnis hulu. Bisnis hilir Petronas hanya menyumbang sekitar 10 persen, atau tak sampai 20 persen.
Komaidi memperkirakan beberapa faktor yang menyebabkan pendapatan Pertamina bergantung pada bisnis hilir. Salah satunya, pertimbangan dari sisi likuiditas, akan lebih cepat menghasilkan duit ketimbang investasi di hulu. Apalagi kegiatan hulu, yakni eksplorasi, bisa memakan waktu hingga lima tahun. Sebaliknya, di hilir, ketika Pertamina membeli minyak mentah lantas diolah di kilang domestik dalam waktu tidak lama, dana segar bisa segera masuk.
Ia menambahkan, perputaran uang Pertamina di bisnis hilir migas yang mencapai Rp 600 triliun per tahun tapi cuma berperan menghasilkan laba 30 persen menunjukkan ada masalah. "Ada apakah ini? Perputaran duit sampai Rp 600 triliun tapi hanya memberi keuntungan Rp 9 triliun? Itu pun kalau benar untung. Jangan-jangan alpha-nya malah habis untuk distribusi," ucap Komaidi. Artinya, ia menegaskan, ada yang perlu dibenahi dalam manajemen Pertamina.
Kinerja keuangan Pertamina yang berdarah-darah ini ternyata berdampak pula terhadap anak-anak perusahaan. Seorang pejabat yang mengetahui persoalan ini bercerita, Pertamina memotong anggaran semua anak perusahaan sebesar 10 persen. Akibatnya, biaya investasi atas proyek-proyek yang telah dibicarakan bersama Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) pun dikoreksi. "Bujet dikurangi. Katanya ada perintah dari pusat," ujar seorang pejabat SKK Migas.
Yang paling mengerikan dari krisis arus kas Pertamina kali ini, kata pejabat itu, adalah penggunaan dana hasil penerbitan surat utang untuk menutup biaya operasional perusahaan. Suatu hari, seorang kepala divisi keceplosan. Ia mengatakan bahwa biaya operasional perusahaan saat ini ditutup menggunakan dana obligasi. "Kalau memang benar begitu, sebagai corporate, itu gila. Bunga utang lebih baik untuk ekspansi Pertamina atau unit usahanya."
Hal yang sangat berbeda terjadi di PTT Thailand dan Petronas Malaysia. Biaya operasi dua perusahaan itu kebanyakan ditopang oleh pendapatan operasi mereka. Pada 2013, dari biaya operasional PTT sebesar US$ 4,2 miliar, US$ 3,7 miliar di antaranya berasal dari pendapatan operasional. Petronas bahkan mengeluarkan biaya modal dan dividen sebesar 93,1 miliar ringgit sepenuhnya dari pendapatan operasional, yang mencapai 94,9 miliar ringgit.
Tak mengherankan jika rasio utang Pertamina jauh lebih tinggi dibandingkan dengan dua kompetitornya di Asia Tenggara itu. Pada 2013, rasio utang Pertamina terhadap ekuitas mencapai 1,85 kali. Sedangkan PTT Thailand berada di angka 1,18 kali dan Petronas Malaysia bahkan hanya 0,42 kali. Dampaknya, peluang Pertamina mendapatkan pinjaman pada tahun-tahun mendatang akan mengecil.
Sumber Tempo di bisnis perminyakan mengungkapkan, dominannya pendapatan Pertamina di bisnis hilir (downstream) yang mencapai 87,2 persen (2012) membuat kemampuan Pertamina menghasilkan laba menjadi sangat rendah. Situasi yang dihadapi Pertamina jauh berbeda dengan Petronas, yang 81,7 persen pendapatannya dari hulu (upstream). Dengan harga minyak dan gas yang terus naik, Petronas dan PTT akan jauh lebih cepat melaju ketimbang Pertamina.
Tak terlalu mengagetkan jika peringkat Pertamina di Fortune 500 juga jauh di bawah pesaingnya itu. Tahun ini Pertamina ada di peringkat ke-123, turun satu level dibanding tahun sebelumnya. Petronas di posisi ke-69, naik dari sebelumnya di peringkat ke-77. PTT Thailand sebetulnya juga turun, tapi peringkatnya tetap jauh lebih baik daripada Pertamina, yakni di peringkat ke-84 (sebelumnya ke-81). Pertamina menargetkan bisa menembus Fortune 50 pada 2025.
Retno Sulistyowati, Gustidha Budiartie, Bernadette Christina Munthe, Angga Sukma Wijaya
Pendapatan (US$ Juta)
2013 | 2012 | 2011 | ||
PTT Thailand | 88.414 | 86.894 | 75.520 | |
Petronas | 99.271 | 91.031 | 90.248 | |
Pertamina | 71.102 | 70.924 | 67.297 | |
Laba (US$ Juta) | ||||
PTT Thailand | 2.945 | 3.255 | 3.306 | |
Petronas | 16.882 | 15.575 | 21.424 | |
Pertamina | 3.067 | 2.765 | 2.405 | |
Aset 2013 (US$ Juta)
2013 | ||
PTT Thailand | 56.056 | |
Petronas | 164.941 | |
Pertamina | 49.341 | |
Debt-to-Equity Ratio 2013 (Kali)
2013 | ||
PTT Thailand | 1,19 | |
Petronas | 0,42 | |
Pertamina | 1,85 | |
Sumber: Laporan Keuangan Pertamina, Petronas, PTT
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo