Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NIAT Pertamina menjadi perusahaan kelas dunia pada 2025 bisa kandas. Sejumlah investasinya di luar negeri tak membuahkan hasil sesuai dengan rencana. Padahal ladang minyak luar negeri ini diandalkan untuk menambah produksi Pertamina menjadi 2,2 juta barel setara minyak per hari (barrel of oil equivalent per day/boepd) pada 2025.
Pada 2025 itu, Pertamina menargetkan bisa memproduksi 900 ribu barel dari lapangan di dalam negeri dan 600 ribu barel dari ekspansi di luar negeri. "Sisanya akan diperoleh dari peningkatan hak partisipasi dan lainnya," ujar juru bicara Pertamina, Ali Mundakir, Senin pekan lalu.
Saat ini Pertamina memiliki sejumlah konsesi di luar negeri, antara lain di Malaysia, Vietnam, Sudan, Qatar, Libya, Irak, Australia, dan terakhir di Aljazair. Dari semua blok tersebut, baru ladang minyak di Malaysia dan Aljazair yang sudah memberi kontribusi produksi.
Untuk membeli ladang migas di Aljazair, Pertamina mengucurkan investasi sebesar US$ 1,7 miliar atau sekitar Rp 17,5 triliun dengan kurs yang berlaku akhir tahun lalu. Pertamina mengakuisisi blok milik ConocoPhillips Algeria, yang dalam hitungan semula berpotensi menambah produksi minyak hingga 23 ribu barel per hari.
Namun, menurut seorang praktisi migas yang mengetahui data Pertamina, kondisi riil produksinya jauh di bawah angka itu. Hal itu terlihat dari minyak yang diangkut kapal MT Gunung Geulis, Maret lalu. Kapal ini membawa 600 ribu barel minyak ke Indonesia dari hasil produksi selama 75 hari di sana. Artinya, produksi per hari hanya sekitar 8.000 barel. "Malah laporannya itu tidak penuh 600 ribu barel saat datang ke sini," katanya.
Hasil produksi yang tak memadai juga terjadi di Australia. Alasan Pertamina mengakuisisi Blok Basker-Manta-Gummy di Negeri Kanguru adalah karena adanya informasi cadangan pasti yang mencapai 7,8 juta barel ekuivalen. Kenyataannya, pada 2010 dikoreksi menjadi 1,7 juta barel ekuivalen dan Pertamina hanya mendapat jatah 100-200 barel per hari.
Pertamina pun memutuskan melepaskan saham di Australia itu. Tapi rencana pelepasan saham sebesar 10 persen untuk blok yang diakuisisi pada Juli 2009 ini terus tertunda. "Tunggu rapat pemegang saham saja," ucap Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Risiko Pertamina Afdal Bahaudin.
Seorang mantan petinggi Pertamina mengatakan akuisisi senilai Aus$ 66,2 juta atau sekitar Rp 700 miliar ini sebenarnya tidak masuk Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan Pertamina. "Kalau memang ada, seharusnya sudah dibahas sejak 2008," katanya.
Menurut dia, untuk mengakuisisi blok migas di luar negeri perlu waktu yang lama. Ada waktu untuk due diligence dan meminta masukan konsultan. Belum lagi waktu untuk menyediakan dana, yang perlu persetujuan lebih dulu. "Ini waktunya singkat, hanya dua bulan."
Afdal menolak tudingan kegiatan investasi yang dilakukan Pertamina itu tidak bisa dipertanggungjawabkan. "Semua sudah ada prosesnya. Dari sisi legal dan sebagainya sudah dilihat," ucapnya. Dia juga membantah kabar bahwa investasi itu didasarkan pada data yang tak akurat. "Tidak juga. Siapa yang tahu di bawah tanah isinya apa dan berapa."
Namun Ali tetap optimistis Pertamina bisa mencapai target 2,2 juta boepd. Menurut dia, kontribusi produksi dari usaha ekspansi Pertamina saat ini pun cukup meyakinkan. Dari rata-rata produksi 520 ribu boepd, sebanyak 57.090 barel minyaknya merupakan tambahan produksi dari luar negeri.
Komaidi Notonegoro, pengamat energi dari Reforminer Institute, mengingatkan, jika ditelusuri dari riwayat investasi ekspansi, dana yang dikeluarkan jauh lebih besar dari minyak yang dibawa pulang. "Itu menggunakan keuangan negara dan harus dipertanggungjawabkan."
Gustidha Budiartie, Retno Sulistyawati, Bernadette Christina
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo