Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dompet Digital Perusahaan Nasional

Bank dan perusahaan pelat merah membentuk alat pembayaran elektronik bersama. Sempat berencana mengakuisisi perusahaan rintisan, mereka ingin mengejar Go-Pay dan OVO.

13 April 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kantor LinkAja di kawasan Sudirman, Jakarta, Kamis, 11 April 2019./ Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hingga Selasa pagi, 9 April lalu, Gatot Trihargo masih yakin acara peluncuran besar-besaran LinkAja sesuai dengan jadwal. Penerbitan alat pembayaran digital sejumlah badan usaha milik negara itu rencananya mencuri momen puncak perayaan ulang tahun Kementerian Badan Usaha Milik Negara di Monumen Nasional, Jakarta, 13 April lalu. Namun, belum juga hari berganti, optimisme Deputi Bidang Usaha Jasa Keuangan, Jasa Survei, dan Konsultan Kementerian BUMN itu buyar.

Saat berkunjung ke Karawang, Jawa Barat, Menteri BUMN Rini Soemarno mengumumkan pengunduran tanggal peluncuran LinkAja menjadi 20 April 2019. Hajatan besar itu harus mengalah karena pada hari yang sama ada kampanye akbar calon presiden dan wakil presiden nomor urut 01, Joko Widodo-Ma’ruf Amin, di Gelora Bung Karno, Jakarta. “Perayaan puncak ulang tahun BUMN tetap 13 April. Cuma, diselenggarakan di Semarang,” kata Kepala Bagian Humas dan Protokol Kementerian BUMN Ferry Andrianto, Jumat, 12 April lalu.

Dalam beberapa pekan terakhir, Link-Aja selalu meramaikan kegiatan yang melibatkan perusahaan negara. Salah satunya dalam rangkaian perayaan hari lahir Kementerian BUMN di Gelanggang Olahraga Delta Sidoarjo, Jawa Timur, Ahad, 7 April lalu. Acara yang melibatkan 65 ribu orang itu menjadi ajang Festival LinkAja. Wahana pembayaran digital ini berusaha memanfaatkan keuntungannya sebagai produk perusahaan pelat merah. “Kami punya basis pelanggan yang besar. Kalau semua BUMN dijadikan satu, kami bisa mengalahkan OVO dan Go-Pay,” ujar Gatot. 

OVO dan Go-Pay adalah alat pembayaran digital penguasa pasar. Per November 2018, jumlah pengguna aktif bulanan Go-Pay mencapai 19,2 juta. OVO berada di bawahnya dengan 15,3 juta pengguna. Padahal Rini ingin LinkAja menjadi penguasa pasar.

Perbankan saat ini keteteran di industri pembayaran digital. Bank Indonesia mencatat industri teknologi finansial berbasis nonbank menguasai 99,8 persen pasar transaksi uang elektronik berbasis server. Bank hanya kebagian 0,2 persen. Jumlah pengguna uang elektronik nonbank bahkan mencapai 113,5 juta, sementara bank hanya 60,3 juta.

Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia Filia-ningsih Hendarta mengungkapkan, rata-rata transaksi pengguna elektronik bank pun jauh di bawah uang elektronik nonbank. Rata-rata transaksi pengguna nonbank Rp 33 ribu. “Sedangkan pengguna bank hanya Rp 13 ribu,” tuturnya, awal April lalu.

Penetrasi uang elektronik berbasis server ini dipercaya makin dalam jika Bank Indonesia sudah menerapkan standardisasi industri pembayaran kode respons cepat (Quick Response Indonesia Standard). Sebab, setiap kode harus bisa menerima pindaian dari penyelenggara jasa lain.

SEBELUM berkolaborasi membentuk LinkAja, tiap bank dan perusahaan telekomunikasi milik negara membuat alat pembayaran. Telkomsel punya T-Cash, Bank Negara Indonesia mengusung Your All -Payment (YAP), Bank Rakyat Indonesia baru meluncurkan MyQR, dan Bank Mandiri menyiapkan MandiriPay. Bank Tabungan Negara pun tak mau ketinggalan. “Masing-masing punya ‘mainan’. Bu Rini tanya, ‘Kenapa enggak dijadikan satu saja?’” kata Gatot Trihargo.

Ide Rini Soemarno itu muncul pada Oktober 2018. Menurut Department Head Digital Channels Division BTN Nu’man Rayadi, saat itu Rini mengundang bos-bos Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) dan PT Telkom. Agenda awal sebetulnya membahas PT Jalin Pembayaran Nusantara, perusahaan perantara pembayaran (switch-ing) milik PT Telkom yang menggelar integrasi anjungan tunai mandiri Himbara, yaitu Link. Dalam rapat itu, Rini meminta Himbara dan Telkom menginisiasi satu sinergi lagi: alat pembayaran digital yang sedang menjadi tren.

Pada November 2018, Nu’man kemudian bergabung dengan kelompok kerja yang menyiapkan sinergi pembayaran digital badan usaha milik negara. Awalnya, Nu’man menjelaskan, forum Himbara yang mengeksekusi usul tersebut. Dari empat bank Himbara, BNI mengajukan YAP sebagai alat pembayaran bersama. “Yang paling siap saat itu memang YAP,” ujar Nu’man.

Selain mempertimbangkan YAP, tim kerja saat itu masih menimbang opsi mengakuisisi usaha rintisan yang sedang tumbuh. Kelompok kerja ini mendekati beberapa entitas. Salah satunya Dana, dompet digital besutan PT Elang Mahkota Teknologi Tbk dan Ant Financial Services Group (Alipay). Seseorang yang mengetahui proses ini mengatakan Direktur Teknologi Informasi dan Operasi BRI Indra Utoyo serta Direktur Teknologi Informasi dan Operasi Bank Mandiri Rico Usthavia Frans bertugas menjajaki akuisisi.

Indra enggan menjelaskan rencana akuisisi tersebut. “Itu bukan domain saya. Saya akan jawab soal BRI saja,” kata Indra, -Jumat, 12 April lalu. Respons serupa datang dari Chrisma Albandjar, Chief Communications Officer Dana. “Saya tidak bisa berkomentar untuk hal ini.” Adapun Rico tidak menjawab pertanyaan Tempo.

Opsi mengakuisisi alat pembayaran digital yang sudah ada menguap. Pada November 2018, tim kerja menyodorkan YAP kepada Menteri Rini. Semua setuju. “Kami sudah kasih tahu konsekuensinya di depan. Bila oke, T-Cash mundur, T-Bank (BRI) mundur, yang lain mundur,” tutur Nu’man. “Kebetulan BTN juga sedang bikin BTN Pay, akan mundur juga.” 

Dadang Setiabudi, Direktur Teknologi Informasi dan Operasi BNI, mengelak ketika dimintai konfirmasi mengenai hal ini. “Itu bukan konsumsi media,” ucapnya. Gatot membenarkan informasi bahwa YAP sempat menjadi opsi platform bersama. “Opsi memang dua, YAP atau T-Cash.”

Setelah kesepakatan pada November 2018 itu, Himbara membentuk tim kerja dan rencana struktur organisasi YAP sebagai wahana bersama, meski nantinya tetap menjadi bagian BNI. Struktur organisasi ini akan diisi perwakilan Himbara. “Merek yang diusung saat itu masih LinkPay,” ujar Nu’man.

Arah angin berganti pada Januari 2019. Dalam sebuah rapat di Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Direktur Utama PT Telekomunikasi Indonesia Tbk Alex Sinaga mengajukan T-Cash sebagai wahana bersama. Alex menyodorkan T-Cash karena alat pembayaran ini sudah menjadi layanan sendiri sejak awal, terpisah dari layanan induknya, Telkomsel. T-Cash juga sudah dalam bentuk unit bisnis strategis dan sedang bersiap membelah diri menjadi anak usaha Telkomsel.

Rini setuju. Pada 7 Januari, Rini memutuskan T-Cash sebagai platform bersama dompet digital dan pembayaran kode respons cepat. “Yang paling siap ternyata T-Cash,” kata Gatot. Semuanya lalu melebur ke dalam T-Cash menjadi satu entitas baru, LinkAja, di bawah bendera PT Fintek Karya Nusantara (Finarya). “Masing-masing berkorban melepaskan kode respons cepatnya.”

Saat ini Telkomsel masih mengempit 99,99 persen saham Finarya. Namun sudah ada kesepakatan pembagian saham di antara BUMN. Finarya akan diresmikan pada Juni mendatang dalam rapat umum pemegang saham perdana. Telkomsel kebagian 25 persen saham; BNI, BRI, dan Mandiri masing-masing 19,99 persen; BTN dan Pertamina 7 persen; Jiwasraya 1 persen; dan Danareksa tidak sampai 1 persen.

Ronde pertama pendanaan Finarya ini hampir mencapai Rp 2 triliun. Dana berasal dari setoran tunai dan valuasi mitra pedagang yang sebelumnya bekerja sama dengan Himbara dan T-Cash. “Tahun depan akan buka pendanaan seri kedua,” tutur Nu’man.

Alex Sinaga menuturkan, jumlah pengguna LinkAja ke depan pun diprediksi meroket. Jumlah unduhan aplikasi LinkAja sudah mencapai 25 juta kali dengan total 131 ribu mitra pedagang. “Potensinya masih sangat besar,” katanya.

Potensi LinkAja ini membuat BUMN lain melirik. Salah satunya PT Kereta Api Indonesia (Persero). “Betul, kami tertarik ikut,” ucap Didiek Hartantyo, Direktur Keuangan KAI, Kamis, 11 April lalu. KAI berencana masuk dalam pendanaan seri kedua tahun depan.

KHAIRUL ANAM, GHOIDA RAHMA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Khairul Anam

Khairul Anam

Redaktur ekonomi Majalah Tempo. Meliput isu ekonomi dan bisnis sejak 2013. Mengikuti program “Money Trail Training” yang diselenggarakan Finance Uncovered, Free Press Unlimited, Journalismfund.eu di Jakarta pada 2019. Alumni Universitas Negeri Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus