Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tak Berhenti Setelah Dilarang

Sejak awal 2021, Kementerian Kelautan dan Perikanan mengklaim telah menggagalkan ekspor benih lobster ilegal senilai Rp 190 miliar.

17 Desember 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pekerja membungkus benur yang akan di ekspor ke Vietnam di Jakarta, 25 November 2020. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Meski aturan pelarangan ekspor benih lobster sudah kembali diterapkan, ekspor ilegal masih terjadi.

  • Tahun ini, lebih dari 4,7 benih lobster disita dari upaya penyelundupan.

  • Kementerian Kelautan dan Perikanan meminta bantuan lembaga lain untuk memperketat ekspor benur lobster.

JAKARTA Pemberlakuan aturan larangan ekspor benih lobster tidak serta-merta menghilangkan upaya penyelundupan. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat kegiatan ekspor ilegal masih terjadi, meski mengklaim trennya sudah menurun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Saat ini kecenderungan (untuk penyelundupan benih lobster) semakin menurun, walau tantangannya semakin besar," ujar Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan KKP, Rina, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Larangan ekspor benih lobster diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2021 yang berlaku sejak 4 Juni 2021. Aturan itu menggantikan kebijakan menteri sebelumnya, Edhy Prabowo, yang membuka keran ekspor sumber daya ikan tersebut dengan alasan membuka lapangan kerja bagi para nelayan tangkap. Dia kemudian terbukti mendapatkan keuntungan dari regulasi tersebut dan divonis 9 tahun penjara.

Sejak keran ekspor ditutup lagi, KKP mencatat terdapat 1,3 juta benih lobster yang disita dari upaya penyelundupan selama periode 17 Juni hingga 9 November lalu. Secara keseluruhan sejak awal tahun hingga 6 Desember lalu, KKP membatalkan ekspor ilegal sebanyak 4,7 juta ekor senilai Rp 190 miliar.

Rina mengatakan penanganan kasus tersebut dikerjakan KKP bersama sejumlah instansi, seperti Kepolisian RI, TNI, Direktorat Jenderal Bea Cukai, serta Aviation Security. Rina menyatakan Kementerian membutuhkan bantuan untuk menindak pelanggaran karena keterbatasan sumber daya manusia. Di tengah relokasi anggaran, penambahan tenaga sulit dilakukan, sehingga butuh sinergi untuk mengerjakannya.

Alasan lain menjalin kerja sama adalah kemunculan modus penyelundupan baru. Salah satu cara teranyar dilakukan dengan memanfaatkan jalan tol. Mereka melintas hingga ke pelabuhan-pelabuhan terdekat dari perbatasan Indonesia. "Karena lewat tol, sehingga kami tidak bisa mengontrol di titik-titik yang dilewati, ujar Rina.

Pekerja membungkus benur di Jakarta, 25 November 2020. Tempo/Tony Hartawan

Kerja sama juga dijalin dengan instansi internasional, seperti International Criminal Police Organization atau Interpol. Rina menyatakan komunikasi dengan beberapa negara tujuan ekspor ilegal pun telah dijalin, tapi tidak semua bersedia membantu.

Direktur Pengawasan Pengelolaan Sumber Daya Perikanan KKP, Drama Panca Putra, menuturkan penurunan kasus bisa terlihat dari banyaknya pembudi daya lobster. "Tahun ini sudah ada 344 pembudi daya dengan sekitar 8.000 lubang tambak lobster," ujarnya. Tantangannya, kata dia, adalah membujuk para nelayan penangkap benih lobster mengganti sumber mata pencarian mereka ke sektor budi daya.

Kementerian Kelautan dan Perikanan sebelumnya telah menentukan wilayah khusus pengembangan lobster dari benih di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono berencana menambah satu lokasi lagi pusat budi daya lobster, yaitu di Provinsi Lampung. Sebab, kawasan tersebut dinilai memiliki sumber daya benih bening lobster yang melimpah serta didukung kondisi lahan dan air yang cocok untuk budi daya.

Drama menyatakan pencegahan penyelundupan ekspor benur lobster juga dilakukan lewat pengetatan pengawasan di perairan. Kementerian akan mendatangkan dua speed boat baru untuk mempermudah pergerakan mencegah ekspor ilegal. Armada tersebut ditargetkan bisa mulai beroperasi tahun depan.

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Abdul Halim, menyatakan penegakan hukum yang koordinatif dan transparan juga penting untuk menghentikan ekspor ilegal benih lobster ini, termasuk kepada aparat penegak hukum lainnya yang terbukti terlibat. "Penyelundupan terjadi umumnya karena melibatkan oknum birokrasi dan/atau penegak hukum," ujarnya.

Abdul juga mengusulkan agar Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan memeriksa arus kas perdagangan ikan yang terjadi. Dengan peluang kejahatan yang terbuka lebar dan modus yang semakin bervariasi, dia menyatakan pengawasan dan penindakan ekspor ilegal benih lobster harus lebih ketat.

VINDRY FLORENTIN
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus