Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menolak rencana pemerintah membuka keran impor garam konsumsi dan produksi. Ketua Departemen Pendidikan dan Penguatan Jaringan KNTI Misbachul Munir menyebut rencana impor ini adalah bentuk ketidakseriusan pemerintah mencapai swasembada dan kedaulatan garam nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Hanya dengan alasan musim hujan dan stok garam nasional,” kata Munir, dalam keterangan tertulis, di Jakarta, Minggu, 21 Januari 2018. Pelonggaran impor garam ini, menurut dia, justru hanya akan menambah buruk persoalan tata kelola garam nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya, pemerintah berencana mengimpor 3,7 juta ton garam industri secara bertahap pada 2018. Kementerian Koordinator Perekonomian memastikan impor hanya dilakukan pada garam industri, bukan garam konsumsi. Tujuannya adalah menjamin ketersediaan garam bagi industri dalam negeri.
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Perekonomian Muzdalifah menyebut impor garam industri tidak akan dilakukan seandainya produksi dalam negeri mencukupi. "Jadi bukan karena lebih efisien impor, tapi karena produksi yang belum cukup, belum cukup persyaratan kandungannya," katanya kepada Tempo.
Munir menuturkan, ada empat alasan KNTI menolak kebijakan impor garam oleh pemerintah. Alasan pertama, impor garam dalam sepuluh tahun terakhir telah dilakukan secara berlebihan. Akibatnya, produksi garam nasional pun lumpuh dan petambak garam ikut dirugikan. Kondisi ini, kata Munir, membuat banyak petambak beralih profesi menjadi butuh tenaga kasar. “Kapasitas produksi garam pun menurun.”
Alasan kedua, kata Munir, lahan-lahan produksi garam ikut berkurang sebagai dampak alih profesi petambak. Pemilik lahan, menurut dia, memilih tidak memproduksi garam karena kekurangan tenaga pekerja.
Alasan selanjutnya adalah buruknya pengelolaan produksi oleh PT Garam (Persero) dalam menyerap garam rakyat. Ketimbang melakukan impor, pemerintah seharusnya tegas meminta PT Garam menyerap hasil produksi garam di setiap daerah. Insentif terhadap petambak garam pun dinilai perlu diberikan.
Adapun alasan terakhir adalah pemerintah harus berpikir untuk memperluas lahan produksi garam. Swasembada garam nasional, kata Munir, harus menjadi prioritas agar bisa keluar dari perangkap ketergantungan impor. “Dengan memanfaatkan lahan yang tidak produksi menjadi lahan produksi garam,” ujarnya.