Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Empat Dollar Atau Ambyar

Opec akan bersidang lagi setelah nigeria menurunkan harga minyaknya. para menteri negara teluk (arab) mengadakan pertemuan di ryadh membicarakan masalah tersebut juga negara-negara non opec. (eb)

5 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

OPEC merasa perlu bersidang lagi, setelah Nigeria, salah satu dari 13 anggota organisasi negara-negara pengekspor minyak itu, secara sepihak memotong harga ekspor minyaknya dengan US$ 5 per barrel, menjadi US$ 30. Para menteri minyak seakan tersentak dari tidurnya setelah mendengar pengumuman yang mengejutkan dari Lagos, ibukota Nigeria, hampir tengah malam 19 Februari lalu. Para menteri negara-negara Teluk (Arab) pun beterbangan menuju Ryadh, ibukota Arab Saudi, disusul oleh Menteri Perminyakan dan Energi Venezuela, Dr. Humberto Calderon Berti, dan rekan-rekan yang lain dari Afrika Utara serta Irak. Tindakan Nigeria bahkan menarik para menteri perminyakan dari negara-negara non-OPEC untuk duduk di satu meja, baik di Ryadh maupun di Paris. Sampai-sampai menteri eneri dari Irlandia John Bruton, yang tiba di Ryadh petang 25 Februari, diajak berunding. Masalah paling hangat yang mereka bicarakan adalah: harga minyak harus turun dengan berapa dollar? Tapi sampai hari Selasa pagi lalu, sepuluh hari setelah kejutan Lagos, para duta minyak itu belum bisa memastikan ihwal turunnya harga itu. Tindakan Lagos yang menurunkan minyak mentah jenis Bonny Light dengan 5 dollar sungguh menyulitkan anggota OPEC yang lain, mengingat harga patokan minyak OPEC, Arabian Light yang kualitasnya lebih rendah, berharga resmi US$ 34 per barrel. Kalau saya harga patokan minyak Saudi itu minimal harus turun dengan 4 dollar, ada kemungkinan itu tak akan segera diterima pasar. Para pembeli tentu akan lebih suka untuk berpaling ke Nigeria, yang kini berproduksi sekitar 600.000 barrel, dan boleh menendang produksinya hingga 1,3 juta barrel sesuai "konsensus" OPEC dalam sidang darurat di Jenewa, 24 Januari lalu. Di samping Nigeria, masih ada minyak jenis North Sea, setaraf dengan Bonny, punya Inggris dan Norwegia, yang kini masing-masing berharga US$ 30,50 dan US$ 30,15-31 per barrel. Dan Inggris yang kini memproduksi sekitar 2 2 juta barre sehari, sudah menyamai produksi gabungan lima anggota OPEC: Nigeria, Kuwait, Qatar, Equador dan Gabon (TEMPO, 26 Februari). Sedang produksi Norwegia sebanyak 600.000-an barrel sehari. Kalau saja sidang darurat OPEC jadi diselenggarakan minggu ini juga, di Jenewa atau markas besar mereka di Wina, bisa dibayangkan bahwa penasihat presiden urusan perminyakan dan energi Nigeria, Mallam Yahaya Dikko, kini presiden OPEC tak akan beranjak dari harga 30 dollar untuk Bonny-nya. Dikko, yang akan memimpin sidang OPEC agaknya tak perlu takut lagi termakan gertakan Sheikh Yamani, yang menuntut Nigeria memasang harga diferensial sekitar 3 dollar di atas harga patokan minyak Arab yang 34 dollar. Seperti diketahui, sidang di Jenewa menjadi kandas ketika Menteri Yamani bersikeras membicarakan soal diferensial, dan menuntut diferensial (pembeda) harga minyak Nigeria yang hanya US$ 1,50 per barrel itu dinaikkan menjadi dua kali lipat. Kini Yahaya Dikko dengan tenang akan bisa berkata: Terserah Arab Saudi mau menetapkan diferensial. Kalau dianggap cukup dengan US$ 1,50, maka harga patokan ALC itu harus menjadi US$ 28,50 per barrel. Kalau Yamani menghendaki US$ 3, maka harga patokan ALC harus mengalah menjadi US$ 27 per barrel. Kemungkinan seburuk itu bukan mustahil terjadi. Sekembali dari Ryadh pekan lalu, dalam sebuah ceramah di Abu Dhabi, Menteri Perminyakan Persatuan Emirat Arab Mana Said Al-Otaiba atas nama negara-negara Teluk, memberi waktu seminggu kepada OPEC untuk menentukan sikap. la meminta agar dalam sidang darurat minggu ini OPEC mau menyepakati penurunan harga ALC sebanyak US$ 4 per barrel. "Kalau tidak, para eksportir negara-negara Teluk tak melihat alternatif lain kecuali mengedrop harga dengan 7 dollar, menjadi 27 dollar per barrel," kata Al-Otaiba. Negara-negara Teluk terdiri Arab Saudi, Persatuan Emirat Arab, Kuwait, Qatar, Oman dan Bahrain. Secara bersama produksi mereka tetap paling besar di pasaran dunia, dan mereka nampaknya siap melakukan tindakan sendiri, yang bisa meniurus pada perang harga minyak. Kalau sampai itu yang terjadi OPEC pasti akan ambyar, alias pecah. Dr. Otaiba mengingatkan betapa produksi total OPEC saat ini telah merosot menjadi hanya 13,4 juta barrel sehari, dibandingkan masa jaya pada 1979 dengan 31 juta barrel sehari. Dan produksi Arab Saudi yang pernah mencapai 10-11 juta barrel ketika itu, kini merosot menjadi kurang dari 4 juta barrel sehari. "Siapa pun harus menyadari bahwa kesabaran negara-negara Teluk sudah nyaris habis. Negara-negara ini tak mungkin menutup sumur-sumurnya, dan tidur di atas gurun pasir. Mereka harus melindungi pasarannya," kata Al-Otaiba. Kalau ternyata nanti OPEC bersepakat untuk menerima harga jenis ALC sebanyak 4 dollar - dan membiarkan Nigeria hidup dengan 30 dollar untuk minyaknya - masalah pembeda harga atau diferensial agaknya tak akan disinggung-singgung dalam sidang. Para anggota OPEC nampaknya akan lebih suka untuk menetapkan produksi total mereka, dan kuota produksi masing-masing anggotanya. Menteri Pertambangan dan Energi Subroto, yang Kamis lalu memberi keterangan pers di kantornya, memperkirakan produksi total yang disepakati OPEC di Jenewa, sebanyak 17,5 juta, masih patut untuk dipertahankan. Dr. Subroto sendiri, karena kesibukannya menghadapi Sidang Umum MPR, tak bisa memenuhi undangan Menteri Yamani untuk berkunjung ke Ryadh. Baik Menteri Subroto maupun Menko Ekuin Dr. Widjojo Nitisastro yang berbicara di DPR pekan lalu, beranggapan ada empat hal penting yang perlu disepakati dalam sidang darurat OPEC: soal tingkat penurunan hara, produksi total, kuota, dan harga pembeda. Kedua pejabat tinggi itu belum mau memperkirakan dengan berapa dollar harga patokan minyak Indonesia, Minas Crude, perlu diturunkan. Minas, yang terkenal bersih dan manis (berkadar belerang rendah), kini resminya berharga US$ 34,57 per barrel. Kalau jenis ALC turun menjadi US$ 30 per barrel, maka Minas mungkin juga harus turun paling tidak dengan jumlah yang sama, menjadi US$ 30,57 per barrel. Tapi sulitnya, saingan minyak Indonesia, seperti diakui Menteri Widjojo, sekarang justru datang dari Arab Saudi. Para pembeli Jepang belakangan ini makin suka untuk membeli minyak dari Arab Saudi. Selain bisa diperoleh dalam jumlah banyak di pasaran spot (tunai) dengan harga murah, juga mudah diolah. Teknik pengolahan minyak di Jepang kabarnya sudah bisa mengubah minyak jenis berat (heavy) seperti ALC ke Jenis ringan. Maka Indonesia tentu harus lebih pandai merangkul para pembeli di Jepang, pasaran minyak dan sekutu dagang kita yang terbesar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus