OPEC merasa perlu bersidang lagi, setelah Nigeria, salah satu
dari 13 anggota organisasi negara-negara pengekspor minyak itu,
secara sepihak memotong harga ekspor minyaknya dengan US$ 5 per
barrel, menjadi US$ 30. Para menteri minyak seakan tersentak
dari tidurnya setelah mendengar pengumuman yang mengejutkan dari
Lagos, ibukota Nigeria, hampir tengah malam 19 Februari lalu.
Para menteri negara-negara Teluk (Arab) pun beterbangan menuju
Ryadh, ibukota Arab Saudi, disusul oleh Menteri Perminyakan dan
Energi Venezuela, Dr. Humberto Calderon Berti, dan rekan-rekan
yang lain dari Afrika Utara serta Irak.
Tindakan Nigeria bahkan menarik para menteri perminyakan dari
negara-negara non-OPEC untuk duduk di satu meja, baik di Ryadh
maupun di Paris. Sampai-sampai menteri eneri dari Irlandia John
Bruton, yang tiba di Ryadh petang 25 Februari, diajak berunding.
Masalah paling hangat yang mereka bicarakan adalah: harga minyak
harus turun dengan berapa dollar?
Tapi sampai hari Selasa pagi lalu, sepuluh hari setelah kejutan
Lagos, para duta minyak itu belum bisa memastikan ihwal turunnya
harga itu. Tindakan Lagos yang menurunkan minyak mentah jenis
Bonny Light dengan 5 dollar sungguh menyulitkan anggota OPEC
yang lain, mengingat harga patokan minyak OPEC, Arabian Light
yang kualitasnya lebih rendah, berharga resmi US$ 34 per barrel.
Kalau saya harga patokan minyak Saudi itu minimal harus turun
dengan 4 dollar, ada kemungkinan itu tak akan segera diterima
pasar. Para pembeli tentu akan lebih suka untuk berpaling ke
Nigeria, yang kini berproduksi sekitar 600.000 barrel, dan boleh
menendang produksinya hingga 1,3 juta barrel sesuai "konsensus"
OPEC dalam sidang darurat di Jenewa, 24 Januari lalu.
Di samping Nigeria, masih ada minyak jenis North Sea, setaraf
dengan Bonny, punya Inggris dan Norwegia, yang kini
masing-masing berharga US$ 30,50 dan US$ 30,15-31 per barrel.
Dan Inggris yang kini memproduksi sekitar 2 2 juta barre
sehari, sudah menyamai produksi gabungan lima anggota OPEC:
Nigeria, Kuwait, Qatar, Equador dan Gabon (TEMPO, 26 Februari).
Sedang produksi Norwegia sebanyak 600.000-an barrel sehari.
Kalau saja sidang darurat OPEC jadi diselenggarakan minggu ini
juga, di Jenewa atau markas besar mereka di Wina, bisa
dibayangkan bahwa penasihat presiden urusan perminyakan dan
energi Nigeria, Mallam Yahaya Dikko, kini presiden OPEC tak akan
beranjak dari harga 30 dollar untuk Bonny-nya. Dikko, yang akan
memimpin sidang OPEC agaknya tak perlu takut lagi termakan
gertakan Sheikh Yamani, yang menuntut Nigeria memasang harga
diferensial sekitar 3 dollar di atas harga patokan minyak Arab
yang 34 dollar. Seperti diketahui, sidang di Jenewa menjadi
kandas ketika Menteri Yamani bersikeras membicarakan soal
diferensial, dan menuntut diferensial (pembeda) harga minyak
Nigeria yang hanya US$ 1,50 per barrel itu dinaikkan menjadi dua
kali lipat.
Kini Yahaya Dikko dengan tenang akan bisa berkata: Terserah Arab
Saudi mau menetapkan diferensial. Kalau dianggap cukup dengan
US$ 1,50, maka harga patokan ALC itu harus menjadi US$ 28,50 per
barrel. Kalau Yamani menghendaki US$ 3, maka harga patokan ALC
harus mengalah menjadi US$ 27 per barrel.
Kemungkinan seburuk itu bukan mustahil terjadi. Sekembali dari
Ryadh pekan lalu, dalam sebuah ceramah di Abu Dhabi, Menteri
Perminyakan Persatuan Emirat Arab Mana Said Al-Otaiba atas nama
negara-negara Teluk, memberi waktu seminggu kepada OPEC untuk
menentukan sikap. la meminta agar dalam sidang darurat minggu
ini OPEC mau menyepakati penurunan harga ALC sebanyak US$ 4 per
barrel. "Kalau tidak, para eksportir negara-negara Teluk tak
melihat alternatif lain kecuali mengedrop harga dengan 7 dollar,
menjadi 27 dollar per barrel," kata Al-Otaiba. Negara-negara
Teluk terdiri Arab Saudi, Persatuan Emirat Arab, Kuwait, Qatar,
Oman dan Bahrain.
Secara bersama produksi mereka tetap paling besar di pasaran
dunia, dan mereka nampaknya siap melakukan tindakan sendiri,
yang bisa meniurus pada perang harga minyak. Kalau sampai itu
yang terjadi OPEC pasti akan ambyar, alias pecah.
Dr. Otaiba mengingatkan betapa produksi total OPEC saat ini
telah merosot menjadi hanya 13,4 juta barrel sehari,
dibandingkan masa jaya pada 1979 dengan 31 juta barrel sehari.
Dan produksi Arab Saudi yang pernah mencapai 10-11 juta barrel
ketika itu, kini merosot menjadi kurang dari 4 juta barrel
sehari. "Siapa pun harus menyadari bahwa kesabaran negara-negara
Teluk sudah nyaris habis. Negara-negara ini tak mungkin menutup
sumur-sumurnya, dan tidur di atas gurun pasir. Mereka harus
melindungi pasarannya," kata Al-Otaiba.
Kalau ternyata nanti OPEC bersepakat untuk menerima harga jenis
ALC sebanyak 4 dollar - dan membiarkan Nigeria hidup dengan 30
dollar untuk minyaknya - masalah pembeda harga atau diferensial
agaknya tak akan disinggung-singgung dalam sidang. Para anggota
OPEC nampaknya akan lebih suka untuk menetapkan produksi total
mereka, dan kuota produksi masing-masing anggotanya. Menteri
Pertambangan dan Energi Subroto, yang Kamis lalu memberi
keterangan pers di kantornya, memperkirakan produksi total yang
disepakati OPEC di Jenewa, sebanyak 17,5 juta, masih patut untuk
dipertahankan. Dr. Subroto sendiri, karena kesibukannya
menghadapi Sidang Umum MPR, tak bisa memenuhi undangan Menteri
Yamani untuk berkunjung ke Ryadh.
Baik Menteri Subroto maupun Menko Ekuin Dr. Widjojo Nitisastro
yang berbicara di DPR pekan lalu, beranggapan ada empat hal
penting yang perlu disepakati dalam sidang darurat OPEC: soal
tingkat penurunan hara, produksi total, kuota, dan harga
pembeda. Kedua pejabat tinggi itu belum mau memperkirakan dengan
berapa dollar harga patokan minyak Indonesia, Minas Crude, perlu
diturunkan.
Minas, yang terkenal bersih dan manis (berkadar belerang
rendah), kini resminya berharga US$ 34,57 per barrel. Kalau
jenis ALC turun menjadi US$ 30 per barrel, maka Minas mungkin
juga harus turun paling tidak dengan jumlah yang sama, menjadi
US$ 30,57 per barrel. Tapi sulitnya, saingan minyak Indonesia,
seperti diakui Menteri Widjojo, sekarang justru datang dari Arab
Saudi.
Para pembeli Jepang belakangan ini makin suka untuk membeli
minyak dari Arab Saudi. Selain bisa diperoleh dalam jumlah
banyak di pasaran spot (tunai) dengan harga murah, juga mudah
diolah. Teknik pengolahan minyak di Jepang kabarnya sudah bisa
mengubah minyak jenis berat (heavy) seperti ALC ke Jenis ringan.
Maka Indonesia tentu harus lebih pandai merangkul para pembeli
di Jepang, pasaran minyak dan sekutu dagang kita yang terbesar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini