PERTAMINA, perusahaan negara terbesar di Indonesia, kini
mengalami kesulitan keuangan. Mengutip beberapa sumber
kontraktor asing, koran The Asan Wall Street Journal terbitan
23 Februari lalu, mengatakan Pertamina tidak blsa membayar
utang-utangnya kepada beberapa kontraktor dan leveransirnya yang
sudah jatuh waktu (60 hari). Utang tersebut diperkirakan
berjumlah US$ 250500 juta. Separuh dari jumlah itu berupa
tagihan yang sudah terlambat dua bulan. Sedang tagihan yang
sudah terlambat tiga bulan berjumlah US$ 100 juta.
Menurut koran itu, sebagian besar tagihan yang belum dapat
dibayar Pertamina merupakan tagihan tiga kontraktor asing yang
kini mengerjakan proyek pengilangan. Masmg-masing adalah
Technicas Reunidas Centurion, kontraktor proyek hydrocracker di
Dumai, perusahaan Bechtel Inc. yang mengerjakan perluasan proyek
pengilangan di Balikpapan, dan Fluor Eastern Inc., kontraktor
proyek perluasan pengilangan di Cilacap.
Utang yang ditagih Bechtel dan Fluor (keduanya dari AS) dan TRC
(dari Spanyol) diperkirakan berjumlah US$ 250 juta. Akibatnya,
proyek pembangunan pengilangan di Dumai dan Balikpapan, yang
masing-masing bernilai US$ 1,5 milyar itu mengalami hambatan,
dan mungkin tak akan selesai pada waktunya.
Seorang pejabat dari Bechtel, perusahaan yang tagihannya
sebanyak US$ 100 juta, dan sudah terlambat dua bulan dari waktu
yang ditetapkan, diberitakan telah mengatakan: "Kalau tagihan
itu tidak dibayar, pembangunan proyek akan harus dihentikan sama
sekali." Tapi dari Fluor diperoleh keterangan, pembangunan
proyek masih terus berjalan, sekalipun diakuinya, "menagih utang
dari Pertamina merupakan pekerjaan berat sekarang." Pihak Flor
sendiri merasa optimistis bahwa proyek yang dikerjakannya bisa
selesai ulan Agustus nanti, yang berarti empat bulan lebih cepat
dari rencana, sekalipun mengalami kesulitan pembayaran dari
Pertamina.
Di samping para kontraktor asing, koran yang bermarkas di
Hongkong itu juga memberitakan, sekitar 50 kontraktor dan
leveransir menengah dan kecil yang ikut mengambil bagian dan
proyek besar tu, Juga mengalami nasib yang sama. Sekitar 30
leveransir diberitakan sudah menghentikan pengiriman matenal,
sedang 20 yang lain sudah mengancam akan mengambil tindakan yang
sama, kalau tagihan mereka tidak dibayar dalam waktu dekat.
Menurut AWSJ, kesulitan keuangan Pertamina itu agak bersifat
"politis". Pertamina, katanya, baru saja dipaksa oleh Departemen
Keuangan untuk membayar pajak sebanyak US$ 1 milyar, berupa
pajak terutang Pertamina di masa lampau. Di samping itu,
Pertamina diminta untuk membayar dulu kontraktor-kontraktornya,
dengan pengertian nantmya uang itu diganti oleh Bank Indonesia,
yang memperoleh kredit dari bank-bank komersial uar negeri.
Namun, katanya, karena ada "faktor teknis" maka droping uang
dari BI menjadi terlambat.
Di samping itu, disebutkan juga bahwa Dirut Pertamina Joedo
Sumbono sudah berusaha keras mencicil sisa utang-utang Pertamina
akibat krisis keuangan yang diderita perusahaan minyak negara
itu pada 1975. Akibat masih lesunya pasaran minyak di luar
negeri, mudah dimengerti kenapa Pertamina kini terjerat dalam
kesulitan keuangan lagi, dalam waktu tujuh tahun.
Seberapa benarnya berita tentang krisis keuangan ini yang kini
melanda Pertamina, memang perlu dicek lebih jauh. Besar
kemungkinan itu disebabkan Dirut Joedo Sumbono masih belum
kembali dari perjalanannya ke Amerika dan Jepang, dalam rangka
mempelajari pasaran minyak Indonesia di sana.
Sebuah sumber yang tak mau disebutkan namanya di Pertamina
mengatakan, berita yang dilansir oleh AWSJ tidak sepenuhnya
benar. "Memang kami masih menunggak beberapa utang kepada
kontraktor asing, tapi tak sampai sebesar US$ 250 juta, katanya.
Menurut sumber itu, hambatan mencicil utang-utang itu pun "lebih
banyak disebabkan oleh faktor-faktor birokrasi, daripada faktor
lain".
Sumber itu tak mau menjelaskan lebih jauh, apa yang
dimaksudkannya dengan "faktor birokrasi" itu: Tapi dalam berita
lanjutan yang dimuat koran yang sama tanggal 25 Februari lalu,
tiba-tiba disebutkan bahwa dua dari tiga kontraktor tadi, yakni
Fluor Eastern Inc., dan Technicas Reunidas Centurion dari
Spanyol, masing-masing telah menerima cicilan sebesar US$ 35
juta dan US$ 50 juta.
Seorang pejabat dari Fluor, perusahaan yang membangun dan
mensuplai alat-alat besar untuk perluasan proyek pengilangan
minyak di Cilacap itu, diberitakan mengatakan kepada koresponden
koran tersebut, bahwa perusahaannya masih akan menerima
pembayaran lagi dari Pertamina sebanyak US$ 45 juta, "dalam
waktu dekat". Begitu pula Bechtel Inc., yang mempunyai tagihan
US$ 108 juta, menaruh harapan sebagian dari jumlah tersebut akan
dilunasi Pertamina tak lama lagi.
Karena pencicilan itu terjadi selagi Dirut Pertamina berada di
luar negeri, timbul kesan kemacetan itu berada di meja Dirut
Joedo. Benar tidaknya, masih ditunggu keterangan resml dan orang
No.1 Pertamina itu, yang sampai awal minggu ini dikabarkan masih
berada di Jepang.
Sebuah sumber yang mengetahui berpendapat, kalaupun terjadi
kelambatan pembayaran setelah lewat masa tenggang (grace period)
yang 60 hari, Pertamina, menurut ketentuan, akan dikenakan
sanksi Tapi menurut sumber TEMPO tersebut, sebenarnya hal itu
tak usah terjadi, mengingat jangka 60 hari itu dipandang cukup
lama. "Mungkin telah timbul koor! dinasi dan kerja sama yang
kurang baik antara pihak kontraktor utama, Pertamina dan
Departemen Keuangan," katanya.
"Mungkin kelambatan itu disebabkan in voice (faktur) dari
kontraktor utama kelewat lama berada di Pertamina, karena
masih ingin ditawar lagi."
Prosedur yang biasanya berlaku dimulai dari kontraktor utama
yang mengajukan faktur - berupa daftar barang dan harga - ke
Pertamina. Dan atas dasar faktur tadi, Pertamina kemudian
mengajukannya kepada Ditjen Moneter Luar Negeri, yang
mengeluarkan Surat Perintah Pembayaran (spp) pada Ditjen
Anggaran. Langkah berikutnya adalah giliran Ditjen Anggaran
mengeluarkan Surat Perintah Membayar (SPM) kepada Bank
Indonesia. Dan BI pun akan melaksanakan pembayarannya.
Menurut seorang pejabat yang mengetahui, kemacetan itu bisa
terletak di Pertamina atau Keuangan. Sedang BI sendiri
merupakan juru bayar. "Kalau fakturnya saja belum masuk,
bagaimana BI bisa membayar," katanya. Dan si juru bayar itu,
belum lama berselang, baru saja mendapat kredit komersial
sebesar US$ 1 milyar, untuk digunakan dalam tahun anggaran
1983/1984. Konon kredit sindikasi melalui Morgan Trust itu sudah
ditandatangani sebanyak US$ 850 juta, dan sisanya akan menyusul
dalam waktu dekat ini.
Sebuah sumber yang dekat dengan Pertamina, mengakui bahwa
kemacetan itu adalah akibat faktur yang belum lagi diteruskan
"ke atas". Tapi tentang jumlah utang yang sudah jatuh waktu itu,
ia menaksir tidaklah sampai sebanyak USS 250 juta. "Paling
banter, setelah saya hitung-hitung, jatuh di sekitar US$ 115
juta,' katanya. "Ditambah mengeluaran rupiah yang sudah jatuh
waktu sebanyak Rp 14 milyar (US$ 20 juta)."
Besar atau kecil, utang-utang yang jatuh waktu itu agaknya
memang terjadi. Dan penguluran pencicilan utang itu sedikit
banyak akan menghamlbat penyelesaian proyek-proyek besar itu.
Yang agaknya pasti,kalau puluhan sub-kontraktor dan leveransir
Pertamina ada yang tersisihkan karena tagihannya
tersendat-sendat, bukan mustahil akan terjadi kontraksi dalam
beberapa sektor. Satu keadaan yang sungguh tidak menguntungkan
pada saat ekonomi Indonesia mulai lesu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini