SEBAGAI warganegara, saya menyampaikan salam hormat dan harapan
terbaik buat para anggota MPR yang kini bersidang. Hari-hari ini
anda akan bekerja keras. Harus hadir dalam sidang-sidang yang
saya kira akan ada yang amat panjang. Bahkan beberapa di
antaranya dapat menegangkan. Tetapi saya percaya, tiap masalah
ada pemecahannya. Cuma di mana letak pemecahannya itu, anda yang
kali ini mesti mencarikan untuk saya, rakyat Indonesia.
Saya mendengar, sidang-sidang Badan Pekerja telah berhasil
menyelesaikan semua rancangan ketetapan, termasuk bagian yang
ruwet. Kalau tidak, alangkah repotnya. Karena menurut matematika
persidangan, hasil guna sesuatu rapat, berbanding terbalik
dengan jumlah peserta dalam rapat itu. Karena itu pemecahan
lewat Badan Pekerja terhadap segala rancangan itu, merupakan
cara yang jitu.
Dalam jadwal, saya duga anda akan terpaku oleh daftar agenda
persidangan yang panjang, daftar hadir, tanda pengenal dan
pengumuman-pengumuman. Di samping bertumpuktumpuk bahan bacaan.
Deretan acara dan bahan persidangan itu ibarat rel kereta api
dan bantalan penyangganya. Keduanya penting untuk menjamin
kelancaran dan keselamatan jalannya sidang. Tetapi hanya
memandang jalur rel dan bantalan, mustahil menebak arah kereta
yang bakal tiba. Di sini pentingnya hasil rancangan ketetapan
yang disiapkan Badan Pekerja. Rancangan ketetapan itu bak
isyarat lokomotif. Gemuruh terdengar, asapnya telah nampak.
Saya sungguh berbahagia, anda berkenan mewakili saya di forum
kedaulatan tertinggi ini, untuk membuat keputusan politik
terpenting pula. Saya ikut mendambakan keputusan politik itu,
seperti halnya saya selalu merindukan semua hal yang amat saya
minati. Dalam hubungan ini saya selalu teringat akan nasihat
kakek, bila ingin menikmati tempe, saya tidak perlu tahu
cara-cara membuatnya dari kedelai sampai menjadi gumpalan kue.
Analogi itu, kata kakek, sering berlaku juga untuk kerinduan
pada sebuah keputusan politik.
Demi kesehatan dan kebaikan anda, bolehlah saya dengan rendah
hati titip sekadar pesan. Bila beroleh giliran, mohon tidak
pidato terlalu panjang. Seribu kata saya kira kebanyakan. Karena
pidato sepanjang itu dapat diduga akan memakan waktu terlalu
lama, dan mengulang berkali-kali beberapa kata kunci.
Anda tentu tidak ingin salah seorang rekan anda iseng, membuat
tabel statistik, berapa kali kata Pancasila dan Undang-undang
Dasar 1945, Demokrasi Pancasila, Musyawarah untuk mufakat,
Pembangunan, Rakyat dan sebagainya muncul dalam pidato anda.
Juga untuk salam dan basa-basi, pembuka dan penutup bila
berkepanjangan dapat menyita waktu.
Saya merasa perlu mengingatkan pesan ini. Karena hak berbicara,
dalam praktek tidak harus selalu disertai hak untuk wajib
didengarkan. Malahan, kemungkinan (probabilit) didengar semua
kata yang anda ucapkan, akan menurun drastis dengan makin
banyaknya kata yang anda utarakan.
Dalam suasana yang demikian mulia, saya yakin tak terpikir oleh
anda kata oposisi. Karena istilah itu tidak dikenal di dalam
khasanah politik dalam demokrasi Pancasila. Baik oposisi yang
loyal maupun oposan yang royal. Dalam kultur demokrasi Pancasila
beroposisi dapat diibaratkan menggaruk di kaki kursi. Juga
setiap pasal yang anda setujui, tidak harus dinilai menurut visi
pribadi. Dalam politik, keputusan kelompok tidak harus selalu
sama dan sebangun dengan pandangan pribadi masing-masing unsur
anggota dalam kelompok itu.
Juga jangan gundah, bila usul belum dapat diterima. Karena
setiap ide baru harus lewat tiga tahap penetrasi. Tahap tak
mungkin diterima, tahap mungkin diterima tetapi belum saatnya,
dan tahap setuju, karena dari dulu itulah sesungguhnya pendirian
kita!
Karena itu obatilah kerisauan anda dengan maksim perkasa ini:
dalam politik anda dapat sering keliru, tetapi tidak boleh
sekali-kali ragu-ragu. Demokrasi ialah kancah tempat orang
menarik batas, antara yang mungkin dan yang belum mungkin:
mencari pendekatan penyelesaian, terhadap soal yang tak pernah
terselesaikan.
Ngomong-ngomong soal demokrasi, saya yakin anda tidak terpukau
oleh sejumlah kaidah ilmu politik atau buku resep tentang
kedaulatan rakyat. Karena praktek anda berdemokrasi Pancasila
ialah proses pembentukan kaidah ilmu yang muskil itu, cabang
perkembangan pemikiran politik Indonesia. Yang dapat sambil anda
perhatikan selama sidang, barangkali ialah gejala dan proses
interaksi demokrasi dalam Majelis. Bila anda suka ilmu hitung,
silakan catat theorama ini: Bila semua orang berpendapat sama,
maka keadaan itu sama dengan tak seorang pun punya pendapat.
Memang, menurut logika musyawarah: satu mufakat ialah keharusan.
Satu pendapat ialah keganjilan.
Nah, akhirnya untuk semua anggota Majelis yang terhormat, saya
menaruh perhatian sungguh-sungguh pada penampilan anda di
persidangan Majelis. Segala langkah anda, saya mengiring doa,
semoga selamat dan diberkati kekuatan dalam menjalankan amal
bakti anda. Di benak saya terbayang wajah - anda yang cerah,
selalu banyak tersenyum di dalam maupun di luar persidangan. Di
balik keramahan dan senyum itu, terbayang misteri, siapa pun
sulit menerka apa gerangan yang ada di benak anda.
Manakala dapat giliran naik ke podium, saya memandang anda
melangkah tanpa gegas. Berseri-seri, santai melangkah maju
sambil melambai ke kanan dan ke kiri dengan palingan wajah atau
lambaian tangan. Sampai di podium, saya pun masih tetap menatap
anda yang lagi mengangguk sopan beberapa kali pertama ke arah
meja ketua sidang, kemudian kepada para anggota Majelis yang
hadir. Anda pegang bibir mimbar sebelah kiri dan kanan
erat-erat. Dengan sigap, anda pun siap bicara: "Pimpinan sidang
yang terhormat, hadirin yang berbahagia . . . eksetera,
eksetera."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini