Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEMBUKA kasus Karaha Bodas mirip memutar film lawas. Pemainnya tetap sama: Perta-mina dan pemerintah Indonesia melawan Karaha Bodas LLC (KBC). Genrenya juga sama, sengketa bisnis. Cuma ending-nya yang sekarang agak lain. Setelah diam selama tiga tahun, pemerintah menyatakan bersedia membayar klaim KBC US$ 294 juta?dari klaim awal US$ 261,1 juta setelah ditambah bunga.
Kasus pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Karaha Bodas masuk pengadilan arbitrase sejak 2001. Perusahaan pengembang Karaha yang tergabung dalam KBC, yakni Java Geothermal Company dan PT Sumarah Daya Sakti, menggugat pemerintah Indonesia dan Pertamina karena membatalkan proyek di Karaha, Garut, Jawa Barat itu.
Alasan force majeure berupa krisis ekonomi tidak bisa mereka terima. Singkat kata, Karaha menang, sehingga Pertamina harus membayar sejumlah denda yang dihitung dari nilai ganti rugi US$ 111,1 juta dan hilangnya kesempatan mendapat keuntungan (opportunity lost) US$ 150 juta. Semuanya ditambah bunga 4 persen per tahun sejak 2001.
Menurut hitungan pakar ekonomi migas, Kurtubi, satu sumur biayanya sekitar US$ 8 juta, jadi untuk lima sumur Karaha sekitar US$ 40 juta. Apalagi perhitungan realisasi investasinya juga berbeda dengan catatan hasil rapat Pertamina dengan KBC (lihat tabel). Bank yang diperintahkan menyita aset Pertamina akhirnya menahan uang hasil penjualan gas alam Indonesia di Bank of America dan Bank of New York, sampai hari ini.
Padahal hanya lima persen dari uang yang ditahan itu milik Pertamina. Sisanya milik pemerintah, yang akan masuk ke rekening Menteri Keuangan. KBC juga menuntut sita jaminan di negara tempat Pertamina berbisnis. Pengadilan Hong Kong, misalnya, mengabulkan sita jaminan terhadap semua aset Pertamina di kawasan itu. Di Singapura, permintaan sita jaminan terhadap aset anak perusahaan Pertamina, termasuk Petral, belum diputuskan pengadilan.
Pertamina juga menolak permintaan jaminan US$ 15 juta dari Karaha untuk mencabut penyitaan aset itu. Saat itu Pertamina sama sekali tidak mengajukan bukti adanya korupsi di Karaha, padahal Mabes Polri sudah memanggil beberapa orang yang terlibat dalam proyek itu. Entah mengapa penyidikan itu tak pernah ada hasilnya, dan baru sekarang dibuka lagi.
Dugaan korupsi itu pun menguap, dan baru dibuka beberapa pekan lalu, ketika Kapolri menyurati Menteri Negara BUMN agar menunda pembayaran klaim itu, sebelum ada keputusan kasus korupsinya.
Pakar hukum internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan meskipun terbukti ada korupsi di Karaha, keputusan arbitrase tak bisa dibatalkan. "Dugaan korupsi seharusnya diajukan ke arbitrase sejak awal," katanya. Sayangnya, ia mengaku mendengar selentingan bahwa Pertamina enggan membayar sejumlah deposito sebagai syarat mengajukan keberatan, sehingga memilih menuntut balik KBC di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Pertamina memang menang, tetapi pengadilan banding di New Orleans, Amerika Serikat, Maret lalu, menguatkan keputusan arbitrase. Akibatnya, Pertamina tetap membayar klaim. Ia menyayangkan Pertamina karena pergi ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, padahal argumentasi untuk ke arbitrase kuat. Ia yakin Pertamina bisa menang karena dua alasan.
Pertama, pembatalan proyek dilakukan pemerintah Indonesia, bukan Pertamina dan PLN. Kedua, arbiter di pengadilan arbitrase Swiss tidak menggunakan hukum Indonesia, padahal soal itu dicantumkan dalam kontrak. Bila ditambah dengan kasus korupsi yang membelit proyek itu, peluang menang sangat besar. "Hakim mungkin mempertimbangkan kasus korupsinya," ujarnya.
Direktur Tindak Pidana Korupsi Mabes Polri, Brigadir Jenderal Indarto, kepada TEMPO mengakui polisi sudah menetapkan tiga tersangka yang diduga melakukan korupsi di Karaha. Sayangnya, ia enggan menyebut nama. Namun, dari masukan yang diperoleh TEMPO, tiga mantan pejabat Pertamina, yakni mantan kepala divisi geotermal, mantan kepala divisi PPSU, dan seorang lagi kemungkinan besar menjadi tersangka.
Mereka, bersama beberapa staf PLN dan Karaha, ikut menentukan anggaran proyek Karaha selama kurun 1996-1998. Indarto juga mengatakan belum ada penetapan tersangka terhadap direksi dan komisaris PT Sumarah Daya Sakti, mitra lokal KBC. Polisi dulu pernah memanggil mantan Presiden KBC, Robert D. McCutchen, sebagai saksi, tapi saat ini ia sudah meninggalkan Indonesia.
Karaha mengungkapkan (TEMPO Edisi 11 Agustus 2002), nama Sumarah disodorkan Menteri Pertambangan kala itu, I.B. Sudjana. Sumarah adalah perusahaan yang antara lain dimiliki Tantyo A.P. Sudharmono, anak mantan wapres Sudharmono. Perusahaan itu, menurut Direktur Keuangan Pertamina, Alfred Rohimone, mendapat 10 persen saham tanpa setor modal.
Meski saat ini Komisaris Utama Sumarah, Loedito Setiawan, sedang digugat koleganya karena diduga mengambil seluruh fee dari Caithness Energy sebesar US$ 10,21 juta, Indarto mengaku belum memeriksa mereka. "Kami fokus pada mantan pejabat yang menyetujui anggaran yang tidak sesuai dengan sebenarnya," katanya. Padahal, dalam perkara ini, yang berhadapan adalah Karaha Bodas Company LLC?termasuk Sumarah yang memiliki saham 10 persen?melawan Pertamina dan PLN. Bila kasus korupsi diusut, mitra lokal mestinya tak bisa lepas dari tuntutan.
Sekarang, siapa yang harus menanggung klaim itu? "Pemerintah akan membayar," kata Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi. Seluruh uang itu akan diubah sebagai penyertaan modal pemerintah di Pertamina. Sedangkan Direktur Utama Pertamina, Afiffi Nawawi, juga yakin pemerintah tak mungkin lepas tangan dalam urusan Karaha. "Tak mungkin menolak (membayar), ini kan proyek pemerintah juga," katanya.
Tim hukum Pertamina, kata Afiffi, saat ini sedang melobi Karaha untuk mengurangi jumlah klaimnya. "Serendah mungkinlah," katanya, ketika ditanya berapa kesediaannya membayar klaim. Keuangan Pertamina memang akan berdarah-darah karena Karaha, belum lagi mesti membayar para pengacara, yang menurut Laksamana nilainya US$ 7 juta.
Direktur Utama Pertamina mengaku siap melanjutkan proyek Karaha. Namun rencana itu tampaknya akan membuat Pertamina makin repot. Jumlah cadangan di lapangan itu juga tak kalah kontroversial. Kepada TEMPO Afiffi menyebut 210 megawatt. "Tapi mesti dikaji lagi," ia menambahkan. Jumlah itu dikutipnya justru dari angka KBC yang dipakai melawan Pertamina di arbitrase. Pakar panas bumi Dr. Malcolm Alister Grant, yang disewa Pertamina saat itu, malah menyodorkan angka pesimistis: 31,3 megawatt. Dan cadangan yang bisa diambil hanya 75 megawatt.
I G.G. Maha Adi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo