Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menanti Obat Kuat Baru

Program kemitraan BUMN-UKM melibatkan Bank Mandiri. Kredit yang tersalur ditargetkan Rp 2 triliun.

26 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA kabar bagus: Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara bekerja sama dengan perbankan akan menggenjot fasilitas kredit untuk kelompok usaha kecil dan menengah (UKM). Meski melibatkan bank, kredit yang tersedia dalam satuan Rp 10 juta itu tak mensyaratkan jaminan. Kabar ini seakan mengingatkan, keterlibatan BUMN membantu para pengusaha UKM memang punya sejarah panjang.

Ada tak kurang dari lima surat keputusan menteri yang mengatur "santunan" yang harus dilimpahkan BUMN terhadap para pengusaha kecil dan menengah. Peran BUMN membantu UKM terakhir dituangkan dalam Surat Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan BUMN No. 236 tanggal 17 Juni 2003. Secara singkat, surat itu mengimbau BUMN menggalang kemitraan dengan pengusaha kecil.

Kemitraan antara BUMN dan UKM cukup panjang didefinisikan dalam surat keputusan itu. Tapi intinya cuma satu: BUMN wajib menyisihkan satu-tiga persen laba bersih setelah pajaknya untuk membantu permodalan pengusaha kecil. Pinjaman ini berbeda dengan skim komersial yang biasa diberlakukan bank. Selain suku bunganya rendah dan jangka waktu mencicilnya lebih panjang, BUMN tak mensyaratkan agunan.

Sebulan lalu, program kemitraan itu sedikit dipermak. Dulu BUMN menyalurkan sendiri pinjaman ke UKM yang diasuhnya, tapi kini BUMN menitipkan uang ke bank. Dengan cara ini, menurut Sekretaris Jenderal Kementerian BUMN Bacelius Ruru, jumlah dana yang bisa disalurkan ke pengusaha kecil akan meningkat drastis. "Dalam program sebelumnya, fasilitas pinjaman yang tersedia ya sebatas yang dikeluarkan BUMN," kata Ruru. Jika keuntungan BUMN itu ditempatkan di bank, fasilitas yang tersedia bisa berlipat sepuluh.

Nilai kredit yang disalurkan itu bisa berlipat karena keuntungan BUMN yang ditempatkan di bank hanya dijadikan jaminan. Kredit yang disalurkan tetap berasal dari brankas bank. Dengan rumus 1 (jaminan) berbanding 10 (kredit yang disalurkan), skim ini akan memperderas kredit yang mengalir ke pengusaha kecil. "Ini win-win solution," kata Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi kepada pers akhir bulan lalu.

Bagi BUMN, skim ini membebaskan mereka dari keruwetan yang terkait dengan program pembinaan pengusaha kecil. "Mereka bisa berfokus ke bisnisnya," ujar Ruru. Seperti model bantuan untuk pengusaha kecil sebelumnya yang berjudul "Program Kemitraan dan Bina Lingkungan", uang yang dititipkan ke bank itu pun suatu saat dapat ditarik kembali oleh BUMN yang menyetor.

Bagi bank, kredit ini juga tipis risiko. Andai pengusaha kelas teri itu macet mencicil, dengan skim 1 : 10, penyaluran kredit terhitung aman. Lihatlah statistik pinjaman yang disalurkan oleh BUMN-BUMN yang berada di Provinsi Jawa Timur. Selama 1995 hingga 2002, Kantor Dinas Koperasi dan Pengusaha Kecil Menengah Jawa Timur mencatat angka pinjaman untuk pengusaha kecil dan koperasi yang macet sebesar 10 persen. Nilai itu lebih kecil daripada penghitungan Centratama Konsulindo, konsultan pengusaha UKM, yang memperkirakan persentase kemacetan hingga sekitar 20 persen.

Lepas dari kemacetan, praktek pemberian kredit macam ini bukan hal yang melanggar pakem. "Apalagi untuk kredit mikro," tutur Kepala Biro Kredit Bank Indonesia, Ratna E. Amiaty. Dana tunai yang disediakan BUMN dinilai Ratna sebagai jaminan tambahan. "Yang lebih penting adalah kelayakan proyek," katanya. Bagi pengusaha kelas menengah ke bawah, skim baru ini jelas memperbesar kemungkinan menerima pinjaman. Jika pinjaman langsung disalurkan BUMN, kesempatan mendapat pinjaman hanya dinikmati pengusaha yang berada di seputar wilayah operasi BUMN.

Dalam rapat di gedung Kementerian BUMN tiga pekan lalu, Bank Mandiri terpilih sebagai bank pertama yang menyalurkan kredit dalam program yang lengkapnya bernama Program Kredit Usaha Mikro Layak Tanpa Agunan itu. "Kami memilih Mandiri karena mereka yang paling siap menjalankan program ini," tutur Ruru. Pertemuan malam itu juga menyepakati dana yang akan disediakan BUMN sebagai jaminan kredit sebesar Rp 200 miliar. Dengan teori leverage, itu berarti kredit yang seharusnya disalurkan oleh Mandiri setidaknya mencapai Rp 2 triliun.

Namun, hingga sekarang, angka yang dapat dikumpulkan Mandiri tak setinggi yang diharapkan. "Sekarang ini baru terkumpul sekitar Rp 150 miliar," kata Direktur Utama Bank Mandiri E.C.W. Neloe. Baik Neloe maupun Ruru tak menyebut siapa saja yang telah menyetor uang ke Mandiri. Bisa jadi rendahnya urunan itu lantaran program diluncurkan di tengah tahun anggaran. Bisa juga itu karena skim ini dijalankan bersama program kemitraan yang sebelumnya. "Program kemitraan yang tengah berjalan tentu tidak dihentikan," tutur Ruru.

Sejumlah BUMN "kakap", seperti Pertamina atau Jamsostek, mengaku masih menjalankan program kemitraan lama, seperti yang diatur dalam SK 236. "Kami masih melakukan pembinaan secara langsung," ujar pejabat Hubungan Masyarakat Pertamina, Hanung Budya. Hingga triwulan pertama 2005, Pertamina menganggarkan Rp 504 miliar untuk seluruh program kemitraan dan bina lingkungan. Jamsostek juga masih mengelola program kemitraan dan bina lingkungan sendiri. "Biasanya itu ditangani langsung oleh kantor perwakilan kami," ucap seorang juru bicara Jamsostek.

Sembari menunggu setoran terpenuhi, Mandiri terus menggodok kriteria penyaluran. Pagarnya, bisa diduga, tak akan seketat pinjaman komersial yang biasa disalurkan Mandiri. "Untuk sektor UKM, kita tak bisa melihat apakah mereka bankable atau tidak," kata Neloe. Semoga niat baik itu tak berbuah siasat lancung. Pasalnya, tak sedikit program kredit bersyarat ringan yang ditujukan untuk pengusaha kecil malah berubah menjadi ajang bancakan. Contoh terakhir adalah program Kredit Usaha Tani, yang meninggalkan warisan utang tak kurang dari Rp 7,35 triliun.

Thomas Hadiwinata, Taufik Kamil


Tak Hanya Terhambat Modal

JULI merupakan puncak kesibukan bisnis Juhardi. Pada bulan itulah biasanya datang pesanan dalam jumlah besar dari PT Pupuk Sriwijaya (Pusri). Juhardi adalah satu dari sekitar 700 pengusaha kecil yang menjalin kerja sama dengan Pusri. Dengan status "mitra", Juhardi kebagian jatah memasok 650 pasang sepatu untuk pegawai Pusri.

Rezeki dari Pusri ini tentu berarti nian bagi Juhardi. Seperti pengusaha kecil lainnya, ia mengalami kesulitan memasarkan produk. Sekarang, selain memproduksi sepatu bermerek Pengkuh?artinya "kuat" dalam bahasa Muara Enim?Juhardi membuat berbagai produk kulit lain, seperti dompet dan tas. Kendati produknya dijual juga lewat ruang pamer dan toko, Juhardi mengakui hasil terbesar tetap dari Pusri.

Di luar pesanan Pusri, "Omzet sebulan paling Rp 700 ribu hingga Rp 1 juta," kata Juhardi. Jika disetahunkan, hasil penjualannya paling banter Rp 12 juta. Bandingkan dengan nilai penjualan sepatu ke Pusri, yang mencapai Rp 31 juta per tahun. Tak aneh jika Juhardi mengakui hasil penjualan sepatunya bisa kalah dibandingkan dengan bisnis sampingannya, yaitu reparasi sepatu dan tas.

Juhardi blakblakan mengaku kesulitan bersaing di pasar. Itu bukan karena kualitas. "Soal kualitas boleh diadu dengan merek lain," katanya. Dengan situasi seperti itu, Juhardi memutuskan tak perlu menambah modal. Ia merasa justru perlu uluran tangan dalam memasarkan produk. Beda dengan Mohammad Hafi. Warga Gresik yang menjadi pengusaha karena dipecat ini sedang melirik kanan-kiri mencari tambahan modal. Jumlahnya termasuk besar untuk kelompok pengusaha kecil, yakni Rp 50 juta.

Hafi membutuhkan duit ini untuk memutar roda bisnisnya: perangkat pembersih semacam sapu ijuk, sikat, penebah, keset, dan alat pengepel lantai. Dengan modal Rp 5 juta, Hafi memulai bisnisnya dengan membuat sapu ijuk sekitar lima tahun lalu. Setelah berjalan terengah-engah, pada 2001 ia mendapat pinjaman berbunga lunak Rp 20 juta dari Semen Gresik. Hafi berhasil melebarkan pemasarannya hingga ke Makassar dan Banjarmasin. "Sekarang omzet saya sekitar Rp 200 juta sebulan," katanya.

Dari penggalan cerita kedua pengusaha kecil binaan BUMN itu, bisa disimpulkan, tak semua pengusaha kecil terganjal modal. Rhenald Kasali, Ketua Program Ilmu Manajemen Pascasarjana Universitas Indonesia, menyebut struktur biaya usaha yang cenderung tinggi, sumber informasi yang terbatas, dan tidak adanya konsistensi sebagai penyandung utama langkah para pengusaha kecil?ketimbang modal.

THW, Arif Ardiansyah (Palembang), Kukuh Karsadi (Gresik)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus