Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Exxon Lewati 'Deadline'

Kekerasan masih berlangsung di zona aman Aceh. Laporan TEMPO dari lapangan gas ExxonMobil.

8 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


AZAN isya dari masjid menandai malam yang baru merayap di Lhokseumawe, kota paling utara di Aceh, Jumat pekan lalu. Di pojok Jalan Merdeka, kedai-kedai sate untuk kesekian kalinya menjala sial. Pembeli belum lagi datang, justru ledakan keras yang bertamu, disusul rentetan tembakan. Orang-orang secara refleks berjongkok dan menundukkan kepala. Ternyata, markas Kepolisian Sektor Bandasakti di perempatan jalan itu dibom orang tak dikenal.

Toko-toko yang buka selepas magrib dengan cepat menutup pintu. Tak sampai lima menit, Lhokseumawe jadi kota mati. Kehidupan hanya terlihat dari terang lampu merkuri di jalanan dan aktivitas tentara yang memeriksa setiap orang yang terlihat batang hidungnya. Tentara memeriksa setiap orang.

Ledakan di pusat kota malam itu seperti menggenapi rangkaian kekerasan pada hari Jumat itu. Pagi hari, tembak-menembak di beberapa pabrik pupuk di Krueng-geukeuh, tak jauh dari lapangan gas Arun, jadi pembuka aksi. Siang hari, ketika sebagian besar sedang salat Jumat, beberapa orang polisi tanpa alasan yang jelas melepaskan tembakan di depan pos lalu-lintas dan membuat seorang remaja putri cedera tangannya.

Yang membuat masygul, semua kejadian tersebut berlangsung di permukiman penduduk yang padat dan dalam zona aman yang disepakati pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Maret silam. Ibrahim, yang tinggal dekat kantor Point-A ExxonMobil, mengatakan zona itu cuma janji manis pemerintah pusat. Tiap hari, tentara dan polisi menyisir kampung menenteng senjata lengkap. Aparat sering memukuli penduduk dengan tuduhan menyembunyikan anggota GAM. Ironisnya, dulu ketika selama sepuluh tahun status daerah operasi militer diterapkan di Aceh, tak satu pun lapangan gas diganggu GAM. Kini, justru sebaliknya. Akibat nyata adalah berhentinya aktivitas Exxon.

Penutupan Exxon mengurangi rezeki rakyat setempat. Mustafa, sopir di perusahaan itu, gajinya dipangkas dari Rp 1 juta jadi Rp 600 ribu saja. Haji Halim, pemilik rumah makan khas Minang yang terletak di depan PT Arun, misalnya, menyebut pendapatannya turun tajam. Dulu, dalam sehari omzetnya Rp 2 juta, kini cuma Rp 500 ribu. Ahmad, pedagang sate kambing dan mi Aceh di Pasar Geudong, mengaku harus tutup pada pukul tujuh malam. "Masyarakat takut keluar dan ditanyai aparat," kata Ahmad.

Pengusaha hotel lebih celaka lagi. Hotel Lido Graha, satu-satunya hotel bintang tiga yang tersisa, dalam seminggu bisa cuma diinapi seorang tamu.

Sampai saat ini, belum ada isyarat Exxon akan dibuka kembali. Keempat cluster lapangan gas itu digerendel, tanda larangan masuk dan barikade dipasang di mana-mana. Tempat itu cuma dipenuhi tentara, sapi, dan kambing yang merumput hingga ke dalam pabrik, dan kotoran binatang bertebaran di sepanjang jalan.

Lantas, apa yang diharapkan penduduk? Mustafa ingin Exxon kembali beroperasi agar pendapatannya utuh lagi. Namun, tidak semua setuju. Ibrahim, bekas karyawan Exxon yang dipecat karena berunjuk rasa dua tahun lalu, justru sebaliknya. "Tutup saja, biar tak bising," kata Ibrahim. Ia menyebut dirinya masih dapat rezeki lewat berkebun.

Yang pasti, janji pemerintah pusat untuk menambah pasukan ke kawasan ini, agar Exxon kembali bekerja, justru ditentang sebagian penduduk. Menurut Umar, seorang sopir, bertambahnya tentara hanya akan memancing perlawanan yang lebih keras. Umar ingin tentara ditarik saja dari kawasan ini.

Tapi, orang lain seperti sudah kebal dengan kekerasan yang terjadi. Setelah ada kontak senjata, misalnya, para ibu rumah tangga tetap tenang melenggang naik motor di depan perusahaan Exxon. Mereka sama sekali tak gelisah.

Yang gelisah pasti Jakarta. Sejak ditutup 9 Maret lalu, setiap bulan pemerintah rugi US$ 100 juta. Pemerintah memberi tenggat 2 April bagi ExxonMobil untuk kembali berproduksi, dengan mengirim pasukan tambahan. Tapi, dengan peluru yang tiap saat berdesing seperti pekan lalu, bom tiba-tiba meledak, bisakah tenggat ini ditepati?

IG.G. Maha Adi (Lhokseumawe)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus