Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
|
Maka, hilanglah seluruh rasa damai yang terbangun pada lima menit pertama. Sebuah adegan gadis kecil berusia 13 tahun terbenam di bak mandi menjadi teror dari seluruh visual cantik yang mengawali film ini.
Seterusnya film ini kemudian mengisahkan bagaimana kelabunya hidup keluarga itu setelah si bungsu berhasil mencabut nyawanya sendirikarena upayanya menenggelamkan diri ke bak mandi gagaldengan menjatuhkan diri ke pagar berduri dari atas rumah. Sang ibudiperankan Kathleen Turner dalam penampilan yang berbeda dengan peran-peran sebelumnyamenjadi ibu yang semakin ketat, kaku, religius, picik, dan curiga pada setiap gerakan putrinya. Sang ayah, seorang guru sederhana, adalah suami yang sungguh penurut akan peraturan ketat sang istri dan mencoba memahami gejolak remaja putrinya tanpa berdaya untuk melakukan apa-apa. Bahkan, untuk berkencan di sebuah pesta di sekolah punsetelah upaya keras sang playboy Trip Fontaine (Josh Hartnett) membujuk sang bapakkeempat putri itu akhirnya harus didampingi sang ayah agar "tak terjadi sesuatu yang tak diinginkan".
Tetapi, "sesuatu yang tak diinginkan" itu tentu saja terjadi. Lux, si sulung blonda yang paling seksi, lincah, dengan sepasang mata yang menggoda itu, dibawa playboy sialan itu ke tengah lapangan bola. Mereka bercinta, dan playboy itu meninggalkannya dengan santai. Bisa dibayangkan bagaimana histerisnya sang ibu.
Sejak itu, keempat putrinya disekap; tak boleh sekolah, tak boleh ke mana-mana, tak boleh mendengarkan lagu apa pun. Bahkan semua piringan hitam mereka dibakar dan dibuang ibunya, hingga para remaja jelita itu hanya bisa mendengarkannya melalui telepon, ketika para kawan lelaki memutarnya khusus untuk mereka.
Untuk seorang "pemula" seperti Sofia Coppola, yang sejak menjadi janin sudah mengenal pita seluloid dari sang ayah, Francis Ford Coppola, film ini adalah sebuah karya yang menjanjikan. Melalui kamera, melalui visualisasi yang buram, suasana keinginan untuk bunuh diri yang memuncak tertimbun secara perlahan tapi pasti. Tak perlu kata-kata, tak perlu penjelasan, kita semua segera mafhum ketika di suatu malam Lux tersenyum pedih mengundang kawan-kawan lelakinya untuk "sebuah perayaan terakhir". A celebration of life. Dan kita segera tahu bahwa perayaan itu akan diakhiri oleh tindakan bunuh diri yang agung.
Problem Sofia Coppola adalah skenarioditulisnya sendiriyang kurang menjelajahi setiap karakter itu, kecuali Lux Lisbon (diperankan dengan baik oleh aktris cilik yang kini sudah dewasa, Kirsten Dunst). Kita tak pernah paham atau diberi latar belakang tentang sikap rigid dan kaku sang Nyonya Lisbon, kecuali dia seorang penganut agama Katolik yang berbakti. Tetapi, so what? Itu tak cukup menjadi landasan pembentukan karakter nyonya yang senantiasa gugup menghadapi lelaki itu.
Bapak Lisbon (diperankan James Woods) sesungguhnya sudah menampilkan suami yang lemah, lurus, dan baik hati. Namun, itu pun tak cukup menjelaskan mengapa ia tak kunjung memberontak setiap kali melihat penderitaan anak-anaknya. Lalu bagaimana dengan anak-anaknya? Kenapa sikap mereka semua begitu homogen? Kenapa mereka semua tak bisa menentang ibunya, atau bahkan memberontak secuil pun kecuali dengan sikap fatal membunuh diri?
Dari lagu-lagu yang diputar pada piringan hitam para gadis ituantara lain The Hollies dan Gilbert O'Sullivandan juga dari fashion rambut serta baju yang mereka kenakan, keluarga Lisbon hidup pada tahun 1970-an, sebuah periode pemberontakan dan penjelajahan seksual para remaja Barat. Tetapi, menurut penelitian yang dikutip oleh sineasnya, itulah saat angka bunuh diri di AS tengah memuncak. Namun, kenapa? Coppola tak menjawab dan tak berniat menjawab.
Film diakhiri dengan sebuah adegan antiklimaks. Para rekan lelaki putri Lisbons berada di sebuah pesta dengan para tamu yang mengenakan topeng. Suasana yang tampil sungguh menekan. Di situ kita segera tahu, para pendongeng di awal cerita adalah teman-teman lelaki Lisbon bersaudara. Adegan akhir yang mubazir. Adegan bunuh diri itu adalah simbol kemerdekaan jiwa; simbol dari keinginan untuk tetap "hidup" dalam dunia yang lebih abadi.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo