Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Menuju Kehidupan yang Abadi

Film pertama Sofia Coppola yang berkisah tentang Lisbon bersaudara yang semuanya bunuh diri. Penampilan James Woods dan Kirsten Dunst yang cemerlang.

8 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


THE VIRGIN SUICIDES
Sutradara :Sofia Coppola
Skenario :Sofia Coppola
Pemain :Kirsten Dunst, Kathleen Turner, James Woods
Di pinggiran kota yang kecil itu, ada sebuah rumah yang cantik, asri, berisi lima putri jelita…. Demikian sang pencerita berkisah kepada kita. Lalu kamera menyorot sebuah kehidupan suburban Amerika: rumah yang berarsitektur mirip satu sama lain; berwarna pastel dan menuntut konvensi dan sikap konformis. "Di rumah itu, entah bagaimana, pasangan Lisbons bisa melahirkan lima putri yang sungguh cantik, yakni Lux, Cecilia, Bonnie, Mary, dan Therese…," tutur sang pengisah. "Therese adalah yang pertama bunuh diri…."

Maka, hilanglah seluruh rasa damai yang terbangun pada lima menit pertama. Sebuah adegan gadis kecil berusia 13 tahun terbenam di bak mandi menjadi teror dari seluruh visual cantik yang mengawali film ini.

Seterusnya film ini kemudian mengisahkan bagaimana kelabunya hidup keluarga itu setelah si bungsu berhasil mencabut nyawanya sendiri—karena upayanya menenggelamkan diri ke bak mandi gagal—dengan menjatuhkan diri ke pagar berduri dari atas rumah. Sang ibu—diperankan Kathleen Turner dalam penampilan yang berbeda dengan peran-peran sebelumnya—menjadi ibu yang semakin ketat, kaku, religius, picik, dan curiga pada setiap gerakan putrinya. Sang ayah, seorang guru sederhana, adalah suami yang sungguh penurut akan peraturan ketat sang istri dan mencoba memahami gejolak remaja putrinya tanpa berdaya untuk melakukan apa-apa. Bahkan, untuk berkencan di sebuah pesta di sekolah pun—setelah upaya keras sang playboy Trip Fontaine (Josh Hartnett) membujuk sang bapak—keempat putri itu akhirnya harus didampingi sang ayah agar "tak terjadi sesuatu yang tak diinginkan".

Tetapi, "sesuatu yang tak diinginkan" itu tentu saja terjadi. Lux, si sulung blonda yang paling seksi, lincah, dengan sepasang mata yang menggoda itu, dibawa playboy sialan itu ke tengah lapangan bola. Mereka bercinta, dan playboy itu meninggalkannya dengan santai. Bisa dibayangkan bagaimana histerisnya sang ibu.

Sejak itu, keempat putrinya disekap; tak boleh sekolah, tak boleh ke mana-mana, tak boleh mendengarkan lagu apa pun. Bahkan semua piringan hitam mereka dibakar dan dibuang ibunya, hingga para remaja jelita itu hanya bisa mendengarkannya melalui telepon, ketika para kawan lelaki memutarnya khusus untuk mereka.

Untuk seorang "pemula" seperti Sofia Coppola, yang sejak menjadi janin sudah mengenal pita seluloid dari sang ayah, Francis Ford Coppola, film ini adalah sebuah karya yang menjanjikan. Melalui kamera, melalui visualisasi yang buram, suasana keinginan untuk bunuh diri yang memuncak tertimbun secara perlahan tapi pasti. Tak perlu kata-kata, tak perlu penjelasan, kita semua segera mafhum ketika di suatu malam Lux tersenyum pedih mengundang kawan-kawan lelakinya untuk "sebuah perayaan terakhir". A celebration of life. Dan kita segera tahu bahwa perayaan itu akan diakhiri oleh tindakan bunuh diri yang agung.

Problem Sofia Coppola adalah skenario—ditulisnya sendiri—yang kurang menjelajahi setiap karakter itu, kecuali Lux Lisbon (diperankan dengan baik oleh aktris cilik yang kini sudah dewasa, Kirsten Dunst). Kita tak pernah paham atau diberi latar belakang tentang sikap rigid dan kaku sang Nyonya Lisbon, kecuali dia seorang penganut agama Katolik yang berbakti. Tetapi, so what? Itu tak cukup menjadi landasan pembentukan karakter nyonya yang senantiasa gugup menghadapi lelaki itu.

Bapak Lisbon (diperankan James Woods) sesungguhnya sudah menampilkan suami yang lemah, lurus, dan baik hati. Namun, itu pun tak cukup menjelaskan mengapa ia tak kunjung memberontak setiap kali melihat penderitaan anak-anaknya. Lalu bagaimana dengan anak-anaknya? Kenapa sikap mereka semua begitu homogen? Kenapa mereka semua tak bisa menentang ibunya, atau bahkan memberontak secuil pun kecuali dengan sikap fatal membunuh diri?

Dari lagu-lagu yang diputar pada piringan hitam para gadis itu—antara lain The Hollies dan Gilbert O'Sullivan—dan juga dari fashion rambut serta baju yang mereka kenakan, keluarga Lisbon hidup pada tahun 1970-an, sebuah periode pemberontakan dan penjelajahan seksual para remaja Barat. Tetapi, menurut penelitian yang dikutip oleh sineasnya, itulah saat angka bunuh diri di AS tengah memuncak. Namun, kenapa? Coppola tak menjawab dan tak berniat menjawab.

Film diakhiri dengan sebuah adegan antiklimaks. Para rekan lelaki putri Lisbons berada di sebuah pesta dengan para tamu yang mengenakan topeng. Suasana yang tampil sungguh menekan. Di situ kita segera tahu, para pendongeng di awal cerita adalah teman-teman lelaki Lisbon bersaudara. Adegan akhir yang mubazir. Adegan bunuh diri itu adalah simbol kemerdekaan jiwa; simbol dari keinginan untuk tetap "hidup" dalam dunia yang lebih abadi.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus