Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Nakhoda Baru Semangat Lama

Bulog ingin kembali menjual beras ke pegawai negeri dan mengelola komoditi lain di luar beras. Mengapa tak ada gagasan yang lebih cemerlang?

8 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Widjanarko Puspoyo terkesan sigap dan bersemangat. Belum sampai seminggu dilantik, Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog) yang baru itu langsung berkeliling ke Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di sana ia memeriksa cadangan beras Dolog (Depot Urusan Logistik), di samping memantau kondisi padi yang siap panen di sawah-sawah.

Selain gesit melakukan inspeksi ke lapangan, bekas wakil ketua Komisi III DPR itu juga mengantongi segepok konsep untuk mengelola dan mengembangkan Bulog. Ia, misalnya, mengusulkan agar organisasi Bulog diubah dari badan menjadi perusahaan umum (perum). Tujuannya agar Bulog bisa bersaing di pasar pada masa yang akan datang. "Bulog direncanakan untuk bisa bersikap dan bertindak lebih fleksibel, tidak birokratis dan lebih bernuansa desentralisasi," demikian alasannya.

Widjanarko juga mengusulkan agar sebagian gaji pegawai negeri sipil yang termasuk dalam golongan anggaran diberikan dalam bentuk beras. "Kita berharap agar keran pemberian beras bagi pegawai negeri yang sudah ditutup itu dibuka kembali," katanya. Tujuannya, agar stok beras Bulog untuk tahun 2001 yang mencapai 2,5 juta ton itu bisa disalurkan.

Perlu diketahui, sejak April 2000—melalui Keppres No. 17/2000—pemerintah memutuskan bahwa pegawai negeri tak lagi menerima tunjangan berupa beras, tetapi diganti dengan uang Rp 2.308 per kilogram. Keputusan itu dibuat agar pegawai negeri bisa membelanjakan uang tunjangan beras sesuai dengan kehendaknya. Kebijakan itu jelas merugikan Bulog, karena potensi pasar pegawai negeri seluruh Indonesia mencapai 800 ribu ton per tahun. Akibatnya, Bulog hanya boleh menyalurkan beras untuk anggota militer dan polisi, operasi pasar khusus, dan bantuan bencana alam.

Kebijakan lain yang diusung Widjanarko adalah membawa Bulog kembali ke bisnis lamanya, yaitu menangani komoditi lain nonberas, seperti mengimpor dan mendistribusikan kedelai, terigu, dan minyak goreng. Alasannya, komoditi itu bersifat pokok dan menyangkut hajat hidup orang banyak. Dia juga meminta agar Bulog bisa menyalurkan dana ke KUD (Koperasi Unit Desa).

Apa daya, gagasan Widjanarko itu mengundang sejumlah kecaman. "Pemaksaan" kepada pegawai negeri untuk membeli beras Bulog dinilai lebih sebagai upaya mengalihkan kerugian lantaran kesalahan kebijakan pemerintah yang mematok harga dasar gabah kering (GKG) Rp 1.500 per kilogram. Akibatnya, di pasar harga beras Bulog—ditambah biaya pemrosesan, penyimpanan, bunga bank, dan distribusi—mencapai Rp 2.645 per kilogram. Berarti, lebih tinggi ketimbang harga beras swasta dengan kualitas bagus yang cuma Rp 1.800 hingga Rp 2.300 per kilogram.

Nah, bila Bulog menjual berasnya ke pasar, mereka akan rugi. Satu-satunya peluang adalah kembali menjual ke pegawai negeri, yang selama ini merupakan pasar tradisionalnya. Dengan cara itu, Bulog juga bisa terhindar dari kerugian akibat risiko penyimpanan beras, yang memakan biaya besar. Apalagi penyimpanan yang terlalu lama bisa menurunkan kualitas bahan pokok itu. Dengan penyaluran rutin ke pegawai negeri, Bulog tak perlu lagi menanggung biaya penyimpanan.

Kendati bisa memahami upaya Bulog tersebut, ekonom H.S. Dillon tak setuju dengan cara-cara yang ingin ditempuh Widjanarko. Dillon pun menentang gagasan untuk mengelola komoditi di luar beras. Selain mengundang konfrontasi dengan Dana Moneter Internasional (IMF) karena menabrak letter of intent, langkah itu juga dinilai hanya mengembalikan pola lama Bulog seperti di zaman Orde Baru. Dillon juga tak setuju bila Bulog berubah menjadi perum. "Bahaya, Bulog bukan lembaga komersial," ujarnya.

Lalu, dari mana Bulog memperoleh duit untuk membiayai kegiatannya? Dillon menyarankan agar mereka memintanya kepada pemerintah. "Biaya stabilisasi beras itu mesti masuk dalam anggaran, sehingga transparan," ujarnya. Berbeda dengan Dillon, Ketua Komisi III DPR, Awal Kusumah, mendukung gagasan Widjanarko. Katanya, sungguh layak bila kita memiliki lembaga yang bisa membantu petani dengan membeli produk mereka pada harga tinggi di saat panen.

"Di negara mana pun, termasuk negara maju seperti Jepang, petaninya masih dilindungi dan dijaga," ujar Awal. Tanpa penguatan sektor pertanian, Awal pesimistis dengan kemampuan Indonesia di era pasar bebas. "Apakah Indonesia siap memasuki AFTA dengan keadaan seperti sekarang?" ujarnya ragu. Tak jelas benar, korelasi antara jadwal AFTA dan eksistensi Bulog. Yang pasti, walaupun pola kerja Bulog yang lama dihidupkan lagi, hal itu tidak menjamin kesiapan ekonomi Indonesia dalam persaingan di pasar bebas AFTA. Untuk itu, dituntut kesiapan ekonomi secara total, sesuatu yang terlalu jauh dari jangkauan kita yang terpuruk sekarang.

Memang bagus sekali gagasan Awal yang mengusulkan agar Bulog membuat peta komoditi di seluruh Indonesia, di samping memiliki data yang lengkap dan tepat tentang kapan dan di mana terjadi panen. Tapi akan lebih bagus jika Bulog kembali ke misinya yang lama: menstabilkan pengadaan beras dan harganya. Tugas ini tidak mudah, percayalah.

Nugroho Dewanto, Rommy Fibri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus