Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom senior dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, mengatakan fluktuasi harga beras akan mempengaruhi jumlah orang miskin di dalam negeri. Saat harga beras melonjak tajam, daya beli masyarakat di level bawah akan tertekan sehingga rentang celah kemiskinan semakin lebar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Semakin miskin satu rumah tangga, makin besar porsi berasnya. Sehingga kalau harga beras naik tajam, jumlah orang miskin otomatis melonjak,” ujar Faisal dalam webinar PATAKA, Kamis, 26 Agustus 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menyitir data Badan Pusat Statistik atau BPS, Faisal menyatakan jumlah orang miskin dan nyaris miskin di Indonesia hampir mencapai sepertiga dari total penduduk Indonesia atau 35,8 persen pada 2020. Sedangkan jumlah penduduk dalam kategori insecure mencapai 52,8 persen atau 143 juta jiwa.
Penduduk insecure adalah warga dengan pengeluaran per kapita sekitar Rp 25 ribu per orang atau Rp 100 ribu per keluarga per hari. Penduduk dengan kategori miskin sampai insecure itu diduga menghabiskan lebih dari separuh pendapatannya untuk mengkonsumsi beras.
Bila dilihat berdasarkan pengeluaran untuk kelompok makanan, pembelian beras di perdesaan menyumbang 21,89 persen terhadap garis kemiskinan. Sedangkan di perkotaan sebesar 16,58 persen.
“Ini konsekuensi dari porsi beras di garis kemiskinan yang terbesar ini nomor satu. Jadi memang rentan.
Faisal melanjutkan, saat ini pemerintah memiliki pengaturan harga beras berdasarkan harga dasar atau floor price dan ceiling price atau harga plafon. Floor price merupakan pengaturan agar pendapatan petani tidak anjlok ketika panen raya dan menjaga supaya pendapatan petani stabil.
Sedangkan ceiling price adalah pengaturan harga eceran beras untuk menjaga agar harga kebutuhan pokok masyarakat tidak menggerus daya beli dan inflasi. Menurut Faisal, di negara dengan pendapatan rendah seperti Indonesia, rentang antara floor price dan ceiling price masih cenderung lebar.
Sebaliknya,di negara dengan tingkat kesejahteraan tinggi, gap antar-keduanya semakin rendah. Di Indonesia, kata Faisal, saat ini pemerintah acap mengenakan harga floor price di bawah harga keseimbangan yang imbasnya tidak melindungi petani dengan dalih menjaga konsumen.
Padahal pemerintah sudah memiliki aturan harga eceran tertinggi atau HET untuk menekan fluktuasi harga beras. Dengan kondisi ini, menurut dia, semestinya floor price diatur di atas harga keseimbangan dan ceiling price justru di bawah harga keseimbangan.
“Jadi rakyat bisa beli beras di bawah harga pasar. Baru itu namanya membantu konsumen,” kata Faisal Basri.