Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah bakal memberikan 35 juta benih tanaman secara gratis kepada para petani. Hal tersebut telah dilakukan secara simbolik pada pembukaan World Plantation Conferences and Exhibition 2017 yang dihelat PT Riset Perkebunan Nusantara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Sebanyak 35 juta benih sudah disiapkan di desa-desa," kata Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Bambang di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Rabu, 18 Oktober 2017. Dia mengatakan penyediaan benih itu telah melibatkan banyak pihak mulai dari pusat-pusat penelitian hingga perguran tinggi.
Simak: Sultan Minta Benih Tanaman untuk Lahan Kritis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia berujar hal itu adalah tanda keseriusan pemerintah untuk membangun kembali dunia perkebunan di Indonesia. Benih, kata dia, menjadi salah satu persoalan yang membuat perkebunan di Indonesia kurang produktif.
Menurut dia, banyak petani rakyat yamg masig memakai benih yang asal-asalan dan kurang berkualitas, sehingga hasil yang diperoleh pun kurang memuaskan, baik dari segi kualitas, maupun kuantitas.
Bambang memberi contoh perkebunan sawit Indonesia yang luasnya hampir 11,9 juta hektar. Sekitar 48 persen atau 4,7 hektar adalah perkebunan rakyat. Dari kebun rakyat itu, setiap tahunnya sawit yang bisa dipanen hanya sekitar dua ton saja per hektar. Padahal korporasi sawit bisa memanen sekitar lima ton per hektar per tahun.
"Sebagian sawit kebun rakyat dikembangkan dengan tradisional. Benihnua tidak berasal dari sumber yang baik. Benih kelapa sawit harus diolah dengan baik, bukan distek biasa," kata dia.
Padahal, apabila digarap dengan baik dan serius, sehingga perkebunan rakyat bisa memanen tujuh sampai delapan ton per hektar per tahun, negara bisa memeroleh nilai tambah sebesar Rp 125 triliun.
Begitu pula dengan kopi, 1,3 juta hektar kebun di Indonesia baru bisa menghasilkan 600 sampai 700 kilogram per hektar per tahun. "Padahal Vietnam yang belajar dari Indonesia saja bisa menghasilkan tiga sampai empat ton per hektar per tahun," kata dia. Bila bisa dinaikkan hingga mencapai produksi tiga ton per hektar per tahun, dia memperhitungkan raupan Indonesia dari kopi bisa naik lima kali lipat.
Demikian dengan kakao yang hasilnya hanya 700 hingga 800 kilogram per hektar per tahun. Pemerintah sempat menyuntik bantuan melalui gerakan nasional kakao. Namun, gerakan itu baru sebesar 26 persen saja. Padahal penurunan yang terjadi akibat usia maupun faktor lainnya juga cukup besar.
Contoh terakhir adalah tanaman tebu di Indonesia yang produktifitas dan rendemennya masih rendah. "Sekarang tebu rakyat masih kecil-produktifitasnya, hanya berkisar 40 ton per hektar per tahun, padahal zaman Belanda dulu mencapai 150 ton per hektar per tahun," ujarnya.
Adapun Bambang menyebutkan progres pembagian bibit itu telah lebih dari 25 persen dan dibiayai oleh dana APBN-P. Namun dia tidak menyebutkan besarannya.
Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai solusi untuk mengatasi permasalahan produktifitas perkebunan adalah penerapan teknologi terkini. "Semua tantangan perkebunan harus diatasi, dan satu-satunya solusi adalah dengan teknologi. Sehingga pusat riset menjadi penting," kata dia saat membuka World Plantation Conferences and Exhibition di Jakarta, Rabu, 18 Oktober 2017.
Jusuf berujar sejarah Indonesia sangat erat hubungannya dengan perkebunan. Bahkan, masuknya Bangsa Eropa ke Indonesia pun disebabkan oleh komoditas perkebunan dalam negeri seperti pala dan cengkeh. Sejalan dengan itu, perkebunan dalam negeri pun terus berkembang di era pemerintahan Belanda.
Pada awal kemerdekaan, kata dia, Indonesia bahkan pernah menjadi salah satu pengekspor gula terbesar, dengan pusat penelitian di Pasuruan. "Penduduk Indonesia waktu itu di bawah 100 juta jiwa. Sekarang 250 jutaan. Kita bangga waktu itu ekspor karena penduduk nya masih sedikit," kata dia.
Namun seiring dengan itu, Jusuf menceritakan bahwa tantangan yang terjadi kini adalah tidak berimbangnya pertumbuhan manusia dan kebutuhan hasil perkebunan dibanding perkembangan perkebunan.
"Belum lagi pada 2050, kalau jumlah manusia mencapai 10 miliar orang, maka kebutuhan atas makanan dan hasil perkebunan diprediksikan akan meningkat hingga 70 Persen," ujar dia. Meningkatnya jumlah manusia menyebabkan banyaknya lahan perkebunan yang mesti beralih fungsi menjadi kawasan pemukiman, industri, dan perkantoran.
Belum lagi permasalahan perubahan iklim dan air yang sangat memengaruhi produktifitas perkebunan di Indonesia. Atas masalah-masalah tersebut, Jusuf yakin, hanya teknologi dan disiplin masyarakat untuk menanam di lahan dan dengan bibit tanaman yang baik lah yang bisa menyelesaikannya, mulai dari penerapan teknologi hemat air, teknologi biodiversitas, bioteknologi, dan lainnya.
CAESAR AKBAR