JANGAN sangka R.A.J. Lumenta, Direktur Utama Garuda Indonesia, cuma pandai menjual kursi pesawat. Gagasannya menjual Biak di Irian Jaya, agaknya, cukup menarik. Kota yang penuh peninggalan bekas Perang Dunia II, antara lain markas bawah tanah Jenderal MacArthur, disebutnya punya potensi besar mengeruk dolar. Dengan menjual panah dan tombak khas Irian, katanya, toko di pelabuhan udara juga bisa menyedot dolar lumayan. Turis mana yang mau keluyuran jauh-jauh ke sana? Orang-orang Pantai Barat Amerika, dan mungkin turis Jepang -- yang sekarang bisa belanja barang lebih banyak dengan yen mereka. Biak mungkin akan jadi tempat persinggahan menarik bila usaha Garuda, menghubungkan Denpasar dengan Los Angeles lewat Biak dan Honolulu, mulai 2 November mendatang, mendapat sokongan pemerintah daerah setempat. Dua kali seminggu, kota terbesar di Pantai Barat Amerika itu akan dihubungkan langsung dengan jantung pariwisata Indonesia oleh DC-10, tanpa ganti pesawat. Biak, sebagai pintu gerbang baru, akan disinggahl selama satu jam. Karena penerbangan itu bisa langsung menembus Pantai Barat, banyak perusahaan minyak dan pengusaha pertambangan tembaga di Irian Jaya merasa tertarik untuk memanfaatkan jasa trayek ini. Orang Amerika yang mau meneruskan penerbangan ke Jakarta, bila dikekendaki, bisa melanjutkannya dengan Airbus. "Pasar di jalur ini cukup bagus, muatan barangnya juga akan banyak," kata Dirut Lumenta. Agaknya beralasan. Karena usaha Garuda menembus Los Angeles dari Denpasar lewat Guam bekerja sama dengan Continental cukup laju. Dari Guam (Amerika) itu, setiap minggu, Garuda kini bisa menjaring sekitar 200 turis yang hendak pelesir ke Denpasar. Mulai 2 November nanti, penerbangan dari Guam itu akan melewati Manado, sebelum masuk Denpasar. Siapa tahu orang Amerika tertarik Taman Laut Bunaken. Juga, siapa tahu, sehabis panen cengkih orang Manado ada yang mau piknik ke Bali. Setahun terakhir ini, memang, Garuda terasa gencar menghubungkan Denpasar langsung dengan kota-kota besar dunia seperti Singapura, London, Amsterdam, Wina, dan belakangan kota di tepian Pasifik. Dengan cara itu Garuda bisa memanfaatkan penggunaan pesawat berbadan lebarnya yang selama ini boleh dibilang menganggur. Sampai akhir tahun ini, toh masih ada satu Boeing 747 yang bakal nongkrong di hanggar Kalau pesawat berharga US$ 66,8 juta dibiarkan melompong, artinya, sama saja dengan membiarkan dua Hotel Borobudur mubazir. Dari Filipina memang sudah ada rencana untuk menyewa pesawat itu. Garuda tampaknya tak keberatan, asal dilakukan berdasar sistem wet lease (penerbang plus awak kabin adalah orang Garuda), dan sewanya berada di atas ongkos yang sekitar US$ 15 ribu per jam. Dari pelbagai usaha mengembangkan jalur penerbangan itu, Garuda berharap penerbangan luar negeri akan mampu memberikan penghasilan 60% dari seluruh pendapatan perusahaan. Tahun ini pendapatan badan usaha milik negara itu diduga akan naik 15%. "Kalaupun rugi, tidak akan sebesar Rp 24 milyar seperti yang diproyeksikan," kata Dirut Lumenta. Tahun lalu, seperti diketahui, Garuda masih rugi Rp 34 milyar. Setelah devaluasi, bagaimana utangnya? Dari hasil perluasan jalur penerbangan luar negeri yang akan mendatangkan dolar itu, Lumenta tidak khawatir menghadapi beban cicilan hampir US$ 200 juta tahun ini. Dolar poundsterling Inggris, gulden Belanda, dan franc Prancis memang naik nilainya gara-gara devaluasi. Tapi kalau lebih banyak orang asing bisa terangkut karena tertarik ongkos piknik di sini sekarang lebih murah, beban itu tentu tak terasa berat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini