Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Goldman Sachs Pangkas Rating RI, Ekonom: Bukti Kebijakan Pemerintah Pusat Menghawatirkan

Goldman Sachs menurunkan peringkat saham Indonesia dari overweight atau direkomendasikan untuk dibeli, menjadi market weight atau netral.

13 Maret 2025 | 11.19 WIB

Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan di lantai Bursa Efek Indonesia, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
Perbesar
Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan di lantai Bursa Efek Indonesia, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Perusahaan perbankan dan investasi global Goldman Sachs Group inc memangkas peringkat pasar saham dan obligasi Indonesia. Ekonom Bright Institute Muhammad Andri Perdana menilai penurunan rating disebabkan karena kebijakan pemerintah pusat yang makin mengkhawatirkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Goldman Sachs menurunkan peringkat saham Indonesia dari overweight atau direkomendasikan untuk dibeli, menjadi market weight atau netral. Salah satu penyebabnya adalah defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diprediksi membengkak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

“Kenyataan yang bisa kita amati, membuat Goldman Sachs sendiri memprediksi defisit anggaran tahun ini menjadi 2,9 persen dari PDB (produk domestik bruto), jauh di atas proyeksi pemerintah dalam APBN 2025 sebesar 2,53 persen,” ujarnya ketika dihubungi, Kamis, 13 Maret 2025.

Andri berpendapat, kebijakan yang muncul dari pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menjadi salah satu penyebab defisit diprediksi makin melebar. Dia mencontohkan efisiensi anggaran besar-besaran lewat Instruksi Presiden nomor 1 Tahun 2024.

Efisiensi bertujuan untuk menghemat kas negara. Nyatanya, kata dia, pemangkasan ini tidak berujung pada penghematan, namun digunakan untuk program-program prioritas. Seperti Makan Bergizi Gratis. “Kebijakan yang ada semakin tak menunjukkan keberlanjutan fiskal. Terutama yang berasal dari inisiatif Presiden,” ucapnya.

Kondisi keuangan negara yang merosot menurut Andri telah terjadi bahkan sebelum pemerintahan Prabowo. Terutama jika dilihat dari perkembangan posisi utang. Jika dibandingkan dengan PDB, maka total rasio utang pemerintah masih di bawah 60 persen. Namun dibanding dengan pendapatan, nilainya sudah melampaui 300 persen. 

Kondisi fiskal diprediksi akan semakin terpuruk mengingat penerbitan utang baru tahun ini yang nilainya terbanyak sejak pandemi serta penerimaan perpajakan yang sulit untuk mencapai target APBN 2025. Kondisi ini, kata dia, akan semakin membuat biaya berhutang dan beban bunganya semakin memberatkan keuangan negara

Utang pemerintah saat ini didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN). Berdasarkan dokumen Nota Keuangan 2025, pemerintah memperkirakan kenaikan imbal hasil SBN 10 tahun sebesar 0,1 persen saja akan menambah defisit anggaran sebesar 1,3 triliun. Belum lagi ditambah dengan faktor lainnya.

“Jika tren ini terus berlanjut ditambah dengan penurunan rating Indonesia, maka sangat mungkin 25 persen atau seperempat dari belanja pemerintah pusat dalam lima tahun ke depan akan habis hanya untuk membayar bunga utang,” ujarnya.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus