Sungai Ciwayang memang tak selegendaris Bengawansolo. Tapi keduanya punya kemiripan dalam urusan hilangnya nyawa seabrek manusia. Bengawansolo menjadi saksi bisu dihabisinya ribuan nyawa pengikut PKI di masa lalu. Sedangkan Ciwayang menyembulkan terburainya isi tubuh manusia yang dibunuh akibat tudingan biang santet. Bau anyir darah yang terasa sejak November tahun lalu membuat masyarakat di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, enggan menyentuhnya untuk keperluan sehari-hari.
Terburai? Biang santet? Itulah peristiwa menggemparkan tak ubahnya yang terjadi di Banyuwangi, Jawa Timur, tahun lalu. Modusnya pun mirip: korban dituduh sebagai dukun santet, diculik dari rumahnya oleh serombongan massa, dihujani pukulan dan hunjaman senjata tajam, lalu mayatnya dicampakkan begitu saja di Kali Ciwayang. Sampai Jumat pekan lalu, setidaknya telah 14 jenazah yang ditemukan. Tapi, menurut laporan penduduk yang diterima Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), telah ada 200 orang yang meregang nyawa akibat kasus misterius ini. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Pangandaran menyebut jumlah yang tewas 70 orang.
Tindakan brutal itu dilakukan secara terbuka dan disaksikan banyak orang, bukan diam-diam dalam bentuk menyaru ala ninja seperti di Banyuwangi. Caranya rada unik. Ambillah contoh nasib buruk yang dihadapi seorang warga bernama Kasna pada November tahun lalu. Pria dari Dusun Ciokong ini dicurigai oleh Elang bin Sandro telah meneluh adik dan ayahnya, yang meninggal secara tidak wajar dua tahun lalu. Mereka kerap muntah darah. Perutnya menggelembung. "Masa, laki-laki mengandung," kata Elang ketika itu. Elang, yang sehari-hari bekerja sebagai penyadap arak kelapa, lalu mengumpulkan warga. Dari pertemuan itu diputuskan: Kasna harus diusir ke luar dusun.
Rencana pun disusun. Elang bertugas mengumpulkan massa. Dana penggerebekan diperoleh dengan cara saweran. Dalam sekejap terkumpul uang Rp 125 ribu. Dengan modal itu, ratusan orang mengepung rumah Kasna. Tanpa banyak perlawanan, ia diringkus. Zonder ba-bi-bu, pukulan dan hunjaman parang diarahkan kepada lelaki itu. Tapi, aneh bin ajaib, setiap kali Kasna mengusapkan tangan ke wajahnya, sekujur tubuhnya yang babak-belur pulih kembali. Ia selamat setelah diamankan Kepala Dusun Ciokong. Kasna dikabarkan mengumbar serapah: akan menyantet orang-orang yang menghajarnya.
Takut dengan ancaman ini, warga di bawah pimpinan Elang mengubah strategi. Kasna tidak lagi perlu diusir, tapi harus dibunuh. Maka, pada suatu malam di bulan Rajab, Kasna kembali disatroni. Ia dilumatkan 500-an warga yang kesetanan termakan kesumat. Tubuh Kasna yang remuk ditelanjangi, dimasukkan ke karung, dan, byuurr, dilemparkan ke Sungai Ciwayang dari sisi jurang berkedalaman 25 meter. Kasna, kali ini tanpa ampun, tewas.
Ini bukan kejadian tunggal. Soalnya, Elang, seperti pengakuannya kepada TEMPO, kemudian melebarkan sayap "usaha"-nya: tidak saja kepada orang yang telah meneluh keluarganya, tapi juga kepada semua orang yang diidentifikasikannya sebagai dukun santet. Selain Kasna, korban Elang adalah Rusdi, Kahi, Sarno, Karsih, Sapinah, serta beberapa nama lainnya. Menurut pengakuan Elang, yang saat ini meringkuk dalam tahanan Kepolisian Resor Ciamis, ia telah membunuh 10 orang dari 20 yang ia rencanakan. Tapi, menurut catatan polisi, pria berusia 40 tahun itu telah membunuh 13 orang.
Kisah selanjutnya adalah teror. Setiap orang yang diduga sebagai dukun santet tewas secara mengenaskan: kepala remuk, usus terburai, atau tubuhnya lebam-lebam. Basis dukun santet, yang semula di Kecamatan Ciamis Selatan, kemudian menyebar ke Cimerak, Cijulang, Parigi, Pangandaran, dan Pomerican. Bahkan, dari laporan yang ditemukan Kontras, obyek pembunuhan berkembang: bukan hanya dukun santet, tapi juga dukun pengobatan tradisional, dukun beranak yang dapat menggugurkan kandungan, orang kaya yang sombong, dan?ini yang unik?orang yang dianggap sering menjelek-jelekkan Soeharto.
Ironisnya, pembunuhan berencana ini dilakukan dengan diketahui oleh aparat desa seperti lurah, ketua rukun tetangga (RT), dan ketua rukun warga (RW). Orang yang masuk selebaran "daftar orang tercela" diketahui oleh banyak pihak?hanya, tak sampai ke tangan bupati seperti di Banyuwangi. Bahkan, menurut cerita Munir dari Kontras, pernah ada kejadian seorang calon korban terpaksa membuat kesaksian tertulis untuk meyakinkan semua orang. Intinya, ia bukanlah dukun santet. Surat bercap Februari lalu itu harus ditandatangani oleh ratusan warga dusun tempat tinggalnya, dilengkapi tekenan ketua RT/RW dan lurah.
Adakah serentetan pembunuhan itu bermotif dendam semata atau ada latar belakang politiknya? Tak ada kata pasti. Meski tak jelas motifnya, Kontras menuding ada permainan aparat militer di balik kasus Banyuwangi seri kedua ini. Tapi komisi yang namanya melejit setelah menangani kasus penculikan aktivis mahasiswa oleh tim Kopassus ini punya bukti. Misalnya, ada tentara berpakaian preman yang membaur dalam rombongan massa. Fakta lainnya, meski eksekusi sadis itu beberapa kali dipergoki polisi, aparat berseragam cokelat itu tidak berani bertindak. Diduga, ada kekuatan "lain" yang membikin polisi ngeper. Sampai kini, dari 42 orang yang ditahan sebagai tersangka, 38 di antaranya sudah diproses dan dibikinkan berita acara pemeriksaan (BAP)-nya.
Menurut Kontras, mobilisasi massa juga diiming-imingi fulus "kekuatan lain" tadi yang tidak sedikit jumlahnya. Seorang algojo diberi upah Rp 100 ribu sampai Rp 200 ribu. Jika satu rombongan terdiri atas 500 orang?seperti dalam pembunuhan Kasna?hitung sendiri besar uang yang dikeluarkan. Massa yang mencincang korban memang warga kebanyakan. Tapi kelompok penggeraknya, menurut Munir, adalah orang yang pernah mengikuti latihan militer di gunung-gunung. "Bosnya adalah seorang pemimpin preman. Dia mengorganisasi pembunuhan itu di sembilan desa di Ciamis," kata Munir. Ia enggan menyebut nama "si bos" itu. "Bukan mustahil ini menimbulkan keruwetan sosial di daerah lain, yang jauh dari Jakarta, apalagi menjelang pemilu," kata Munir.
Benarkah? TEMPO, yang melakukan pelacakan langsung ke lapangan, masih sulit mengambil kesimpulan sejauh itu. Dari wawancara dengan tersangka dan beberapa saksi?yang ogah namanya ditulis?belum terungkap fakta adanya konspirasi besar dalam kasus Ciamis ini. Menurut Sarno, salah seorang tersangka, apa yang ia lakukan itu tidak didalangi oleh siapa-siapa. Dasarnya kesepakatan semua warga. "Semua warga kampung mau memberi tanda tangan, bahkan disepakati Pak Kades (Kepala Desa)," kata Sarno tenang. Tersangka lainnya, Sentot, 32 tahun, warga Kecamatan Pangandaran, malah bangga. Ia berhasil membebaskan warganya dari ancaman dukun santet. "Berani sumpah, saya tidak dibayar," katanya.
Polisi enggan bertindak bukannya tanpa alasan. Aksi main hakim sendiri itu pun, menurut beberapa sumber, terpaksa didiamkan karena aparat takut menjadi sasaran amuk massa, yang jumlahnya tidak sedikit. "Jangan-jangan malah markas polisi dibakar," kata salah seorang petugas. Membaca kasus ini sebagai pertikaian antar-agama tampaknya masih terlalu dini. Soalnya, meski sebagian besar penduduk Ciamis beragama Islam, tidak ada problem konflik antar-agama yang beredar selama ini. Apalagi kalau dilihat dari pertentangan antarpartai politik. Rasanya masih terlalu jauh. Tak ada satu pun korban berstatus kiai atau ustad?yang bisa melempengkan dugaan politis seperti di Banyuwangi.
Tapi menyepelekan temuan Munir dan kawan-kawan juga terlalu gegabah. Pasalnya, tim yang berkantor di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta itulah yang pertama kali membongkar tragedi Ciamis ini. Munir sendiri mengaku dihubungi melalui telepon genggamnya oleh seorang warga Ciamis pada 14 April lalu. Laporannya: ada puluhan warga tewas karena isu dukun santet. Tim Munir bergerak. Esoknya, lima orang dari Kontras segera berangkat ke sana dan menemukan Pak Oneng, salah seorang korban, telah membusuk di Sungai Ciwayang. Mayat itu telah seminggu tergeletak tanpa ada satu pun warga yang berani menguburkannya. Risikonya berat: kena babat khalayak.
Arif Zulkifli, Iwan Setiawan (Jakarta), dan Upik Supriyatun (Ciamis)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini