Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Habis Sudah Isu Devaluasi

Beberapa bank swasta & lembaga keuangan bukan bank akan memasarkan sertifikat bank indonesia. pasar uang akan semakin ramai. bunga sbi sekitar 13,5%. akan dipasarkan pula surat berharga pasar uang.

28 Januari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALAU ada bankir yang masih berani berspekulasi bahwa rupiah akan kembali kena sunat, mereka boleh kecele. Dalam acara makan malam bersama Gubernur Bank Sentral Adrianus Mooy pekan silam, pimpinan otoritas moneter itu tanpa ragu menyatakan bahwa cadangan devisa di Bank Indonesia masih cukup untuk membiayai impor selama enam bulan ke muka sejak Januari ini. Itu pula yang diucapkan Menteri Keuangan Sumarlin sehabis mengikuti sidang Dana Moneter Internasional (IMF) di Bonn, ibu kota Republik Federasi Jerman, Oktober lalu. Ketika itu harga minyak sudah jatuh sampai sekitar 12 dolar sebarel, sehingga Sumarlin merasa perlu meredam desas-desus yang semakin santer di kalangan bankir Jakarta. Beber apa di antara mereka ada yang mempersoalkan apakah cadangan devisa akan terkuras di sekitar bulan Maret 1989, yang berarti enam bulan setelah Oktober tahun silam. Spekulasi itu bertambah kuat ketika turun Pakto 1988. Seperti diketahui, Pakto membolehkan bank-bank menurunkan cadangan wajib dari 15% menjadi hanya 2% dari jumlah dana pihak ketiga. Tapi 80% dari dana yang hendak dibebaskan itu untuk sementara harus disimpan di BI dalam bentuk SBI (Sertifikat Bank Indonesia). Itu berarti sekitar 10,4% dari seluruh dana pihak ketiga di semua perbankan yang berjumlah sekitar Rp 30 trilyun harus di SBI-kan sehingga BI akan menarik lebih dari Rp 3 trilyun, suatu kontraksi yang cukup kuat untuk membendung spekulasi valuta asing. Dengan demikian, pemerintah bisa meminjam uang masyarakat, dan kemudian melakukan devaluasi. Itulah spekulasi yang pekan lalu kembali dibantah oleh Dr. Mooy. Tapi rencana otoritas moneter untuk menarik uang beredar lewat penjual SBI masih akan terus. Jika tak disedot, sudah bisa diduga ke mana arus uang itu akan bermuara: ke pasar domestik, dan ini salah satu sumber yang bisa menyulut tingkat inflasi. Atau, sang rupiah akan berbelok ke luar negeri, dan itu bisa merangsang kaum spekulan valuta asing. Lembaga keuangan bukan bank (LKBB) Ficorinvest yang berkantor di Kuningan, Jakarta, dan selama ini menjadi distributor tunggal SBI, diduga tak akan sanggup menangani rencana penyedotan dana sekitar Rp 3 trilyun. Syukur itu sudah disadari para atoritas moneter, sehingga dalam Pakto pun telah ditetapkan: BI dapat menunjuk bank atau LKBB untuk melaksanakan lelang SBI. Ketentuan tadi ternyata sudah dijalankan. Mulai Rabu pekan ini, distribusi SBI, yang selama ini hanya ditangani Ficorinvest, diperluas. Dua bank swasta, yakni Bank Duta dan Bank Umum Nasional, telah ditunjuk BI untuk beroperasi sebagai broker mendampingi Ficorinvest. "Tugas para broker ini adalah mempertemukan penjual dan pembeli," kata juru bicara BI Dahlan Sutalaksana kepada TEMPO Senin malam pekan ini. Artinya, mereka akan mencari lembaga-lembaga keuangan yang bersedia membeli SBI, atau menjualkan SBPU (surat berharga pasar uang: semacam surat utang jangka pendek yang dikeluarkan bank, lembaga keuangan, atau perusahaan-perusahaan) kepada BI atau lembaga keuangan lain. Dalam hal ini, fungsi para broker ini mirip para pialang murni di bursa efek. Selain itu, enam bank swasta (Danamon, OEB, Panin, NISP, Bank Niaga, dan Bank Jakarta) serta tujuh LKBB (Merincorp, Finconesia, Aseam, Inter Pacific, MIFC Indovest, dan Multicor telah ditunjuk untuk bertindak sebagai pencipta pasar (market maker). Bank pemerintah sudah terwakili di situ, karena mereka juga pemegang saham di LKBB tersebut. "Kami akan berfungsi sebagai penjamin emisi (underwriter) surat-surat berharga," tutur Jusuf Arbianto dari Bank Danamon. Dengan demikian, 15 lembaga keuangan itu akan berfungsi sebagai pedagang surat berharga SBI dan SBPU (surat berharga pasar uang: yakni sejenis surat utang jangka pendek yang bisa dibuat lembaga keuangan). Apa komentar para ekonom? Dr Anwar Nasution dari FE UI melihat kebijaksanaan itu sebagai langkah yang wajar harus dilakukan. "Menjual SBI itu kan sama seperti kalian menjual majalah. Kalau disalurkan lewat beberapa distributor tentu hasilnya akan lebih baik daripada dipusatkan lewat distributor tunggal," katanya. Sekjen Perbanas Thomas Suyatno menilai dilibatkannya bank-bank swasta menjadi broker dan underwriter itu merupakan suatu penghargaan dari Bank Indonesia. "Penunjukan itu berarti bank swasta semakin dipercaya oleh pemerintah," katanya. Bisa dipastikan bonafiditas 17 pialang pasar uang tersebut sudah tersimpan dalam laci Gubernur BI. Tapi, menurut Dahlan. kedudukan mereka itu untuk sementara. Nantinya, bank-bank akan diberi wewenang mendirikan perusahaan sendiri yang akan mengelola pasar uang terbuka itu. Kegiatan baru ini tentu merupakan tambahan penghasilan bagi mereka. Itu berupa upah yang akan dipungut para pialang dan pencipta pasar, sebanyak 1% x 1/16 dari seluruh nilai transaksi. Itu pun masih ada kemungkinan untuk ditawar lagi, alias lebih besar upahnva. Hasil lelang para pencipta pasar pun akan diumumkan. Tidak seperti dulu lewat pialang Ficorinvest, yang tak ketahuan siapa membeli SBI, berapa besar nilainya dan berapa pula bunganya. Dengan sistem operasi pasar terbuka, nantinya akan lebih mudah memantau bank-bank mana yang tergolong gemuk, dan berani bersaing menawarkan bunga rendah. Bunga pinjaman antarbank dewasa ini berkisar 14%, sedangkan bunga SBI sekitar 13,5%. Belum jelas apakah nantinya bunga SBI akan dikenai pajak. Tapi, dalam beberapa pekan ini, banyak nasabah bank diduga akan menarik dana untuk membiayai investasi yang mulai ramai, dan melunasi pajaknya kepada pemerintah. Beberapa bank sudah mulai menaikkan suku bunga deposito jangka pendek antara 0,5% dan 1 %. Untuk simpanan yang berjangka sebulan, misalnya, ada bank yang menawarkan bunga 21,5% setahun. Sedang untuk simpanan tiga bulan lebih tinggi satu persen. Adakah ini pertanda bahwa bank-bank mulai kesulitan rupiah ? Itu yang perlu disimak orang dalam minggu ini. Max Wangkar dan Bachtiar Abdullah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus