Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
PLN mengungkapkan percepatan suntik mati PLTU batu bara berisiko tinggi terhadap keuangan perusahaan karena membutuhkan dana besar.
Badan Kebijakan Fiskal (BKF) pun menyatakan pensiun dini PLTU batu bara sulit dieksekusi. Musababnya, sumber listrik di Indonesia masih sangat bergantung pada batu bara.
Manajer Kampanye Tata Ruang dan Infrastruktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Dwi Sawung menilai pensiun dini atau pensiun normal tetap bisa dilaksanakan. Terlebih kondisi oversupply di beberapa sistem kelistrikan saat ini.
PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN mengungkapkan percepatan suntik mati pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara berisiko tinggi terhadap keuangan perusahaan. Sebab, proses pensiun dini PLTU batu bara untuk mengganti pembangkit listrik dengan energi terbarukan membutuhkan investasi besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami melihat dari sudut pandang keandalan operasi sistem, skenario empat dan lima (penghapusan batu bara) ternyata tidak feasible,” ujar Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo dalam rapat bersama Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta, Kamis, 30 Mei 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan skenario empat dan lima, PLTU batu bara akan digantikan oleh pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT). Rencananya pemerintah memasang 61 gigawatt pembangkit listrik tenaga hidro dan panas bumi. Kemudian pembangkit listrik tenaga bayu dan surya 103 gigawatt, serta pembangkit listrik tenaga gas sebesar 15 gigawatt.
PLN kemudian berkoordinasi dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk melaksanakan skenario ketiga, yaitu accelerated renewable energy with coal phase down. Dengan skenario ini, proyeksi tambahan pembangkit EBT mencapai 62 gigawatt atau 75 persen dari kapasitas pembangkit terpasang hingga 2040. Darmawan pun menilai langkah itu dapat tetap menjaga keberlanjutan keuangan perusahaan setrum pelat merah tersebut.
Badan Kebijakan Fiskal (BKF) pun menyatakan pensiun dini PLTU batu bara sulit dieksekusi. Musababnya, sumber listrik di Indonesia masih sangat bergantung pada batu bara. Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral BKF Boby Wahyu mengatakan batu bara berkontribusi sekitar 60 persen terhadap sumber energi nasional.
Terlebih pemerintah juga menilai komoditas ini merupakan penggerak pertumbuhan Indonesia sehingga suntik mati PLTU batu bara sulit dilakukan. "Jika kami tiba-tiba shut down (matikan), seperti apa keamanan energi kita?" kata Boby di Bogor, Rabu malam, 29 Mei lalu.
Kementerian ESDM mencatat penggunaan batu bara domestik sebagai sumber listrik meningkat setiap tahun. Pada 2019, tercatat pemakaian batu bara untuk PLTU sebesar 98,55 juta ton. Lalu meningkat pada 2020 menjadi 104,83 juta ton; pada 2021 sebesar 112,13 juta ton; 2022 sebesar 119 juta ton; serta 2023 sebesar 126 juta ton. Bahkan, pada 2024, kebutuhan batu bara untuk sektor listrik diperkirakan mencapai 140 juta ton.
Faktor harga batu bara yang murah juga menjadi pertimbangan pemerintah. Boby mengatakan sumber daya alam batu bara di Indonesia masih berlimpah dengan harga yang murah. Meskipun penggunaan energi terbarukan berpotensi menurunkan biaya produksi listrik dalam jangka panjang, ia menilai ada sejumlah faktor yang dapat menyebabkan kenaikan harga listrik dalam transisi menuju energi yang lebih bersih. Karena itu, pemerintah perlu mempertimbangkan kemampuan beli masyarakat.
Pekerja memeriksa pasokan batu bara di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat. TEMPO/Tony Hartawan
Di sisi lain, pemerintah telah berkomitmen terhadap aksi iklim dan transisi energi yang berkelanjutan. Dengan demikian, transisi energi tetap dilakukan secara bertahap dengan mempertimbangkan ketahanan energi, kelestarian lingkungan, dan harga energi yang terjangkau.
Saat ini pemerintah bekerja sama dengan Asian Development Bank (ADB) melakukan uji coba pensiun dini salah satu PLTU Cirebon 1 yang berkapasitas 660 megawatt. Kerja sama antara Indonesia Investment Authority dan ADB soal peluncuran Mekanisme Transisi Energi (ETM) ini disepakati dalam Presidensi G20 Indonesia 2022.
Pada 16 April lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Presiden ADB Masatsugu Asakawa membahas kelanjutan kerja sama ini di Washington DC, Amerika Serikat. ADB sepakat membantu pensiun dini PLTU Cirebon tujuh tahun lebih awal dari kontrak, yakni pada Desember 2035. Adapun jadwal sebelumnya pada Juli 2042. Transaksi pembiayaan suntik mati PLTU ini ditargetkan selesai pada semester pertama 2024.
Pensiun dini PLTU Cirebon 1 merupakan proyek yang mendapat pendanaan skema JETP atau Kemitraan Transisi Energi yang Adil. Pada 21 November 2023, Sekretariat JETP menerbitkan dokumen resmi kebijakannya, yakni Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP). Dalam dokumen CIPP, PLTU Cirebon 1 membutuhkan pendanaan pensiun dini sebesar US$ 250-300 juta yang berasal dari pinjaman konsesi dan non-konsesi.
Hambatan pensiun dini PLTU batu bara juga menjadi sorotan sejumlah pengamat energi. Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai rencana suntik mati PLTU sudah meragukan sejak awal. "Hampir mustahil untuk bisa mempensiunkan semua PLTU dalam jangka pendek karena yang dipertaruhkan cukup besar," ujarnya kepada Tempo, 2 Juni lalu.
Bahkan ReforMiner Institute mencatat ketergantungan Indonesia terhadap batu bara sebagai sumber listrik mencapai 75 persen. Dengan demikian, perlu dipertimbangkan EBT pengganti dengan kapasitas yang sangat besar untuk memenuhi kebutuhan nasional.
Apalagi, tutur Komaidi, harga batu bara adalah yang paling murah. Dengan menggantinya, biaya produksi listrik akan bertambah. Karena itu, ia mengingatkan pemerintah untuk mempertimbangkan kemampuan beli masyarakat akan potensi kenaikan tarif listrik. Apakah kenaikan harga ini akan ditanggung oleh konsumen atau negara dalam bentuk subsidi. Jika ditanggung oleh negara, beban fiskalnya akan melonjak.
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Cirebon, Jawa Barat. TEMPO/Subekti
Sementara itu, Manajer Kampanye Tata Ruang dan Infrastruktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Dwi Sawung menilai pensiun dini atau pensiun normal tetap bisa dilaksanakan. Terlebih kondisi oversupply di beberapa sistem kelistrikan saat ini "Keengganan ini menunjukkan masih kuatnya lobi batu bara dalam pengambilan kebijakan kelistrikan di Indonesia," ucap Dwi kepada Tempo, Ahad lalu.
Dwi menekankan dampak perubahan iklim akibat PLTU batu bara sudah terasa, baik secara lokal maupun global. Misalnya, masalah polusi udara dan pencemaran air yang berakibat hilangnya biodiversitas. Ditambah dampak lingkungan dan sosial akibat pertambangan batu bara. Karena itu, Walhi meminta pemerintah segera membuat regulasi ihwal pensiun PLTU ini untuk mempercepat pembangunan energi terbarukan serta penerapan kebijakan pajak karbon terhadap PLTU batu bara.
Pengamat energi dari Universitas Indonesia, Iwa Garniwa, berpendapat bahwa pensiun dini PLTU memang perlu dikaji lebih dalam. Terlebih dia menilai penggunaan batu bara di Indonesia masih lebih kecil dibanding rata-rata pengguna batu bara dunia. Secara global, rata-rata pengguna batu bara sekitar 8.000 juta ton, sementara Indonesia menggunakan 120 juta per tahun.
Iwa membandingkannya dengan Cina yang menggunakan batu bara sebagai sumber energi hingga 4.200 juta ton per tahun. Apabila Indonesia melakukan penghentian PLTU batu bara terlalu dini, dia menilai industri akan terguncang lantaran pertumbuhan ekonomi Indonesia belum bisa digantikan oleh energi terbarukan. Apalagi pengembangan smelter di Indonesia yang makin meningkat membutuhkan energi listrik yang belum bisa dipenuhi oleh sumber energi lain.
Menurut Iwa, seharusnya langkah pertama pemerintah bukan melakukan pensiun dini PLTU, melainkan mengembangkan EBT. Dengan demikian, pemenuhan energi dengan harga terjangkau bagi masyarakat dan kompetitif bagi industri dapat didahulukan.
Seiring dengan pengembangan EBT, Iwa mengatakan, pemerintah dapat menghentikan PLTU yang efisiensinya rendah. "Jangan sampai pembangunan pembangkit listrik di Indonesia tidak memenuhi pertumbuhan kebutuhan listrik masyarakat. Dampaknya, akan terjadi defisit tenaga listrik," tuturnya. Sebab, hal itu dikhawatirkan membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia terhambat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo