Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA bulan ini akan menjadi sesi yang padat buat PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero). Induk perusahaan tambang milik negara itu kudu merampungkan proses divestasi saham PT Freeport Indonesia. Presiden Joko Widodo sudah menetapkan target: divestasi saham Freeport Indonesia harus selesai pada April 2018.
Perintah Presiden datang pada Senin dua pekan lalu dalam rapat kabinet. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan mengumumkannya ke publik pada hari yang sama. Pengumuman Jonan itulah yang melecut Inalum, ditugasi mengambil 51 persen saham Freeport di bumi Papua.
Tak mau buang-buang waktu, Inalum langsung menggeber negosiasi lanjutan. Berlangsung di sebuah tempat di Jakarta, Selasa pekan lalu, Inalum duduk satu meja dengan perwakilan Rio Tinto Plc. "Tapi saya tidak ikut. Mereka terus bernegosiasi," ucap Fajar Harry Sampurno, Deputi Bidang Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian Badan Usaha Milik Negara, di kantornya, Jakarta, Jumat pekan lalu.
Pertemuan itu disebut-sebut membahas harga penawaran perdana Inalum untuk 40 persen participating interest milik Rio Tinto Plc di Grasberg, area tambang yang digarap Freeport. Pada 28 Februari lalu, Inalum mengajukan non-binding offer kepada Rio Tinto. Fajar mengaku tidak tahu berapa tawaran pertama dari Inalum. Tapi sumber yang tahu proses negosiasi mengatakan tawaran Inalum tidak lebih dari US$ 2 miliar atau di bawah Rp 27,511 triliun dengan kurs 13.700 per dolar Amerika.
Tawaran perdana Inalum itu adalah langkah paling signifikan setelah Freeport-McMoRan (FCX), pemilik 90,36 persen saham PT Freeport Indonesia, dan pemerintah mengunci kesepakatan struktur divestasi pada 17 Desember tahun lalu. Saat itu, para petinggi Kementerian ESDM, Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan, Inalum, dan Presiden Direktur Freeport-McMoRan Richard Adkerson menggelar rapat maraton di kantor Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan, Jakarta. Di antara yang hadir ada Deputi Bidang Usaha Jasa Keuangan, Jasa Survei, dan Konsultan Kementerian Badan Usaha Milik Negara Gatot Tri Hargo serta Staf Khusus Menteri ESDM Akhmad Syakhroza.
Rapat besar itu kelanjutan dari kesepakatan informal pemerintah dengan Rio Tinto pada akhir Oktober 2017. Kesepakatan informal tercapai ketika Menteri BUMN Rini Soemarno dan Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin bertemu dengan CEO Rio Tinto Plc Jean-Sebastien Jacques di London, Inggris. Di sana, Rio Tinto berjanji melepas participating interest ke Inalum sebagai BUMN yang ditugasi pemerintah menguasai Freeport Indonesia.
Baru pada Desember, kesepakatan serupa tercapai dengan Freeport-McMoRan di Paris, Prancis. Dalam pertemuan dengan Freeport-McMoRan inilah Menteri Keuangan Sri Mulyani dan dan Menteri ESDM Ignasius Jonan bergabung. Pertemuan berlangsung di sela keduanya menghadiri One Planet Summit, 12 Desember 2017. Pada pertemuan yang berlangsung di Kedutaan Besar Indonesia untuk Prancis itu, Freeport-McMoRan sepakat 40 persen participating interest Rio Tinto di Grasberg, yang akan dibeli oleh Inalum, bakal terkonversi menjadi 40 persen saham di Freeport Indonesia.
Nantinya, setelah mengkonversi hak partisipasi, PT Freeport Indonesia akan menerbitkan saham baru. Implikasinya, 9,36 persen saham yang telah dikantongi Inalum saat ini akan terdilusi menjadi 5,4 persen. Adapun 90,36 persen saham FCX terdilusi tinggal 54,6 persen. Dengan tambahan 40 persen saham dari hasil konversi hak partisipasi Rio Tinto, Inalum akan mengantongi 45,4 persen. Untuk menggenapi saham pemerintah menjadi 51 persen, Inalum tinggal mencaplok 5,6 persen saham Freeport-McMoRan di PT Freeport Indonesia.
Lantaran proses divestasi yang sudah tinggal di ujung inilah, menurut seseorang yang tahu isi rapat kabinet pada Senin dua pekan lalu, Presiden Jokowi ingin proses itu segera rampung pada April. Dalam rapat kabinet itu juga sempat disinggung soal "sampah-sampah" tersembunyi di dalam Freeport Indonesia selama ini. Maka tawaran di bawah US$ 2 miliar itu sudah termasuk diskon karena adanya "sampah-sampah" tersebut.
HINGGA Selasa dua pekan lalu, Rio Tinto belum menjawab tawaran perdana Inalum yang datang pada akhir Februari. Baru pada Selasa pekan lalu, keduanya bertemu lagi di Jakarta. Due diligence sebelumnya banyak berlangsung di Singapura. Dalam uji tuntas selama tiga bulan itu, Inalum menyewa lembaga pendanaan kenamaan asal Amerika Serikat, Morgan Stanley, juga PricewaterhouseCoopers (PwC).
Lewat uji tuntas inilah "sampah-sampah" PT Freeport Indonesia terkonfirmasi. Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Akhmad Syakhroza mengatakan, sejak tahun lalu, ketika lintas kementerian memulai negosiasi divestasi, tim negosiasi sudah mewanti-wanti agar "sampah-sampah" operator tambang tembaga dan emas di Papua itu dipelototi. "Hasil tim negosiasi tahun lalu begitu. Itu wajib dihitung," ucap Syakhroza di kantornya, Jakarta, Rabu pekan lalu. "Kita tidak mau terpapar oleh kewajiban PTFI (PT Freeport Indonesia) di kemudian hari tanpa perhitungan matang."
"Sampah-sampah" tersebut antara lain temuan Badan Pemeriksa Keuangan pada 2017. Saat itu, BPK menemukan pasir sisa tambang Freeport meluber ke daratan hingga laut. Potensi kerugian dari kerusakan lingkungannya Rp 185 triliun. Ada juga tunggakan pajak air permukaan senilai Rp 3,5 triliun kepada Pemerintah Provinsi Papua. Juga sengketa pajak lain yang menjerat Freeport Indonesia. "Siapa pun pemilik sahamnya nanti, tetap harus dipenuhi," ujar Syakhroza.
Hal terbaru, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjatuhkan sanksi administrasi kepada PT Freeport Indonesia karena dianggap merusak lingkungan di sekitar tambang Grasberg, Papua. Sanksi tersebut berupa paksaan supaya Freeport merehabilitasi lingkungan dan memantau limbah hasil tambang secara berkala. Direktur Pengaduan, Pengawasan, dan Sanksi Administrasi Kementerian Lingkungan Yazid Nurhuda menyatakan bisa membekukan izin lingkungan perusahaan tambang itu jika tidak menaati perintah. "Kami sejak 2017 mengawasi tambang itu. Dari hasil pengawasan, ditemukan 47 pelanggaran yang dikelompokkan dalam bagian tertentu," ujarnya kepada Robby Irfany dari Tempo, Selasa pekan lalu.
Deputi Bidang Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno mengakui, "sampah-sampah" itu akan menjadi beban di kemudian hari. Makanya, menurut Fajar, beban itu harus diperhitungkan, baik dalam harga jual-beli saham maupun biaya perusahaan nantinya. "Pesan kami, semua itu harus clean," ucapnya. Walaupun, kata Fajar, nilai dari beban-beban pada masa mendatang yang ada di dalam Freeport Indonesia belum pasti. "Tapi sudah ada rentang nilai minimal dan maksimalnya."
Hasil uji tuntas juga selaras dengan hasil kajian lembaga pendanaan asal Jerman, Deutsche Bank. Dalam riset pasar mengenai Rio Tinto yang terbit pada 13 Februari lalu, DeutscheBank ikut menghitung secara khusus valuasi tambang Grasberg.
Deutsche Bank menggunakan metodologi valuasi dengan menerapkan biaya modal rata-rata tertimbang (weighted average cost of capital) sebesar 9,3 persen. Mengingat risiko geopolitik, Deutsche Bank menulis dalam laporannya bahwa diskon harus lebih tinggi. Dari hitungan itu, Deutsche Bank menaksir nilai 40 persen participating interest Rio Tinto di Grasberg berada di rentang US$ 7,5 miliar di tingkat diskon 7 persen hingga US$ 2 miliar di tingkat diskon 19 persen.
Inalum menolak berkomentar banyak mengenai tawaran perdana yang mereka sodorkan kepada Rio Tinto. Juga soal temuan "sampah-sampah" tersebut. Namun Head of Corporate Communications Inalum Rendi A. Witular mengatakan ada banyak perundingan lanjutan antara mereka dan FCX serta Rio Tinto. "Tapi kami tidak bisa mengungkapkan materi yang dibahas di dalam negosiasi karena terikat dengan non-disclosure agreement," kata Rendi, Jumat pekan lalu.
Hingga Jumat sore pekan lalu, juru bicara PT Freeport Indonesia, Riza Pratama, tidak mau banyak berkomentar. Menurut dia, divestasi kini menjadi kewenangan FCX, perusahaan induk mereka di Amerika Serikat. "Kami tidak ingin mengganggu proses yang sedang berlangsung," tutur Riza lewat pesan pendek.
Khairul Anam
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo