PARA petani karet di beberapa daerah Kalimantan Selatan dan
Tengah, sudah berani membagi senyum dengan anak-bininya. Suasana
baik itu tampak di daerah kabupaten Banjar, Hulu Sungai Utara
dan Selatan serta Tabalong di Kalsel. Soalnya, di samping
orang-orang yang duduk dalam Gabungan Pengusaha Karet (CPK)
mulai suka turun ke desa-desa penghasil karet, harga bahan
ekspor itu juga sudah membaik jika dibandingkan dengan 4 atau 5
tahun silam. Asmaji Darmawi, ketua GPK Kalsel dan Kalteng dengan
gembira menyebutkan harga beli sekarang di antara Rp 150 sampai
Rp 180 per kg, tergantung jenis dan kwalitasnya.
Tak heran jika beberapa petani karet di daerah Tanjung, Kalsel
menilai suasana perkaretan sekarang ibarat "habis gelap
terbitlah terang". Sekalipun bagi beberapa pengusaha yang
merangkap eksportir masih ada yang kudu diperbaiki. Apa ya? "Apa
lagi kalau bukan soal pengangkutan", ucap seorang pengusaha di
Banjarmasin. Sejak akhir Desember lalu para eksportir nampak
termangu-mangu. "Sebanyak 14.000 ton karet kami yang siap
dikapalkan menuju Eropa tertumpuk di gudang", kata Tarigan dari
perusahaan Insan Bonafide. Kepada Syahran R dari TEM PO,
beberapa pengusaha juga mengeluh. Seperti PT Hapea di Barabai,
kabarnya tak kurang dari 500 ton karetnya yang siap dikapalkan
harus terpaksa mendekam dalam gudang mereka di daerah Hulu
Sungai Tengah sana.
Tertumpuknya karet-karet yang siap diekspor itu, hanya terbentur
masalah pengapalan yang dipandang masih belum lancar. Untuk lin
Singapura, memang tak ada persoalan, di mana setiap saat kapal
bisa saja bersandar di Pelabuhan Trisakti. Tapi untuk yang
langsung ke Eropa, seperti yang dikehendaki Tarigan dan
dijanjikan oleh pihak Gesuri Lloyd -- yang mestinya muncul
pertengahan Maret -- tak kunjung tiba.
Ini merisaukan para eksportir yang tadinya sudah cukup optimis
terhadap manfaat Ambang Barito. Dan lagi, sedikit banyaknya
ketidak-lancaran pengapalan itu cukup mengganggu mekanisme
produksi. "Kalau kita punya modal sekitar Rp 500 juta saja,
dengan tertumpuknya karet disebabkan ketiadaan kapal, apakah ini
tidak menggangu", ungkap Tarigan sambil mengharapkan semacam
jaminan kelancaran masuknya kapal.
Gemuruh
Tapi kenapa tak mengambil lin Singapura saja, biar pengapalan
cukup lancar? "Bukan kita tidak mau, tapi komisi yang sebesar 14
sen dollar/kg yang dipotong pemerintah Singapura itulah yang
menjadi titik tolak", katanya. Sedangkan langsung ke Eropa
(konsumen) tidak perlu mengeluarkan komisi yang diniiai oleh
orang Insan Bonafide ini sebagai "cukup besar".
Nampaknya, seperti yang diungkapkan beberapa sumber, persoalan
pengapalan langsung ke Eropa ini tak segera bisa terselesaikan,
kendati pihak Gesuri Lloyd telah berjanji memasukkan KM Gemuruh
yang berbobot mati 11 ribu ton. Si Gemuruh itu diharapkan tiba
di penghujung Maret kemarin di Trisakti. Tapi apakah itu sudah
merupakan jaminan?
"Masih kita ragukan", ucap seorang pengusaha karet yang duduk
di Kadin Kalsel. Sebab, produksi karet Kalsel yang kini hanya
berkisar 2500 s/d 3000 ton per bulan itu memaksa pihak
perkapalan berpikir dua kali memberikan jaminan kelancaran
angkutan. Misalnya, KM Gemuruh yang bisa menampung 11 ribu ton
itu, apakah sudi membawa muatan cuma 3000 ton? Atau dengan kata
lain, kapal ini harus bermampir-mampir dulu di beberapa
pelabuhan di Indonesia untuk cari muatan. Karenanya Tarigan
harus mafhumlah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini