KOPERASI kopra di Sulawesi Tengah, yang dibentuk setelah
kunjungan 3 menteri (Menteri Perdagangan, Transkop dan Dalam
Negeri) tahun 1974, ternyata berjalan seret. Sebagai pembeli
tunggal, koperasi kopra hanya mampu menyerap 20% dari seluruh
produksi kopra Sulawesi Tengah yang berjumlah 143.000 ton selama
tahun 1976. Bahkan koperasi di Kabupaten Donggala dan Banggai,
tahun lalu cuma berhasil membeli 15.000 ton saja. Rupanya,
dengan janji modal Bank Rakyat Indonesia yang berjumlah Rp 409
juta dan hak membeli kopra secara monopoli di daerahnya,
koperasi yang merupakan proyek perintis itu belum dapat
ditonjolkan hasil kerjanya.
Mengapa sampai terjadi begitu? Harga pembelian kopra di luar
koperasi lebih menarik bagi petani produsen. Yaitu harga beli
yang lebih tinggi, telah dipasang oleh para tengkulak dan
pembeli resmi lain yang disebut Pelaksana Bapengko (Badan
Pengusahaan Kopra). Tengkulak, sudah jelas siapa orangnya.
Sedang Bapengko ialah, alat perdagangan yang bernaung di bawah
sayap Departemen Perdagangan, yang paling punya hak untuk
mengantar-pulaukan seluruh hasil kopra di sana.
Hadirnya Bapengko di Sulawesi Tengah, tahun 1969, sebenarnya
sudah sejak mula tidak begitu sreg dirasakan oleh kalangan
perkopraan dan pejabat daerah. Sebelum ada Bapengko, tataniaga
kopra ada di tangan gubernur, bupati dan aparat di bawahnya.
"Orgall itu hanya menarik uang hasil tataniaga kopra dari tangan
daerah ke kantong pemerintah pusat saja", kata seorang pejabat
penting di Sulawesi Tengah. Akibatnya cukup parah bagi keuangan
pemerintah daerah. Apalagi, kemudian, daerah juga kehilangan hak
untuk memungut SRK (sumbangan rehabilitasi kopra), CESS dan
pungutan lainnya.
Perang
Orang koperasi juga cuma bisa mengurut dada dan penasaran saja,
melihat suasana pasar. Sebab modal yang ada di tangan, dari
kredit BRI itu, tak bisa dimainkan begitu saja menurut keinginan
pasar. Koperasi, begitu aturannya, hanya boleh mengadakan
pembelian secara kontan. Sedangkan para tengkulak, juga Bapengko
sekalipun, bisa bermain luwes: memberikan uang panjar kepada
petani. Cara ini tentu lebih disukai para petani -- yan dengan
hambatan apapun, tetap berusaha agar bisa berhubungan dengan
tengkulak dan Bapengko.
Tindakan keras dari aparat daerah, untuk menyelamatkan proyek
perintis koperasi yang dikukuhkan liwat SK 3 Menteri -
Perdagangan, Dalam Negeri dan Transkop -- cukup ada. Pengawasan,
yang malah bersifat lebih memaksa, agar petani menjual kopranya
ke koperasi sudah dilakukan. Tak kurang hansip-hansip dikerahkan
untuk mencegat perjalanan kopra dari petani ke tengkulak dan
menggiringnya ke koperasi. Tapi tak banyak hasilnya. Malah
petani jadi tidak enak hati. "Kami sudah biasa menjual kopra
milik sendiri seperti menjual kopra curian saja", keluh seorang
petani di wilayah koperasi Parii.
Akhirnya orang koperasi yang sudah putus asa untuk ikut bermain
di pasar secara dagang, mengambil kesimpulan yang gampang. "Saya
melihat ada usaha yang hendak menyudutkan proyek perintis
koperasi, supaya gagal", kata Masranuddin, Kepala Kanwil
Koperasi Sulawesi Tengah kepada Husni latas dari TEMPO.
Peraturan tataniaga kopra, yang dianggapnya tidak menguntungkan
pihak koperasi, juga diutak-utik.
Ada ketentuan bahwa petani yang berproduksi di atas 5 ton,
dibenarkan menjual kopranya di luar koperasi -kepada tengkulak
atau Bapengko. Menurut catatan yang berhubungan dengan soal
pungutan dan pajak (seperti Ipeda, misalnya), banyak petani yang
berpenghasilan di bawah 5 ton. Maka menurut aturan, petani
perorangan itu harus menjual kopranya hanya kepada koperasi.
Tapi rupanya, lain catatan kepala-desa lain pula kenyataannya.
Untuk laporan yang menyangkut soal pungutan, para petani
--walaupun hasil kopranya di atas 5 ton -- selalu menyebutkan
angka yang lebih rendah. Bisa dimaklumi. "Kalau ngomong terus
terang, kita bisa dibabat pajak", ucap seorang petani. Maka
Masranuddin merasa lebih baik untuk mengusulkan: "Hapus saja
ketentuan mengenai 5 ton ke atas itu". Artinya: semua kopra di
wilayah proyek koperasi harus menjual barangnya kepada koperasi.
Kabarnya Menteri Transkop sudah akur, tinggal pelaksanaannya
saja.
Bupati Banggai, yang aktif dalam koperasi, kelihatannya tak
begitu ngotot untuk berperang dengan para tengkulak dan
Bapengko. Sebab ia cukup melihat keadaan. Katanya: "Kredit BRI
memang tak selancar yang diharapkan". Itulah sebabnya, "kami
hanya mampu menguasai sedikit dari produksi kopra yang ada",
kata bupati Singgih yang merangkap sebagai ketua koperasi.
Maksudnya: kebutuhan uang untuk operasi tak seimbang dengan stok
kopra di daerahnya. "Bagaimana kami bisa kerja dengan dana cuma
Rp 5 juta", katanya lagi. Yaitu, hanya untuk membeli sekitar 5
ton dari kopra di daerahnya yang berjumlah 600 ton.
Bagaimana BRI? Belajar dari pengalamannya dengan koperasi waktu
yang lalu, bank ini tak mudah dipersalahkan. Beberapa cara kerja
koperasi dulu, sebelum diproyek-perintiskan, dianggap oleh BRI
telah melakukan banyak penyimpangan. Misalnya, koperasi pernah
memberikan kredit produksi kepada petani. Sehingga ketika kas
ludes, tak sepotong koprapun dijumpai di gudang koperasi. Ketika
harga kopra hangat, ternyata kopra yang sudah dipersekoti
koperasi, malah jatuh ke tangan tengkulak dan Bapengko. Ini
membuat BRI terpaksa menempatkan orangnya untuk mengawasi itu
koperasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini