Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Program Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengatakan daya tawar petani sawit masih rendah. Petani tidak pernah mengatur harganya sendiri dan mendapat keuntungan paling kecil dalam rantai pasok industri sawit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Petani (sawit) kan memang low bargaining power dari dulu. Harga komoditas tidak pernah di set up oleh petani. Harga komoditas biasanya ditentukan oleh perusahaan eksportir dengan mengacu harga international," kata Esther saat dihubungi pada Kamis, 23 Juni 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Inilah yang membuat kesejahteraan petani sawit terus tergerus, bahkan saat harga tandan buan segar (TBS) anjlok. Para petani mengalami stres dan memotong pohon tanamannya sendiri.
Menurut Esther, pemerintah harus memberi pelatihan kepada petani sawit untuk mengolah hasil kebunnya sendiri. Langkah itu bertujuan agar petani mendapatkan nilai tambah dan tidak tergantung pada pabrik pengolahnya.
"Langkah agar bisa meningkatkan harga TBS adalah dengan hilirisasi industri. Artinya, petani diajari mengolah sawit menjadi produk final misalnya menjadi minyak sawit seperti salmira atau produk lainnya," kata Esther.
Komoditas yang diolah langsung petani, menurut dia, harganya akan meningkat dan lebih awet. "Di sinilah pentingnya teknologi pasca-panen sehingga petani tidak tergantung dengan industri atau perusahaan eksportir," ucapnya, mengimbuhkan.
Esther menjelaskan meski ada sertifikasi untuk para petani sawit, kebijakan tersebut tetap belum meningkatkan kesejahteraan petani. Padahal, harga internasional kelapa sawit ditentukan permintaan dan penawaran.
"Jika ada penurunan demand dari pasar global seperti India dan Cina yang mengurangi konsumsi sawit, ini bisa menurunkan harga sawit," ujarnya.
Esther menambahkan ada tiga konsekuensi dari harga TBS tidak kunjung membaik. Salah satunya membuat ketimpangan ekonomi semakin lebar.
"Petani tidak akan mau menanam sawit lagi, terjadi kelangkaan supply sawit akan meningkatkan harga sawit. Ini skenario paling buruk," katanya.
Risiko kedua, pendapatan petani sawit akan turun drastis. Sedangkan ketiga, kemiskinan semakin banyak.
Sebelumnya dalam sepekan, harga TBS kelapa sawit di sejumlah tempat anjlok. Harga TBS turun di bawah Rp 300 per kilogram sehingga membuat petani frustrasi dan memotong pohonnya sendiri.
Baca juga: Harga TBS Anjlok, Petani Sawit Banyak yang Depresi dan Tebang Pohon Milik Sendiri
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.