KALAU ada kontes "Direktur Jenderal Terlama", bisa dipastikan Oskar Surjaatmadja akan tampil sebagai juara. Putra kelahiran Majalengka (Jawa Barat) itu sempat menduduki kursi dirjen selama 14 tahun di Departemen Keuangan. Baru Jumat pekan lalu, dalam usia 62 tahun satu bulan, Oskar pensiun. Bahwa posisi Oskar tak tergoyahkan di bawah tiga orang Menteri Keuangan (Ali Wardhana, Radius Prawiro, dan J.B. Sumarlin), hal itu menunjukkan betapa dia begitu diperlukan di Departemen Keuangan. Sementara rekan-rekannya di Pajak, Bea Cukai, dan Anggaran sudah lebih dulu diganti. Karier awalnya Departeman Keuangan dimulai tahun 1952. Dari ajun komisaris, jenjang kariernya terus meningkat, diselang-seling masa belajar di Sekolah Tinggi Ilmu Keuangan Negara. Dari Universitas Illinois, Amerika Serikat, tahun 1963, ia mengantungi gelar MA bidang akuntansi. Pada zaman awal Orde Baru, karier Oskar menapak ke jenjang yang jauh lebih tinggi, yakni Inspektur Jenderal Pengawasan di Departemen Keuangan. Setahun kemudian, Oskar menjabat Direktur Perencanaan dan Analisa, sampai menjelang akhir Pelita II. Tahun 1978, Oskar naik ke eselon I sebagai Dirjen Moneter Dalam Negeri di bawah Menteri Keuangan Ali Wardhana. Jabatan ini diperluas oleh Menteri Keuangan Radius Prawiro tahun 1987, yakni sebagai Dirjen Moneter (penuh). Pada tahun-tahun terakhir, Oskar sempat banyak berperan dalam penyusunan RUU Perbankan, RUU Asuransi, dan RUU Dana pensiun. Ketika Bursa Efek Jakarta swasta hendak dilahirkan, Oskar pula yang ditunjuk sebagai konseptor. Tugas Oskar dalam menyusun petunjuk pelaksanaan berbagai paket deregulasi keuangan tentu saja menggunung. "Tapi saya kan tidak bekerja sendiri. Yang penting adalah integritas (maksudnya: bisa bekerja secara tim). Praktis saya sebenarnya hanya ongkang kaki," katanya merendah. Padahal, tiap hari ia biasanya bekerja dari pagi sampai malam. "Beban saya yang paling berat sebenarnya rasa takut terlambat dan takut membuat kesalahan. Misalnya ada surat dari departemen lain belum terjawab lalu menteri di sana bilang ke atasan saya," tutur pejabat tua itu. Ayah empat anak ini menjaga kondisi tubuhnya dengan olah raga golf sekali seminggu. Sesudah pensiun, Oskar masih ditunjuk sebagai komisaris di Bank Indonesia. Menurut Oskar, kerjanya paling berat adalah ketika menyusun petunjuk-petunjuk pelaksanaan Paket Deregulasi Oktober 1988. Sesudah Pakto tuntas disusun, Oskar merasa masih banyak tugasnya yang belum selesai. Agaknya karena beban Ditjen Moneter terlalu luas. Kini, kursi yang ditinggalkannya diisi oleh dua orang direktur jenderal. Singkatnya, jabatan yang ditinggalkan Oskar dipecah dua. Maklum, sekarang BUMN berjumlah 216 buah, dua kali lipat sejak di bawah Diren Oskar. Adapun di bidang lembaga keuangan, telah tumbuh begitu banyak bank baru, perusahaan asuransi baru, dan yayasan-yayasan dana pensiun. "Bila ditangani satu dirjen saja, rentang kendalinya sangat kurang," kata bekas Dirjen Moneter itu. Maka, Presiden Soeharto menghapus Ditjen Moneter, dan membentuk dua lembaga baru: Direktorat Jenderal Badan Usaha Milik Negara (Ditjen BUMN) dan Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan (Ditjen Lembaga Keuangan). Menurut Menteri Keuangan J.B. Sumarlin, pemecahan itu untuk mengimbangi perkembangan yang pesat di bidang keuangan. Sementara itu, pembinaan BUMN pun dirasakan membutuhkan seorang direktur jenderal. Fungsi pembinaan, khususnya untuk BUMN sebagai unit usaha, dianggap belum berjalan baik. Kendati Presiden sudah sejak 1983 mencanangkan perlunya efisiensi BUMN, sampai sekarang masih banyak yang belum efisien. Untuk menjabat Dirjen Pembinaan BUMN, tampaknya tak ada calon lebih tepat daripada Martiono Hadianto. "Saya termasuk orang yang beruntung karena sempat sepuluh tahun dibimbing Pak Oskar," ujar Martiono merendah. Insinyur teknik kimia yang juga bergelar MBA dari Oregon (Amerika) ini mulai berkarier di Departemen Keuangan sejak 1976. Setahun kemudian Martiono diberi tugas membenahi manajemen Keuangan BUMN Garuda, lalu ditunjuk sebagai Direktur Pembinaan BUMN, menggantikan Mar'ie Muhammad (kini Dirjen Pajak). Tahun 1990, Martiono dipinjam Menteri Negara Riset dan Teknologi B.J. Habibie untuk menjabat Deputi Bidang Keuangan dan Ekonomi dari Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS), yakni lembaga yang membina belasan industri raksasa milik Pemerintah. "Satu hal yang pasti dengan adanya Dirjen Pengembangan BUMN, Pemerintah menginginkan adanya status tertentu dari BUMN. Meski persaingan dengan swasta akan tajam dan terbuka, BUMN akan dipertahankan sebagai satu pilar ekonomi," kata Martiono. Adapun Dirjen Lembaga Keuangan ternyata juga bukan muka baru. Bambang Subianto, 47 tahun, yang selama ini menjabat Direktur Lembaga Keuangan dan Akuntansi Negara, dipromosikan sebagai dirjen. Pejabat yang murah senyum dan kocak ini adalah insinyur lulusan ITB tahun 1973, dan pakar manajemen keuangan dan ekonomi bisnis lulusan Catholic University dari Leuven (1981). Di tempat yang sama (1984) Bambang juga meraih gelar doktor bidang organisasi industri. Dalam jabatannya yang baru, Bambang akan membawahkan enam direktorat (perbankan dan usaha jasa pembiayaan, asuransi, dana pensiun, pengelolaan penerusan pinjaman, penerimaan minyak dan bukan pajak, serta pembinaan akuntan dan jasa penilai). Tak salah lagi, ruang lingkupnya luas nian. Tentang ini, Bambang cuma senyum, tanpa komentar. Max Wangkar, Iwan Qodar Himawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini