Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pernyataan Utusan Khusus untuk Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo, yang menyebut program Just Energy Transition Partnership (JETP) sebagai program gagal memicu perdebatan. Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menilai anggapan tersebut keliru. Berhasil atau gagalnya JETP bergantung pada komitmen politik pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Eksekutif ICEL, Raynaldo Sembiring, menekankan keberhasilan JETP bergantung pada keputusan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta persetujuan tertulis dari Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN. “Jika Menteri Keuangan dan Menteri BUMN segera mengeluarkan persetujuan percepatan pensiun dini PLTU, hal ini bisa menjadi sinyal kuat bagi negara-negara pendana JETP bahwa Indonesia serius dalam transisi energi,” ujarnya dalam keterangan resmi dikutip Selasa, 11 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ICEL mencatat, meski sudah berjalan dua tahun, JETP tidak sepenuhnya gagal. Beberapa skema pendanaan telah masuk, termasuk hibah. Namun, upaya percepatan transisi energi masih menghadapi hambatan, terutama dalam penghentian operasional pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). “Selama ini, publik masih meraba political will pemerintah. Walaupun ada rencana pensiun dini PLTU Cirebon 1 dan PLTU Pelabuhan Ratu, belum ada kebijakan konkret yang menindaklanjutinya,” kata Kepala Divisi Keadilan Iklim dan Dekarbonisasi ICEL, Syaharani.
Sebaliknya, ia menyoroti Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) justru masih mengandalkan batu bara melalui skema co-firing dan penggunaan amonia. ICEL juga menegaskan pemensiunan dini PLTU tidak serta-merta merugikan negara dan tidak bisa langsung dikaitkan dengan tindak pidana korupsi. Raynaldo meminta Kejaksaan Agung mengawal proses ini agar berjalan sesuai regulasi dan prinsip tata kelola yang baik.
ICEL merekomendasikan tiga langkah utama. Pertama, Menteri Keuangan dan Menteri BUMN harus segera mengeluarkan persetujuan tertulis sebagai dasar bagi Menteri ESDM untuk menetapkan kebijakan pensiun dini PLTU. Kedua, Menteri ESDM perlu menetapkan peta jalan penghentian operasional PLTU sesuai mandat Perpres No. 112 Tahun 2022. Ketiga, Kejaksaan Agung harus mengawal proses hukum agar pensiun dini PLTU tidak menimbulkan risiko pidana.