Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ijon di lampu ijon di jalan

Pembangunan beberapa pusat pembangkit tenaga listrik akan menganut sistem ijon alias bot (bangun, operasi, transfer). bot untuk energi tersebut berbeda dengan proyek pertamina atau pembuatan jalan tol.

16 Mei 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMBANGUNAN dengan sistem ijon seperti dilakukan pada pembangunan kilang-kilang gas alam cair, dan kemudlan pembangunan jalan tol Tangerang-Merak, bakal berlaku pula di sektor energi. Usul Menteri Riset dan Teknologi B.J. Habibie untuk membiayai pembangunan beberapa pusat pembangkit tenaga listrik dengan sistem ijon itu akan dimulai tada 1989. Tercatat enam perusahaan yang memenuhi undangan Habibie untuk menjadi "pengijon", yakni Mitsubishi Heavy Industry aepang), Kraft West Union (Jerman Barat), Westinghouse (AS), ICL (Kanada), Ansaldo (Italia), dan Framatome (Prancis). "Pembicaraan menyangkut segala alternatif sumber energi, bukan hanya stasiun energi nuklir," kata Habibie kepada TEMPO, pekan lalu. Menurut Habibie, pembangunan sumber-sumber energi, yang dibutuhkan pada masa industrialisasi Indonesia pada tahun 2000 nanti, harus dibangun sejak sekarang. Tapi, saat ini, keuangan pemerintah tak memungkinkan untuk membiayai proyek-proyek raksasa yang membutuhkan waktu pembangunan empat sampai tujuh tahun itu. Beban utang luar negeri sudah cukup berat, sehingga pemerintah selektif sekali mencari pinjaman untuk proyek baru. "Agar industrialisasi menyala pada waktunya, tentu kita tidak bisa mengisap jari saja," ujar Menristek. Salah satu pilihannya: ijon - yang, menurut istilah Habibie, BOT (bangun, operasi, dan transfer) oleh perusahaan asing. BOT untuk proyek-proyek energi berbeda dengan sistem yang diterapkan Pertamina pada pembangunan kilang-kilang gas alam cair di Arun dan Bontang. Biaya pembangunan kedua kilang Pertamina senilai US$ 880 juta itu (kontraknya sudah diteken, Februari lalu) ditanggung sepenuhnya oleh perusahaan asing tersebut, yang dianggap sebagai utang berbunga Pertamina. Pertamina sebagai pemilik proyek akan membayar utang itu dengan hasil produksi kilang Arun dan Bontang. Scdangkan pembiayaan model BOT tidak dianggap sebagai utang, karena kontrator diberi hak pengelolaan proyek selama beberapa tahun. "Bila memilih proyek stasiun energi nuklir, konsesinya sekitar 15 tahun. Bila memilih stasiun energi batu bara, konsesinya sekitar 10 tahun," kata Habibie. Pada model BOT, semua biaya ditanggung kontraktor, mulai dari prastudi kelayakan, kemudian pembangunan dan pengelolaan proyek, sampai jatuh tempo penyerahan kepada pemerintah. Beda BOT energi dengan pembiayaan pembangunan 17 jalan tol - antara lain jalan Tangerang-Merak senilai US$ 240 juta -yang ditawarkan PT Jasa Marga, sejak tahun silam, terletak pada masa konsesi. Masa konsesi proyek energi sudah ditetapkan jangkanya, sedangkan untuk jalan tol akan dipilih kontraktor yang berani menawarkan masa paling singkat. Selain itu, pemegang konsesi jalan tol diharuskan bekerja sama dengan PT Jasa Marga sebagai pengelola jalan di Indonesia, sementara pada proyek energi, Batan (Badan Tenaga Atom Nasional) dan BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) hanya bertindak sebagai pengawas kontraktor. Perbedaan lain adalah soal harga produksi. Pada jalan tol, tarif ditentukan Presiden dalam rupiah, yang dianggap sebagai risiko herat olch kontraktor asing, yang membawa modal valuta asing. Hambatan itu tidak ada dalam proyek energi, karena tarif penjualan listrik kepada PLN ditentukan dalam dolar. Sebab itu, proyek-proyek energi cukup mcnarik kontraktor asing. Perangsang lain, pada saat transfer proyek, menurut Habibie, ada biaya pengantian sekadarnya. "Dengan demikian, kita dapat energi untuk pembangunan, tidak pusing dengan pembiayaan, tidak membebani utang pemerintah. Aman," kata Habibie. Apakah pada saat transfer proyek dijamin belum keropos? "Kita bukan insinyur bodoh. Kita tahu umur PLTN, minimal 30 tahun, dan bisa sampai 40 tahun pada kondisi tertentu. PLTU umurnya 20 sampai 30 tahun," jawab Habibie. Ia menambahkan kontraktor yang diundang bukan perusahaan yang baru berpengalaman membangun satu proyek. "Mereka sudah berpengalaman membangun puluhan PLTN," tambahnya. Pertanyaan, apakah energi nuklir, yang di negara industri "sangat murah", akan murah pula di sini. Sebab, listrik nuklir yang ditawarkan Kraft West Union dan Framatome 10 sen dolar (sekitar Rp 165) per kwh jelas di atas harga listrik PLN-sekarang ini, yang rata-rata Rp 95,3 per kwh. Indonesia, menurut Habibie, menghendaki harga hanya 4 sen hingga 5 sen dolar (Rp 66 - Rp 82,5) per kwh. Harga itu diperkirakan belum menguntungkan PLN, yang harus mengeluarkan biaya pemasangan jaringan ke konsumen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus