Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mulanya adalah sebuah jamuan di Istana. Kamis, 12 Maret lalu, Presiden Joko Widodo mengundang sejumlah pengusaha kelapa sawit dan mengajak mereka bersantap malam dengan hidangan masakan ala Padang. "Acaranya santai. Kami makan secara prasmanan, tapi tema obrolannya serius," Managing Director Sinar Mas Group Gandi Sulistiyanto menceritakan peristiwa itu melalui telepon, Rabu pekan lalu.
Gandi malam itu mendampingi bos besarnya, Franky Widjaja. Menurut dia, tema pembicaraan yang diangkat Presiden berkisar pada situasi ekonomi yang diwarnai oleh pelemahan mata uang rupiah, yang dinilai mulai merisaukan. Para juragan sawit diundang khusus karena mereka merupakan penghasil devisa ekspor nonminyak dan gas bumi paling besar. Jika semua dana hasil ekspor itu bisa dibawa pulang, diharapkan cadangan devisa akan makin kuat dan rupiah bisa terhindar dari kemungkinan lebih buruk.
Sayangnya, nasib minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) di pasar dunia tak lebih baik. Harga komoditas ini masih terus bergerak turun sejak tahun lalu. Diskusi malam itu kemudian berkembang, bukan hanya tentang penyelamatan rupiah, tapi juga perbaikan situasi yang dihadapi industri sawit. Solusi yang ditawarkan para pengusaha adalah mengurangi pasokan CPO di pasar dunia. Caranya dengan lebih banyak membakarnya di dalam negeri.
Sepakat dengan gagasan itu, Presiden Jokowi lalu meminta Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil mematangkan rencana untuk menaikkan level pencampuran biodiesel, dari sebelumnya yang diwajibkan (mandatory) 10 persen menjadi 15 persen. Artinya, setiap liter biodiesel harus berisi campuran solar 85 persen dan 15 persen minyak berbahan baku CPO. Keuntungan dari skema ini diharapkan berganda: devisa untuk impor solar bisa dihemat, harga CPO di pasar dunia pun terkerek naik.
Proses selanjutnya bergulir cepat. Esoknya, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro kembali mengundang para pengusaha itu makan malam di rumahnya sambil mendiskusikan rancangan. Selang dua hari kemudian, Menteri Sofyan Djalil mengumumkan mandatory pencampuran biodiesel 15 persen masuk enam paket kebijakan ekonomi pemerintah.
Tapi ada masalah di sini. Harga biofuel, yang perhitungan rata-ratanya adalah harga CPO ditambah US$ 125 biaya pengolahan per ton, ternyata masih lebih mahal dibanding harga solar bersubsidi. Selisihnya mencapai Rp 675 per liter. Dengan konsumsi solar setahun mencapai 17 juta kiloliter, akan ada pembengkakan dana Rp 11,47 triliun jika program ini dipaksakan. Repotnya lagi, dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2015 yang sudah diketuk, pemerintah tak punya ruang manuver untuk menggelontorkan subsidi.
Itu sebabnya Sofyan Djalil kembali mengundang para bohir sawit tersebut ke kantornya pada 20 Maret lalu. Kata sepakat dicapai. Malam itu juga Sofyan menyatakan subsidi akan diambil dari dana patungan eksportir CPO.
Wacana yang digulirkan adalah dengan memungut US$ 50 per ton ekspor CPO dan US$ 30 per ton produk olahan CPO. Pungutan itu, kata Sofyan, hanya akan ditarik saat harga CPO di bawah ambang batas pengenaan bea keluar, yakni US$ 750 per ton. Jika harga naik di atas level itu, CPO fund akan diambil dari bea keluar yang dibayarkan eksportir. "Nanti ada formulanya. Semakin tinggi (harga), semakin mahal (pungutannya). Dengan demikian, APBN tidak perlu subsidi biofuel," ujarnya.
Awal pekan berikutnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said menegaskan mandatory pemanfaatan biodiesel 15 persen (B15) melalui Peraturan Menteri Energi Nomor 12 Tahun 2015. Pemerintah menghitung, dengan kewajiban baru ini, produksi biodiesel dalam negeri akan terserap sebesar 5,3 juta kiloliter (setara dengan 4,8 juta tonCPO). Itu juga berarti akan ada penghematan devisa untuk impor solar sebesar US$ 2,54 miliar.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Master Parulian Tumanggor menyatakan rangkaian kebijakan ini menguntungkan semua pihak. "Sebaliknya, kalau tidak jalan, seluruh industri sawit bisa hancur," ucapnya Selasa pekan lalu.
Dalam kalkulasi Tumanggor, setiap penyerapan 1 juta ton CPO di dalam negeri akan menaikkan harga komoditas itu di pasar dunia sebesar US$ 98 per ton. Mandatory biofuel 15 persen berarti membakar 4-5 juta ton CPO tiap tahun untuk campuran solar. Maka harga CPO dunia yang kini ada di kisaran US$ 660 per ton akan terdongkrak hingga menjadi lebih dari US$ 1.000. "Pemerintah, yang sudah lima bulan 'puasa', pun bisa kembali mendapat bea keluar."
Tumanggor menambahkan, bila pemerintah serius dengan langkah ini, sebaiknya mekanisme penalti disiapkan bagi perusahaan yang nakal alias tak mau bayar. Sebab, kata dia, penerapan mandatory biodiesel 10 persen yang berlaku selama ini saja belum berjalan seperti harapan. Ia mencontohkan, semua importir solar harus punya kontrak dengan pemasok biodiesel sebelum merealisasi impornya. "Kalau tidak, kenakan saja penalti, misalnya US$ 200 per ton."
Namun tak semua bos sawit gembira terhadap aturan baru ini. Para eksportir CPO yang bukan produsen biodiesel dan tergabung dalam Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) sempat menolaknya. Mereka menganggap bukan keuntungan, melainkan beban berganda yang akan mereka tanggung. Sudah harga rendah, masih harus membayar iuran pula. "Ya, berat," ujar Direktur Eksekutif Gapki Fadhil Hasan.
Potensi konflik inilah yang dicoba ditengahi Dewan Minyak Sawit Indonesia melalui pertemuan pada Jumat dua pekan lalu. Dewan yang dipimpin Derom Bangun ini mengumpulkan semua asosiasi terkait dengan sawit di kantornya di Thamrin City, Jakarta. Hadir di sana perwakilan Gapki, Aprobi, dan perwakilan beberapa asosiasi lain.
Akhirnya semua setuju resep B15 dan CPO fund dianggap ampuh mendongkrak harga. Hanya, besaran dan formulasinya masih harus dirundingkan. Fadhil menawar agar pungutan lebih rendah dari US$ 50 per ton. "Selain itu, siapa pengelolanya harus dipikirkan."
Sampai kini pemerintah belum mengeluarkan kebijakan fiskal untuk pengelolaan CPO fund. "Saya lebih sepakat dikelola sendiri oleh industri. Nanti pemerintah boleh mengaudit. Sebab, kalau masuk siklus APBN, nanti repot ke DPR segala macam," ucap Menteri Energi Sudirman Said, Rabu pekan lalu.
Walhasil, masih banyak yang harus disiapkan dan masih ada peluang tak saling sepakat. Dan bila jalan kembali buntu, kata Fadhil, para pengusaha sawit akan kembali menghadap Presiden Jokowi. "Kalau CPO fund tak segera difasilitasi, kami akan meminta pemerintah menyediakan subsidi biodiesel."
Pingit Aria
Fakta Sawit Indonesia
Tahun 2014, luasarea kebun kelapasawitmencapai 10,9 juta hektare. Sebanyak 43 persen berupa perkebunan rakyat, 42 persen milik swasta, dan 15 persen milik badan usaha bilik negara.
Produksi 30 juta ton per tahun --> 5 juta ton untuk biofuel, 5 juta ton buat nonbiofuel di dalam negeri, dan 20 juta ton nonbiofuel untuk ekspor.
Nilai (US$ Miliar) | |||||||
NILAI URAIAN | 2010 | 2011 | 2012 | 2013 | 2014 | Januari 2014 | Januari 2014 |
Ekspor nonmigas | 129,7 | 162,0 | 153,0 | 149,9 | 146,0 | 12,0 | 11,3 |
Total ekspor CPO dan turunannya | 11,6 | 15,0 | 21,4 | 19,4 | 21,4 | 1,5 | 1,5 |
CPO | 7,6 | 8,8 | 6,7 | 5,0 | 4,2 | 0,3 | 0,3 |
CPKO | 1,5 | 1,6 | 0,7 | 0,4 | 0,4 | 0,0 | 0,1 |
Biodiesel | 0,5 | 1,4 | 1,4 | 1,4 | 1,1 | 0,1 | 0,0 |
Turunan CPO dan CPKO selain biodiesel | 3,2 | 3,2 | 12,7 | 12,6 | 15,6 | 1,1 | 1,1 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo