Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya penurunan impor bahan baku atau penolong sebesar 2,50 persen secara bulanan pada Juli lalu. Secara tahunan, penurunan terjadi lebih dalam, yaitu sebesar 34,46 persen, dibanding periode sama pada 2019. Beberapa produk impor yang mengalami penurunan antara lain kelompok serealia sebesar US$ 77 juta; susu, mentega, telur sebesar US$ 91 juta; sayuran US$ 102,1 juta; serta gula dan kembang gula sebesar US$ 120,7 juta.
"Saya melihat sebetulnya produksi meningkat. Kemungkinan penurunan impor terjadi karena ada sisa stok pada April-Mei lalu karena penjualan yang rendah," ujar Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Adhi Lukman kepada Tempo, akhir pekan lalu.
Adhi menjelaskan, sebagian besar produsen biasanya sudah menyiapkan pasokan untuk menghadapi lonjakan permintaan dalam menghadapi periode Ramadan-Lebaran. Namun yang terjadi justru anomali karena tidak ada kenaikan permintaan pada periode tersebut. Meski begitu, Adhi mengatakan produksi industri makanan dan minuman mulai membaik pada Juni bersamaan dengan pelonggaran pembatasan sosial berskala besar.
Kemudian, Adhi mengatakan, ekspor industri makanan dan minuman juga tumbuh tipis selama periode Januari-Juni dibanding tahun lalu. Dia mencatat ekspor pangan olahan sebesar US$ 3,4 miliar pada periode Januari-Juni 2019. Angka ini naik tipis menjadi US$ 3,6 miliar pada periode sama. "Saya memperkirakan impor bahan baku akan meningkat lagi bulan ini (Agustus) untuk pasar domestik dan ekspor," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia Benny Soetrisno juga mengatakan penurunan importasi bahan baku terjadi karena pasokan yang diimpor pada triwulan I belum habis. Benny berujar, hal ini terjadi karena aktivitas pada triwulan II banyak menurun karena PSBB.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain itu, ada beberapa bahan baku yang sudah dikenakan tindakan pengaman atau (safeguard) untuk melindungi bahan baku produksi dalam negeri. "Tidak ada penurunan industri, justru ada kenaikan utilisasi kapasitas terpasang walaupun belum sampai kembali fully utilization," tutur Benny.
Menurut Benny, kenaikan kapasitas produksi ini terlihat dari importasi barang modal yang naik. BPS mencatat impor barang modal pada Juli lalu sebesar 10,82 dibanding Juni. Kenaikan impor barang modal juga terjadi pada Juni sebesar 27,35 persen secara bulanan dan naik 2,63 persen secara tahunan. Bahkan neraca perdagangan pada Juli lalu tercatat surplus US$ 3,2 miliar.
"Kenaikan neraca perdagangan terjadi juga karena kebijakan kebijakan penghiliran produk serta rendahnya importasi minyak dan gas karena PSBB masih berlaku," kata Benny.
Ketua Komite Tetap Pengembangan Ekspor Kamar Dagang dan Industri Handito Joewono mengatakan penurunan impor bahan baku tidak perlu dikhawatirkan. Menurut dia, salah satu penyebab turunnya impor bahan baku adalah harga pasokan dalam negeri turun karena kompetisi meningkat. Dengan demikian, kata dia, kebutuhan impor bahan baku berkurang.
"Jadi, kalau impor bahan baku atau penolong mengalami penurunan, kami jangan terburu-buru khawatir. Selain itu, permintaan global dan domestik yang turun membuat kebutuhan impor bahan baku turun," ujar Handito.
Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Abdul Rochim mengatakan terjadi penurunan impor bahan baku, salah satunya biji gandum. Hal itu disebabkan konsumsi terigu turun sebesar 1,8 persen, terutama pada permintaan industri kecil dan menengah pangan yang menggunakan bahan baku terigu. Selain itu, penurunan impor dipengaruhi oleh penurunan konsumsi untuk produk makanan dan minuman.
"Secara kumulatif, konsumsi makanan dan minuman selain restoran pada triwulan II 2019 tumbuh mencapai 5,26 persen, namun melambat menjadi 2,13 persen pada triwulan II 2020," ujar Rochim.
Sebelumnya, Kepala BPS Suhariyanto mengatakan penurunan impor bahan baku penolong adalah gula mentah dari Brasil, biji gandum dari Kanada, tepung kedelai dari Brasil, dan susu dari Amerika Serikat. Secara akumulatif, Suhariyanto mengatakan impor bahan baku penolong sepanjang Januari-Juli turun 17,99 persen dibanding tahun lalu. Hal serupa terjadi pada impor barang modal dengan penurunan 18,98 persen.
"Ini perlu mendapat perhatian karena impor bahan baku ini akan berpengaruh pada pergerakan industri manufaktur. Sementara itu, penurunan barang modal bisa berdampak pada PMTB (pembentukan modal tetap bruto)," ujar Suhariyanto.
LARISSA HUDA
22
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo