FDA, badan pengawas makanan dan obat-obatan di AS, kabarnya
makin sering menolak bahan yang datang dari Indonesia. Tahun
lalu, antara Januari dan Juli misalnya, tak kurang dari 9 macam
komoditi silih berganti ditolaknya: kopi, pala, udang, paha
kodok, merica, cengkeh, fuli, cabe merah kering dan pulp (bahan
untuk kertas). Alasan FDA karena komoditi yang masuk dari
Indonesia itu ada yang mengandung kuman, busuk, rusak labelnya
atau mengandung kotoran binatang.
Menurut direktur Kusumoredjo, yang mengepalai standarisasi,
normalisasi dan pengendalian mutu pada Deperdagkop, itu bisa
terjadi karena "belum adanya standarisasi dan pengawasan mutu."
Dari 9 macam komoditi ekspor baru kopi yang sudah berhasil
ditetapkan standarnya. Tapi itupun baru akan berlaku awal tahun
depan.
Selain kopi, adalah minyak atsiri yang sejak 1976 sudah
ditetapkan standarnya. Mengapa sampai minyak atsiri yang umumnya
diekspor ke Pantai Timur AS dan Eropa Barat sudah jalan lebih
dulu, ini tak terlepas dari skandal yang timbul tempo hari.
Setelah peristiwa ekspor minyak atsiri dari Indonesia yang
dicampur air, maka pihak Departemen Perdagangan buru-buru
mengambil langkah.
Penentuan standar itu penting sekali rupanya. Karena dengan
begitu, para importir di luar negeri tak lagi dengan seenaknya
bisa mengajukan tuntutan. Dalam kelompok atsiri, yang sudah bisa
ditentukan mutu dan standarnya ada 8 macam: minyak sereh, minyak
nilam, minyak kenanga, minyak akar wangi, minyak kayu putih,
minyak daun cengkeh, minyak pala dan minyak cendana.
Alhasil, para eksportir minyak atsiri merasa senang sekarang.
Dirut PT Saloka Kusuma Utama, Rosita Noer, menyatakan "eksportir
minyak atsiri Indonesia kini sudah baik kembali." Direktur
Kusumoredjo menerangkan "sejak 1976 ekspor minyak atsiri kita
tidak lagi ditolak oleh FDA."
Tapi suara yang lain diperdengarkan direktur BPK, Prof. Dr. H.
Dardjo. Dalam Seminar Atsiri III di Bogor pekan lalu, Prof.
Dardjo beranggapan "pemalsuan kini bukan tambah reda." Dia
mencatat beberapa pemalsuan yang bukan lagi mencampur minyak
atsiri dengan minyak kelapa. Tapi juga "dengan minyak tanah,"
katanya. Prof. Dardjo juga mengemukakan sebuah kasus baru, yakni
mencampur minyak sereh dengan terpentin.
Tapi bagaimana pemalsuan itu bisa lolos dari laboratorium?
Sutedjo Wirjosubroto, dir-ut PT Sucofindo mengakui pemalsuan
dengan mencampur terpentin itu belum bisa dideteksi oleh
laboratoriumnya. Padahal, dari laboratorium yang ditunjuk di
Indonesia, Sucofindo adalah yang termahal. Kepada TEMPO, dir-ut
Sutedjo menyatakan bahan campuran terpentin itu baru bisa
dilihat kalau laboratorium di Indonesia dilengkapi dengan alat
Gas Chromatography.
Alat deteksi yang menurut Sutedjo berharga Rp 20 juta itu,
kalaupun sampai dibeli dalam praktek akan tambah menyulitkan
eksportir saja. "Bisa tak ada yang mengekspor nanti," katanya.
Dengan kata lain, persyaratan standar dan mutu ekspornya akan
lebih berat lagi. Sedang cara bekerja para eksportir produsen
minyak atsiri di Indonesia, seperti kata Sutedjo, masih
tergolong sederhana.
Apapun alasannya, kalau praktek pemalsuan yang makin lihay itu
terus dibiarkan, itu akan merusak reputasi para eksportir jua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini