Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Importir Garam Sebut Praktik Kartel Difasilitasi Pemerintah

Salah satu perusahaan importir garam industri menyatakan tidak ada sama sekali praktik kartel olehnya bersama enam importir lainnya.

30 Juli 2019 | 08.33 WIB

Petani Garam di Desa Eretan Kulon, Kecamatan Kandang Haur, Pantura, Jawa Barat, Senin (22/8). Harga garam dipasaran mengalami penurunan dari Rp 700 per kilogram menjadi Rp 500 per kilogram. Penurunan harga dikarenakan impor garam dari India dan Australia. TEMPO/Subekti
Perbesar
Petani Garam di Desa Eretan Kulon, Kecamatan Kandang Haur, Pantura, Jawa Barat, Senin (22/8). Harga garam dipasaran mengalami penurunan dari Rp 700 per kilogram menjadi Rp 500 per kilogram. Penurunan harga dikarenakan impor garam dari India dan Australia. TEMPO/Subekti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Kuasa hukum PT Susanti Megah, salah satu perusahaan importir garam industri, Sutrisno, menyatakan tidak ada sama sekali praktik kartel yang dilakukan oleh kliennya bersama enam importir lain. Menurut dia, pemerintah yang memberikan kuota impor kepada para importir untuk memenuhi kebutuhan industri aneka pangan dalam negeri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

“Ini adalah pabrik kartel yang difasilitasi pemerintah, jadi tidak bisa dituntut,” kata Sutrisno saat ditemui usai mengikuti sidang putusan di Gedung Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Jakarta Pusat, Senin malam, 29 Juli 2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam sidang putusan ini, KPPU akhirnya memutuskan ketujuh importir garam yang menjadi pihak terlapor, tidak terbukti melakukan praktik kartel garam sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Adapun tujuh importir garam yang jadi terlapor dalam perkara itu , PT Garindro Sejahtera Abadi (terlapor 1); PT Susanti Megah (terlapor 2); PT Niaga Garam Cemerlang (terlapor 3); PT Unichem Candi Indonesia (terlapor 4); PT Cheetham Garam Indonesia (terlapor 5); PT Budiono Madura Bangun Persada (terlapor 6); dan PT Sumatraco Langgeng Makmur (terlapor 7).

Lebih lanjut, Sutrisno menjelaskan penentuan besaran kuota impor garam pada 2015 sebenarnya dilakukan bersama-sama dengan pemerintah. Penentuan kuota dilakukan dalam rapat koordinasi terbatas yang dilakukan di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan dihadiri oleh semua industri garam.

 “Saat persidangan, kami juga sampaikan secara tertulis bahwa masing-masing terlapor mengajukan permohonan impor garam, sendiri-sendiri,” kata dia. Saat permohonan izin, setiap importir pun telah memiliki pangsa pasar mereka masing-masing.

Hal ini dibuktikan dengan adanya kewajiban bagi importir untuk melampirkan Purchase Order (PO), semacam bukti pemesanan dari perusahaan yang membutuhkan garam. “Misalnya dari Ajinomoto, Indofood, dan lain-lain,” ujarnya.

Dengan demikian, kata Sutrisno, pemerintah tidak memberikan kuota impor garam semaunya saja. Akan tetapi, sesuai dengan kebutuhan dari industri aneka pangan. Itu sebabnya, Sutrisno memastikan tidak ada satupun garam impor yang rembes ke pasaran. Selama ini, rembesan garam ini memang ditengarai menjadi salah satu penyebab anjloknya harga garam konsumsi di pasaran.

Fajar Pebrianto

Meliput isu-isu hukum, korupsi, dan kriminal. Lulus dari Universitas Bakrie pada 2017. Sambil memimpin majalah kampus "Basmala", bergabung dengan Tempo sebagai wartawan magang pada 2015. Mengikuti Indo-Pacific Business Journalism and Training Forum 2019 di Thailand.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus