Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KELUHAN itu ia tumpahkan ke Susilo Bambang Yudhoyono di kantor Presiden, Rabu siang dua pekan lalu. Kepada Presiden, Erwin Aksa mengadu betapa masih banyak bank yang bandel tak mau menurunkan suku bunga pinjaman. Menurut Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia itu, dunia usaha sedang terengah-engah kesulitan likuiditas. Suku bunga yang tinggi makin menekan upaya untuk memperoleh dana murah.
Yudhoyono pun berjanji akan memanggil para petinggi perbankan. Meski sudah tiga bulan ini Bank Indonesia sudah menurunkan suku bunga acuan (BI Rate), suku bunga perbankan masih sangat tinggi. Pemerintah memang punya kepentingan agar dunia perbankan segera menurunkan suku bunga untuk menyokong program stimulus ekonomi. ”Para bankir akan diberi arahan untuk mendukung dunia usaha,” kata Erwin.
Krisis keuangan global yang dipicu kredit perumahan bermasalah kelas kambing (subprime mortgage) di Amerika telah menggoyang sendi ekonomi dalam negeri. Tak hanya lini keuangan yang terpukul, sektor riil juga telah terimbas. Di luar banyak perkiraan, krisis datang lebih cepat. Laporan tentang mengecilnya tingkat penjualan datang dari mana-mana, seperti industri kerajinan, tekstil, dan agroindustri. Akibatnya, banyak perusahaan memangkas pekerja, bahkan ada yang gulung tikar.
Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Tekstil Indonesia Ernovian G. Ismy, agar dapat bangkit, perusahaan-perusahaan itu terlebih dahulu harus bertahan hidup. Untuk itu, industri butuh suntikan dana segar supaya roda perusahaan tetap bergerak. Sayang, perbankan enggan mendekat ke sektor padat karya seperti tekstil dan produk tekstil. Alasannya, industri ini berisiko tinggi. Indikasinya antara lain sejumlah perusahaan bangkrut, pemiliknya ngemplang, dan pasarnya menyusut. ”Yang bermasalah satu-dua perusahaan, tetapi semua dianggap sama,” kata Ernovian.
Ia tidak menampik ada beberapa bank yang berbaik hati menyalurkan pinjaman. Namun itu pun dengan bunga yang menjulang. Padahal, bila berbicara tentang daya saing, utang menyumbang beban besar dalam ongkos produksi. Maka, ia menyayangkan langkah bank yang tak segera menurunkan bunga kredit mengikuti penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia. Suku bunga ini sudah beberapa kali dipangkas, terakhir ada di posisi 8,25 persen.
Harijanto juga merasakan betapa bunga tinggi ini menyusahkan. Ketua Dewan Pembina Asosiasi Persepatuan Indonesia itu mengatakan, sejak dua tahun lalu industri alas kaki tertekan melemahnya permintaan. Pendapatan perusahaan makin tipis. Nah, bunga kredit tinggi yang masih bercokol di level 14-16 persen makin membebani kas perusahaan. ”Mengapa bedanya sangat jauh dengan BI Rate?” kata Harijanto.
Dia berharap perbankan jangan mau aman sendiri dengan menyimpan uang di brankas, disimpan di Sertifikat Bank Indonesia, atau menyalurkan ke sektor yang dianggap memberikan keuntungan besar. Dalam keadaan krisis seperti ini, semestinya setiap lini dapat saling menolong. Kekhawatiran perbankan dengan kredit bermasalah dapat diredam melalui seleksi ketat berdasarkan prinsip kehati-hatian.
Sektor kecil dan mikro tak kalah tergencet dengan tingkah bank. Budi Hartono, misalnya. Warga Pondok Kacang, Tangerang, Banten itu dalam sebulan ini ke sana-kemari mencari pinjaman sekitar Rp 20 juta. Ia ingin mengembangkan usaha rental komputer dan game-nya. Membawa setumpuk dokumen usaha, beberapa bank didatangi. Namun ia mundur tatkala tahu rate-nya masih di atas 15 persen. Apalagi tawaran pinjaman tanpa agunan yang sering berseliweran ia tampik mentah-mentah. Bunganya lebih gila, di atas 20 persen.
Bunga tinggi bermula pada akhir kuartal ketiga tahun lalu. Kenaikan bahan bakar minyak memompa inflasi. Krisis yang mulai berembus turut andil menekan nilai uang. Untuk menahannya, Bank Indonesia yang sudah beberapa kali menaikkan suku bunga acuan makin agresif dengan menaruh di angka tinggi, hingga 9,5 persen pada awal Oktober. Ini langkah kontroversial di tengah kecenderungan dunia memangkas suku bunga.
Direktur Kebijakan Moneter Bank Indonesia Made Sukada mengatakan, sebagai pemegang otoritas moneter, BI melihat bunga merupakan faktor efektif untuk meredam inflasi. ”Mandat BI untuk menjaga stabilitas makro, dalam hal ini inflasi,” katanya. Maka beramai-ramailah perbankan menguntit dengan menaikkan bunga kredit.
”Rezim” bunga tinggi berakhir Desember lalu. Tatkala harga komoditas dunia jatuh, harga barang-barang dalam negeri mengekor, inflasi pun menyusut. Secara bertahap Bank Indonesia menurunkan bunga acuannya. Nah, yang membuat banyak pihak sebal, perbankan dinilai tidak segera mengambil langkah cepat untuk menyesuaikan diri.
Didorong segera menurunkan bunga, bank ramai-ramai menyatakan tak semudah itu menurunkan suku bunga. Direktur Korporasi PT Bank Negara Indonesia Krishna Suparto beralasan, tidak semua dana perusahaan memakai BI Rate. Sumbernya bisa dari deposito, giro, tabungan, atau pinjaman antarbank. Tiap produk memiliki jatuh tempo berbeda-beda. Karena itu, selama jatuh tempo belum berakhir, bank masih menggunakan tingkat bunga yang lama. ”Kalau kecenderungannya turun, pasti suku bunga kredit juga akan disesuaikan,” katanya.
Dalih ini diamini Direktur Retail Banking CIMB Niaga James Rompas. Menurut dia, BI Rate bukan satu-satunya faktor untuk menurunkan suku bunga. Sebab naik atau turun dan berapa nilainya lebih mempertimbangkan biaya bunga pinjaman. Sekretaris Perusahaan Bank Bukopin Tantri Wulandari mengiyakan. Apalagi, kata dia, kondisi masing-masing tidak sama. Maka pertimbangannya adalah struktur pendanaan dan pembiayaan. ”Jadi, ketika BI Rate turun, tidak bisa serta-merta tingkat bunga kredit juga turun,” kata Tantri.
Walaupun bunga tinggi, kalangan perbankan tetap optimistis dapat membiayai sejumlah sektor. Angka pertumbuhan kredit dipatok 10-15 persen, jauh di bawah angka tahun lalu yang masih di atas 30 persen. Namun seleksi debitor akan dilakukan lebih ketat. Wakil Presiden Direktur PT Bank Danamon Joseph Luhukay mengatakan, risiko kredit yang tinggi memang membuat kredit terasa semakin seret. ”Bunga tinggi merefleksikan respons bank terhadap risiko yang relatif tinggi,” kata Jos.
Krishna juga meyakinkan, walau likuiditas seret, paling tidak tahun ini BNI akan menggelontorkan Rp 15 triliun. Duit itu sebagian besar akan dikucurkan ke sektor infrastruktur seperti jalan tol, listrik, komunikasi, dan perairan. Untuk manufaktur, dia menyatakan porsinya lebih kecil seperti ke industri padat karya. Alasannya, pasar produk yang dihasilkan sedang lesu, sehingga risiko pengembaliannya besar.
Nah, alasan seperti inilah yang disayangkan Ernovian. Dalam saat krisis, semestinya bank lebih fokus ke manufaktur yang banyak menyerap tenaga kerja. Industri tekstil dan produk turunannya saat ini mempekerjakan lebih dari 1,2 juta orang yang tersebar di sekitar 1.100 perusahaan. Itu belum menghitung industri rumah tangga yang tak kalah besarnya. Nah, bila tak tertolong, angka pengangguran akan melonjak.
Kamar Dagang dan Industri Indonesia sepakat. Ketua Komite Tetap Sistem Fiskal dan Moneter Bambang Soesatyo mengatakan, untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi sampai 4-5 persen—sesuai dengan target pemerintah—dunia usaha harus digerakkan. Karena itu, begitu BI mengumumkan penurunan suku bunga acuan awal bulan ini, Kadin langsung melayangkan masukan. Angka 8,25 persen dinilai belum mampu mendongkrak pertumbuhan.
Menurut Bambang, untuk menggerakkan sektor riil, suku bunga acuan setidaknya berada di level 7,5 persen. Bila tidak, rencana pemerintah menganggarkan dana stimulus hingga Rp 73,1 triliun akan sia-sia. ”Stimulus fiskal seharusnya dibarengi stimulus moneter yang betul-betul signifikan,” katanya.
Kepala Ekonom Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa memperkirakan, bila pemerintah dan otoritas moneter salah langkah, bukan hanya target pertumbuhan tidak tercapai, perekonomian Indonesia bahkan bisa terjerembap menjadi minus. Itu sebabnya, dia berharap bank sentral tidak keras kepala mempertahankan bunga tinggi. ”Jangan malas menurunkan suku bunga,” katanya.
Jangan-jangan, tangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memang dibutuhkan untuk menekan perbankan agar sedikit melonggarkan likuiditas. Taruhannya memang terlalu besar: perekonomian bisa nyungsep, tak hanya melambat.
Muchamad Nafi, Munawwaroh
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo