Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejumlah ekonom memperkirakan inflasi tahun ini berada di kisaran 2 persen.
Permintaan masyarakat yang masih lemah akibat ketidakpastian ekonomi bakal menurunkan inflasi.
Pemerintah masih optimistis inflasi terjaga pada tahun ini.
PEMERINTAH membatalkan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen tahun ini secara umum, kecuali untuk barang dan jasa mewah. Sejumlah ahli memperkirakan kebijakan ini tak otomatis membuat inflasi lebih baik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Direktur Eksekutif Center of Reform Economics Indonesia Mohammad Faisal, kenaikan tarif PPN secara umum bakal mendorong kenaikan harga. Kondisi inilah yang bisa memicu pelemahan daya beli masyarakat. Saat konsumsi melemah, inflasi bakal bergerak turun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kondisi ini terjadi tahun lalu saat angka inflasi perlahan turun hingga pada Mei 2024 terjadi deflasi yang berlanjut sampai empat bulan kemudian. Faisal mengatakan penurunan inflasi hingga terjadinya deflasi saat itu bukanlah pertanda baik. Pasalnya, penurunan terjadi akibat pelemahan daya beli masyarakat.
Dengan batalnya kenaikan tarif PPN umum, kata Faisal, inflasi tak otomatis turun. Permintaan masyarakat masih akan lemah tahun ini, terutama dari kalangan menengah. Sebab, ia menilai belum ada gebrakan pemerintah untuk meningkatkan daya beli masyarakat. "Dengan hanya melihat faktor permintaan, inflasi tidak akan jauh dari angka pada 2024," katanya kepada Tempo, Senin, 6 Januari 2025.
Badan Pusat Statistik mencatat inflasi pada 2024 sebesar 1,57 persen atau terendah sepanjang sejarah. Faisal memprediksi inflasi dari sisi permintaan saja pada 2025 sebesar 1,5-1,7 persen.
Namun inflasi tak hanya dipengaruhi oleh permintaan. Faktor kebijakan pemerintah yang mempengaruhi harga juga turut berkontribusi. Salah satunya kebijakan kenaikan tarif PPN umum. Saat harga tinggi, inflasi bakal terdongkrak naik.
Faisal menyebutnya sebagai cost push inflation. Berbeda dengan inflasi dari sisi permintaan, kenaikan cost push inflation justru tak berdampak baik buat perekonomian.
Saat tarif PPN umum batal naik, bukan berarti inflasi tak meningkat. Sebab, selain kebijakan PPN, ada rencana yang mempengaruhi harga barang dan jasa, seperti pembatasan subsidi bahan bakar minyak, penerapan cukai baru, peningkatan premi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan, dan pemberlakuan wajib asuransi kendaraan bermotor. "Intinya, semua itu mengarah pada pengetatan fiskal yang berarti peningkatan biaya hidup bagi masyarakat dan ekonomi," tutur Faisal. Pada akhirnya, kebijakan tersebut turut menekan daya beli masyarakat.
Dengan menghitung faktor-faktor tersebut, Faisal memperkirakan inflasi pada 2025 setidaknya mencapai 2 persen. Secara angka, inflasi sebesar itu tampak bagus. Dibanding pada 2022, misalnya, inflasi tahunan bisa mencapai 5,1 persen. "Tapi, kalau dilihat dari faktor pembentuk inflasinya, angka yang rendah ini tidak baik karena kombinasi dari tekanan di sisi permintaan ditambah kebijakan yang mempengaruhi harga-harga," katanya.
Proyeksi inflasi oleh Center of Economic and Law Studies (Celios) tak jauh berbeda. Angkanya berada di kisaran 2,5 persen. "Ini angka yang cukup ideal dan realistis," ucap Direktur Celios Nailul Huda.
Nailul menghitung proyeksi itu dengan melihat tren inflasi pada 2024 yang rendah akibat daya beli melemah. Tekanan terhadap konsumsi ini merupakan dampak kenaikan harga BBM hingga kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen pada 2022. Sedangkan pada 2023, pendapatan rata-rata hanya naik 1,5 persen.
Pemerintah mencoba menjaga daya beli masyarakat tahun ini dengan membatalkan kenaikan tarif PPN 12 persen untuk umum. Namun Nailul menyebutkan sudah ada dampak rencana penerapan kebijakan tersebut. "Ada expected inflation. Masyarakat menahan permintaan guna bersiap menghadapi kenaikan harga barang pada 2025," ujarnya.
Efek ini bakal mendorong kenaikan inflasi yang dipicu oleh cost push inflation. Namun Nailul juga mencatat ada kenaikan upah minimum provinsi 6,5 persen yang mampu mendorong inflasi dari sisi permintaan.
Adapun Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah memperkirakan inflasi pada 2025 sebesar 2-3 persen. Faktor lain yang juga akan mempengaruhi pergerakan inflasi adalah nilai tukar rupiah. "Lemahnya rupiah akan mendorong imported inflation sehingga inflasi berpotensi naik," tuturnya. Inflasi juga bisa terkerek akibat kenaikan harga setelah penerapan kebijakan PPN tahun ini, meski terbatas pada barang dan jasa merah.
Di sisi permintaan, Piter mencatat lemahnya daya beli masih akan menahan kenaikan inflasi. Tanpa ada kebijakan khusus dari pemerintah untuk menaikkan daya beli masyarakat, inflasi dari sisi permintaan akan tetap rendah tahun ini. "Deflasi masih akan terjadi pada bulan-bulan tertentu," katanya.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu masih optimistis performa inflasi akan baik pada tahun ini. Inflasi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2025 dipatok sebesar 2,5 persen. Dia mengatakan masih ada momentum baik pada 2024 yang menunjukkan inflasi inti naik 2,6 persen secara tahunan. "Ini daya beli yang kami pantau, cukup resilient dan cukup baik," ujarnya.
Febrio menegaskan bahwa permintaan masyarakat dalam kondisi kuat, yang tampak dari pertumbuhan konsumsi 4,9 persen pada 2024 dibanding pada 2023. Sedangkan pada 2022-2023, pertumbuhannya hanya 2,48 persen.
Ia juga menyampaikan pemerintah berhasil mengatur harga pangan hingga terjadi deflasi. "Yang mendominasi inflasi rendah pada 2024 adalah inflasi pangan yang berhasil kita kendalikan." ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo