LAGI, tekstil Indonesia "dihajar" di luar negeri. Kali ini giliran denim alias jeans. Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) menuding-nuding bahwa jeans telah dijual dengan harga dumping. Tuding-menuding bukanlah perkara baru. Tapi benar salahnya kan mesti tuntas dulu. Dalam kaitannya dengan tuduhan itu, pekan ini tim verifikasi MEE datang ke Indonesia. Tim tersebut, yang direncanakan akan datang Senin pekan ini, kabarnya akan melakukan pemeriksaan langsung ke tiga produsen yang mengekspor ke Eropa. Para "terdakwa" adalah PT Tyfountex, PT South Grand Textile Mills, dan PT Bintang Agung. Konon, tim MEE itu akan melakukan pemeriksaan mulai dari struktur biaya produksi denim, hingga harga jual di pasar domestik. Nah, kalau terbukti biaya produksinya lebih besar daripada harga ekspor, maka sanksi -- biasanya berupa pengenaan tarif impor -- pun akan segera jatuh. "Kami pun tidak sembarang menuduh, sebab semuanya dilakukan berdasarkan prosedur yang berlaku," kata Emmanuel Mersch, Konsul Ekonomi-Komersial Informasi MEE di Jakarta. Awalnya, kata Mersch, tuduhan datang dari para produsen denim di beberapa negara Eropa. Mereka merasa terpukul, karena produknya tersaingi oleh denim impor dari Indonesia, Turki, dan Hong Kong. Akibatnya, pada 1987 omset mereka merosot hingga 17,5. Dan konon, setelah melakukan penelitian pasar, para produsen Eropa itu menemukan bukti bahwa jeans impor dijual dengan harga sangat miring. Berdasarkan temuan itu pula, April lalu MEE menyebarkan kuesioner kepada produsen eksportir yang dicurigai. Di situ mereka menanyakan hal-hal yang menyangkut hiaya dan harga jual dalam negeri. "Kami sengaja memberi kesempatan pada produsen untuk membantah tuduhan itu," kata Mersch. Tapi angket itu kurang memuaskan, rupanya. Maka, diputuskan untuk mengirim sebuah tim ke negara pengekspor. Lantas apa kata para "tertuduh"? "Ah, mereka hanya mencari-cari alasan untuk menghambat ekspor denim kita saja," kata Musa, Direktur PT South Grand Textile Mills (SGTM). Dia membantah adanya dumping. Perkara harga jualnya lebih murah dari yang dipasang produsen Eropa, "Wajar to, sebab upah buruh Indonesia kan lebih murah," ujarnya. Suara senada dikemukakan oleh Suwatna, Bagian Ekspor PT Tyfountex. "Tuduhan itu sangat tidak masuk akal dan terlaludicari-cari," tuturnya. Bagaimana tidak. MEE menuding Indonesia melakukan dumping pada 1987, tapi data yang mereka ambil pada 1988. "Kan tidak fair," kata Suwatna. Sebab, harga jual ekspor 1987 hanya 2,5 dolar per meter, sedangkan harga 1988 sudah naik menjadi 2,92 dolar. Rasa heran, karena akan datangnya tim MEE, terlihat pula di wajah Menmud Perdagangan Soedradjad Djiwandono. Seharusnya, kata Menmud, tim itu datang paling lambat 30 hari setelah jawaban kuesioner dikirimkan. Dan bukan hanya itu. "Mereka tidak pernah memberi tahu kami, kalau mau mengirimkan tim verifikasi," ujarnya. Padahal, sesuai dengan etika bertamu -- apalagi tamu pemerintah --pemberitahuan seperti itu bukan sekadar "harus" tapi "wajib." Suwatna bertekad, kalau tim pemeriksa MEE datang, Tyfountex tak akan membuka pintu. Meskipun, seperti kata Musa, penolakan seperti itu akan berdampak negatif. Bisa saja MEE melakukan pembatasan ekspor, bahkan menyetop arus denim Indonesia ke sana. Terlepas dari etika yang dilanggar oleh MEE, Soedradjad menganggap, "MEE terlalu over-proteclion." Alasannya, jumlah denim yang diekspor ke sana sudah berdasarkan kuota. Artinya, berapa pun harga yang dipasang, secara kuantitas denim yang diekspor tak akan melebihi kuota yang telah ditetapkan. Pernyataan Menmud cocok dengan kenyataan di lapangan. Tuduhan dumping ternyata muncul setelah menurunnya produksi jeans negara-negara MEE, dari 105.798 ton pada 1986 menjadi 87.237 (1987). Sementara itu, ekspor ke sana terus meningkat. Pada 1985, misalnya, hanya 999 ton, tapi pada 1987 angka itu melonjak menjadi 15.216 ton. Alias naik lebih dari 1400% !.BK, Sri Pudyastuti, Budiono Darsono, Riza Sofyat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini