Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom sekaligus pengamat kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, mengkritisi banyaknya jabatan yang dimiliki Luhut Binsar Pandjaitan di pemerintahan Presiden Joko Widodo. "Sebaiknya Presiden Jokowi tidak lagi menggunakan pendekatan 'Luhut Sentris' dalam persoalan strategis karena Luhut sudah terlalu banyak jabatan yang belum tentu dapat terselesaikan," kata Achmad kepada Tempo pada Senin malam, 17 Juli 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jokowi kembali menambah jabatan Luhut. Kali ini, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi itu mendapat jabatan tambahan sebagai Satgas Hilirisasi Indonesia-Papua Nugini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama periode kepemimpinan Jokowi, Luhut memang dikenal sebagai pejabat dengan segudang jabatan. Sebelum menangani Satgas Hilirisasi Indonesia-Papua Nugini, setidaknya ada 15 jabatan yang pernah diamanatkan Presiden Jokowi kepada Luhut.
Mulai dari Kepala Staf Kepresidenan; Menteri Bidang Politik, Hukum Keamanan; Ketua Tim Nasional Peningkatan Penggunaan Produk dalam Negeri; Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi; Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ad Interim; Menteri Perhubungan Ad Interim; Menteri Kelautan dan Perikanan Ad Interim.
Kemudian, sebagai Koordinator PPKM Jawa-Bali; Ketua Dewan Pengarah Tim Penyelamatan Danau Prioritas Nasional; Ketua Tim Gerakan Nasional BBI; Ketua Komite Kereta Cepat Jakarta-Bandung; Ketua Dewan SDA Nasional; Ketua Pengarah Satgas Sawit; serta Ketua Satgasus Percepatan Realisasi Investasi di IKN.
Menurut Achmad semestinya Presiden Jokowi mengevaluasi banyaknya jabatan yang diemban oleh Luhut Binsar Pandjaitan. Hal itu perlu dilakukan supaya Luhut lebih fokus dan efektif kinerjanya.
Sedangkan terkait Satgas Hilirisasi Indonesia-Papua Nugini, pemerintah Indonesia mesti mengedepankan transparansi dan akuntabilitas guna memastikan kolaborasi berjalan efisien dan adil.
Selain itu, akademisi dan para pakar mesti dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan terkait kolaborasi dengan Papua Nugini untuk memastikan bahwa kepentingan nasional dan kesejahteraan masyarakat tetap terjaga.
Achmad menyebut kerja sama di bidang hilirisasi antara Indonesia dan Papua Nugini bisa menguntungkan. Dia mengatakan Indonesia bisa mengakses sumber daya alam di sana untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
"Meskipun Papua Nugini adalah negara miskin, namun memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah," kata Achmad.
Selain itu, Indonesia memiliki peluang untuk meningkatkan ekspor produk dalam negeri ke Papua Nugini. Terakhir, kata dia, ada potensi pengembangan sektor pariwisata dan industri lainnya yang dapat menarik investasi dari Papua Nugini.
Achmad menilai hubungan kerja sama ini menjanjikan lantaran bisa meningkatkan perdagangan bilateral kedua negara. Selain itu, kerja sama bisa dilakukan sekaligus untuk mengembangkan infrastruktur dan meningkatkan konektivitas dan mobilitas antarwilayah.
Selanjutnya, ada peningkatan pertukaran pengetahuan dan teknologi untuk pengembangan sumber daya alam dan sektor lainnya. Kerja sama ini juga meningkatkan kerja sama dalam mengatasi masalah bersama, seperti keamanan maritim dan perubahan iklim.
"Potensi-potensi tersebut sangat strategis. Namun penempatan Luhut menjadikan kesan kolaborasi kedua negara tidak didesain optimal karena Luhut sudah terlalu banyak jabatannya," ujar Achmad.
RIRI RAHAYU | AMELIA RAHIMA SARI
Pilihan Editor: Dilantik jadi Menkominfo, Budi Arie Bicara Peluang Pembentukan Lembaga Pengawas Media Sosial