Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Rencana pemerintah mengkonversi lahan gambut menjadi persawahan memantik kontroversi. Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat, Khudori, berujar program cetak sawah dengan alih fungsi lahan gambut tidak realistis untuk menghadapi ancaman krisis pangan di tengah kondisi cuaca ekstrem dan pandemi virus Covid-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Butuh waktu dan biaya besar. Di situasi sekarang, siapa yang menanggung biaya tersebut?" ujar dia kepada Tempo. Apalagi, peralihan lahan gambut menjadi lahan pertanian tidak sederhana dan membutuhkan teknologi khusus agar pemanfaatannya optimal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pencetakan sawah baru juga harus didukung infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM) petani yang memadai. "Harus dipikirkan siapa yang menggarap, bagaimana ketersediaan air dan jalan irigasinya. Kalau tidak disiapkan, ya berat," kata dia.
Ketimbang menempuh kebijakan ekstensifikasi dengan membuka lahan baru, Khudori menilai, opsi intensifikasi dengan mengoptimalkan lahan yang terbengkalai lebih realistis dan menjanjikan.
Ahli gambut dan Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Azwar Ma’as, menjelaskan biaya tinggi dalam melakukan konversi itu tak bisa dihindari karena karakter lahan gambut kompleks dan beraneka ragam. Misalnya, lahan gambut yang memiliki kandungan mineral dan beracun, atau lahan gambut berkubah yang menahan air sehingga sangat sulit untuk dijadikan lahan pertanian tanaman pangan. "Hitung-hitungan dagangnya tidak bisa keluar kalau secara massal diserahkan ke masyarakat atau BUMN," ucap Azwar.
Bertani di lahan gambut saat musim kemarau, kata dia, memang mungkin dilakukan, seperti di daerah Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. "Tapi untuk bisa berhasil membutuhkan puluhan tahun dan bertahap," kata dia.
Menurut Azwar, padi bisa ditanam di lahan itu, namun gambut harus didrainase secara intensif untuk menjaga bibitnya tetap hidup. "Tanaman umbi-umbian dan jagung juga bisa ditanam, tapi akar bagian dalamnya harus kering dan tidak bisa tergenang."
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menepis keraguan terhadap program cetak sawah di atas lahan gambut yang menjadi arahan Presiden Joko Widodo. "Kita sudah ada cara bertanam menghadapi lahan rawa. Salah satunya dengan memproduksi bibit khusus bernama Impara," ujar dia.
Menurut Syahrul, kehadiran bibit bermutu tinggi itu diharapkan dapat menuai hasil yang lebih baik. Ini sekaligus untuk mematahkan asumsi bahwa bertani di lahan gambut bisa berujung pada kegagalan.
Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementerian Pertanian, Sarwo Edhy, menegaskan sistem irigasi yang mutakhir akan menjadi salah satu kunci keberhasilan. "Produktivitas meningkat dengan teknologi tata kelola air," kata Edhy. Ini yang membedakannya dengan program cetak sawah di lahan gambut yang pernah dilakukan sebelumnya.
Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menuturkan pembangunan sawah pada lahan gambut bukan hal baru. Namun, merujuk pada laporan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, curah hujan di wilayah Kalimantan Tengah masih cukup bagus hingga November 2020.
Itu sebabnya, Kementerian Pertanian, Kementerian BUMN, dan Kementerian PUPR diminta berkonsentrasi untuk menciptakan lumbung pangan baru di salah satu lokasi cetak sawah yang akan berlangsung.
SHINTA MAHARANI | VINDRY FLORENTIN | GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo